Kelapa Sawit, Komoditas Primadona dengan Harga Menyedihkan

SEKTOR perkebunan menjadi salah satu andalan Kota Subulussalam. Selain masih memiliki lahan yang luas, sebagian besar penduduk Subulussalam

Editor: hasyim
SERAMBI/DEDE ROSADI
Petani sawit di Aceh Singkil, menaikan sawit ke truk untuk dijual ke pabrik, Selasa (31/1). Produksi kelapa sawit memasuki musim trek.SERAMBI/DEDE ROSADI 

SEKTOR perkebunan menjadi salah satu andalan Kota Subulussalam. Selain masih memiliki lahan yang luas, sebagian besar penduduk Subulussalam merupakan petani tradisional. Salah satu komoditas perkebunan yang menjadi primadona bagi masyarakat di sana adalah kelapa sawit, selain juga karet. Sejak era 2000-an hingga sekarang, kelapa sawit menjadi komoditas yang terus berkilau. Pada dekade terakhir ini, kelapa sawit secara perlahan terus menjadi tanaman favorit petani, bahkan bagi para pemodal di Kota Sada Kata itu. Pengembangan perkebunan kelapa sawit ini dapat ditemui di hampir seluruh penjuru daerah hasil pemekaran dari Aceh Singkil tersebut. Kondisi ini memicu para petani setempat ikut beralih membuka perkebunan kelapa sawit karena tergiur dengan hasilnya. Tak hanya itu, para pejabat dan orang-orang berduit di Subulussalam juga terus berpacu membuka perkebunan kelapa sawit, termasuk pemodal luar daerah seperti dari Sumatera Utara.

Dapat disimpulkan, kini pendapatan utama masyarakat di Subulussalam mayoritas berasal dari hasil perkebunan kelapa sawit. Seiring dengan itu, pemerintah turut memberi andil untuk mempromosikan pembangunan perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu upaya peningkatan ekonomi masyarakat. Pemerintah mengalokasikan dana untuk pengembangan perkebunan rakyat berupa kelapa sawit seluas puluhan ribu hektare.

Kilauan investasi perkebunan di Subulussalam, menurut Umar, salah seorang petani sawit di daerah itu, selaras dengan potensi sumber daya alam di sana. Selain lahan yang luas, curah hujan, sinar matahari, dan topografi daerah itu juga sangat mendukung tumbuhnya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit. Sunguh pun demikian, lanjut Umar, sebagian besar warga Subulussalam merupakan petani turun temurun dengan pola tanam yang masih sangat tradisional, sehingga pertumbuhan ekonomi rakyatnya juga berjalan lamban.

Sayangnya, kilauan investasi kelapa sawit kini tak selaras dengan harga yang kerap membuat petani ‘megap-megap’. Betapa tidak, harga aman TBS kelapa sawit di level petani sejatinya berada antara Rp 1.200-Rp 1.600 per kilogram. Namun, fakta di lapangan harga ini nyaris jarang diperoleh.

Menurut pengurus Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kota Subulusalam, Subangun, anjloknya harga TBS ini sangat memukul perekonomian masyarakat setempat. Petani sudah mulai tidak tahan dengan situasi ini sehingga mereka pun tidak sungkan lagi menyampaikan keluhannya akibat harga TBS yang hancur-hancuran.

Atas kondisi itu, Subangun mengingatkan pihak pabrik agar mematuhi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI Nomor 01/Permentan/KB.120/1/2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian tandan buah segar kelapa sawit produksi pekebun atau petani. Dikatakan dia, jika mengacu Permentan, seharusnya harga TBS di Kota Subulussalam paling murah Rp 1.200 per kilogram. “Tapi, harga TBS di Subulussalam yang dipatok pihak pabrik tidak mengacu dengan Permentan RI. Karenanya, saya meminta Pemko Subulussalam dan DPRK bertindak dengan memberi surat teguran,” pintanya.

Subangun menegaskan, dalam Permentan dijelaskan bahwa bagi pabrik yang mematok harga di luar aturan dapat dikenai sanksi. Pemerintah bertugas melayangkan surat teguran pertama hingga kedua. “Jika diabaikan maka salah satu sanksinya bisa dicabut izin operasional pabrik terkait. Makanya, pemerintah bisa menegur dan nanti kalau diabaikan, sanksinya ini berat termasuk pencabutan izin,” tegas Subangun.

Di sisi lain, Subangun meminta, para suplayer harus memberi ruang terhadap petani dengan tidak terlalu tinggi mengambil fee atau margin di tengah kondisi harga yang sangat buruk. Subangun menyinggung premi kepada suplier yang mencapai Rp 50 hingga Rp 70 perkilogram. “Ini tidak adil dan merugikan petani. Seharusnya, premi untuk suplier paling sebesar Rp 20 per kilogram,” tandasnya.(khalidin)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved