MaTA Sorot Rendahnya Serapan DOKA
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menyorot besarnya Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun 2017
* Rustam Effendi: Ekses Perencanaan Lemah
BANDA ACEH - Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menyorot besarnya Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun 2017 yang ‘mengendap’ atau tidak terserap sehingga menjadi sisa penggunaan anggaran (silpa). Dia menyebut, konflik eksekutif dengan legislatif menjadi salah satu faktor yang membuat penggunaan DOKA tidak maksimal untuk kesejahteraan rakyat.
“Salah satunya adalah akibat konflik antara eksekutif dan legislatif dalam pembahasan RAPBK dan RAPBA, sehingga membuat pengesahan qanun APBK maupun APBA jadi terlambat,” ujar Alfian kepada Serambi, Kamis (13/12), ketika dimintai tanggapannya tentang temuan BPK RI tentang belum dimanfaatkannya DOKA tahun 2017 senilai Rp 896 miliar dan mengendap di rekening Pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota.
Faktor lain, ulas Alfian, perencanaan dana otsus itu belum berbasis kepada rakyat dan tidak mengarah kepada tujuan sebenarnya. “Di mana saat anggaran sudah turun, baru dimulai pelaksanaannya, sehingga pembangunan atau program yang direncanakan tidak terlaksana dengan efektif,” jelasnya.
Di samping akibat regulasi pengunaan dana otsus yang sering berubah sehingga berdampak terhadap perencanaan, pemanfaatan, dan penyerapan. Untuk menangani permasalahan itu,beber Alfian, perlu langkah tegas dari Gubernur untuk memberi sanksi kepada SKPA yang berkinerja buruk.
Perencanaan lemah
Ungkapan hampir serupa dilontarkan pakar ekonomi Unsyiah, Rustam Effendi. Ia mengaku, saat kecewa dengan masih ada dana otsus tahun 2017 yang belum digunakan untuk pembiayaan pembangunan rakyat. Padahal, setiap tahun selalu dilakukan Pramusrenbang sebelum dilaksanakan pembahasan dokumen KUA dan PPAS yang merupakan cikal bakal dokumen RKA RAPBA. “Kalau seperti ini kejadiannya, apa manfaat dari Pramusrenbang penyusunan program dan penggunaan dana otsus yang dilakukan setiap tahun,” tukas dia.
Temuan BPK RI itu, menurut Rustam Effendi, menjadi salah satu indikasi bahwa kinerja SKPA di bidang perencanaan masih lemah. “Bagaimana jumlah penduduk miskin dan pengangguran mau turun siqnifikan kalau perencanaannya saja tidak tepat sasaran dan masih banyak silpa,” tandasnya.(her)