Ahmadi Sampaikan Pleidoi Sambil Menangis
Bupati nonaktif Bener Meriah, Ahmadi SE, menyampaikan pembelaan (pleidoi) pribadi atas dakwaan suap
* Dapat Dukungan 6.000 Tanda Tangan
JAKARTA - Bupati nonaktif Bener Meriah, Ahmadi SE, menyampaikan pembelaan (pleidoi) pribadi atas dakwaan suap terhadap Gubernur nonaktif Aceh, Irwandi Yusuf, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (29/11). Di bagian akhir pembelaannya, Ahmadi sempat menitikkan air mata dan menahan haru pada saat menceritakan tentang istri dan empat anaknya yang masih kecil.
Ahmadi, laki-laki yang dijuluki “Elang Samar Kilang” menegaskan bahwa dakwaan dan tuntutan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan dirinya melakukan suap kepada Irwandi Yusuf, untuk mendapatkan paket proyek Jalan Samar Kilang Segmen 1 dan Segmen 2 yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA), sama sekali tidak benar dan tidak sesuai fakta persidangan.
“Sebab pada kenyataannya, paket tersebut sudah berjalan dan tidak ada kontraktor Bener Meriah yang mengerjakannya, melainkan kontraktor dari Banda Aceh dan Aceh Tengah,” kata Ahmadi mengawali pembelaannya.
Ahmadi yang tampil percaya diri, mengenakan kemeja merah marun dengan motif hiasan kerawang Gayo mengatakan, jaksa penuntut umum seharusnya terlebih dahulu meneliti kontraktor dan pengusaha yang memenangkan tender proyek tersebut. “Bagaimana mungkin hal itu dituduhkan kepada saya, sedangkan tidak ada kontraktor Bener Meriah yang mengikuti tender paket tersebut,” tukas Ahmadi.
Ia juga kembali menegaskan bahwa tidak pernah Gubernur Irwandi Yusuf meminta sejumlah uang kepadanya. “Saya selaku Bupati Bener Meriah tidak pernah memberikan sejumlah uang kepada Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh,” ujarnya.
Ahmadi memang mengakui adanya dua kali permintaan uang Rp 1 miliar yang disampaikan melalui ajudannya, Muyassir, untuk kebutuhan meugang (tradisi menyembelih hewan ternak dalam jumlah banyak di Aceh menjelang puasa Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha -red) yang oleh Ahmadi dipenuhi dari uang penjualan mobil pribadinya dan pinjaman kepada iparnya sejumlah Rp 300 juta. Sisanya diantarkan oleh Dailami.
“Dalam persidangan ini Saudara Muyassir mengatakan bahwa itu untuk uang ‘meugang’ , bukan untuk proyek DOKA, apalagi untuk menyuap Irwandi Yusuf,” tegas Ahmadi.
Kepada majelis hakim, Ahmadi menggarisbawahi, apabila uang meugang di Aceh dianggap sebagai sebagai tindak pidana korupsi, itu adalah bencana besar bagi pejabat dan masyarakat Aceh, karena tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun.
“Karena meugang merupakan adat istiadat orang Aceh, di mana saling memberi atau berbagi antara atasan dengan bawahan, antara pemimpin di semua tingkatan dengan fakir miskin, anak yatim, tokoh adat, tokoh agama. Aceh juga daerah bekas konflik dengan dua unsur elemen masyarakat yang sebelumnya bertikai, yaitu Gerakan Aceh Merdeka dan pro-Pembela Tanah Air atau PETA,” sebutnya.
Adapun permintaan uang lainnya sebesar Rp 1,5 miliar, lanjut Ahmadi, diperuntukkan bagi kegiatan Aceh Marathon. “Siapa dapat menyediakan uang untuk Aceh Marathon akan diberikan paket DOKA. Ini semua kata Muyassir, bukan kata Hendri Yuzal, apalagi Irwandi Yusuf,” tukas Ahmadi.
Ia mengatakan, dirinya baru mengetahui di persidangan, bahwa uang meugang yang ia kirimkan melalui Muyassir, dan uang yang diantarkan oleh Dailami semuanya dipakai oleh Teuku Saiful Bahri.
Di bagian akhir pembelaannya, Ahmadi sempat menitikkan air mata dan menahan haru, pada saat ia menceritakan tentang istri dan empat anaknya yang masih kecil, M Fathi Farahat berusia 14 tahun, M Alfi Syamil (9 tahun), Ana Altafunnisa (7 tahun), dan M Akram Ziyad (2 tahun 2 bulan).
“Semuanya masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sungguh saya sadari bahwa akibat dari peristiwa ini saya akan kehilangan kebersamaan dengan keluarga,” ujar Ahmadi.
Ia juga secara khusus menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Bener Meriah bahwa akibat peristiwa ini tidak bisa melaksanakan janji-janji kampanye dan tidak bisa menyelesaikan pengabdian kepada masyarakat Bener Meriah.