Opini

Aceh Hebat?

SEJAK disahkan Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), telah berjalan tiga periode kepemimpinan

Editor: bakri

Oleh Kurdi

SEJAK disahkan Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), telah berjalan tiga periode kepemimpinan di Aceh. Masing-masing periode memberikan warna dan dinamika tersendiri dalam merealisasikan Aceh Hebat. Saat ini, Pemerintah Aceh dengan tegas menggunakan jargon Aceh Hebat. Ada 15 program unggulan pada 2018 dengan pembiayaan hampir sekitar Rp 15 triliun telah dilaksanakan (Serambi, 2/4/2018).

Program unggulan pertama dengan pembiayaan mencapai Rp 3,7 triliun dinamakan dengan Aceh Seumeugot. Selanjutnya Rp 1,8 trilun dianggarkan untuk program Aceh Carong. Lebih Rp 892 miliar dialokasikan pada program Aceh Seujahtera. Program Aceh Meugoe dan Meulaot kurang lebih Rp 365 miliar, disusul berturut-turut program Aceh SIAT, Aceh Energi, Aceh Peumulia sekitar masing-masing Rp 50 miliar. Kemudian anggaran sekitar Rp 100 miliar dialokasikan untuk program Aceh Troe, Aceh Kreatif, Aceh Teuga, Aceh Meuadab, dan Aceh Green kurang lebih berkisar dari Rp 100-150 miliar. Sedangkan Aceh Seuninya sekitar Rp 350 miliar, dan paling bontot dengan nilai hampir Rp 10 miliar adalah program Aceh Dame.

Dari 59 Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yang terlibat dalam mewujudkan Aceh Hebat, berdasarkan evaluasi kinerja yang diperoleh dari website P2K terdapat 28 SKPA dengan label warna biru dengan target capaian melebihi 100%, sebanyak 15 SKPA berada di warna hijau dengan target capaian minus di bawah 2%. Selanjutnya, SKPA warna kuning atau target capaian kurang dari 2-5% ada 9 SKPA, sisanya adalah SKPA dilabel warna merah dengan target capaian berada di bawah 80%. Data ini belum dapat menggambarkan capaian per masing-masing program terhadap 15 program Aceh Hebat.

Berdasarkan pertumbuhan ekonomi Aceh rata-rata kwartal kedua 2018 sebagaimana disampaikan oleh Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia sebesar 5,74% (Serambi, 16/8/2018) atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan berada nomor dua. Namun kinerja ekonomi Aceh ini masih bersifat situasional.

Tingginya tingkat pengangguran di Aceh yang masih berada rata-rata 10% dan angka kemiskinan yang mencapai 30% menjadi tantangan bagaimana mewujudkan Aceh Hebat. Di sisi lain, tingginya angka inflasi di Banda Aceh juga menjadi indikator yang perlu diperhatikan meskipun jarak inflasi semakin kecil dengan inflasi nasional.

Potret ekonomi kekinian Aceh, melalui instrumen pelaksanaan APBA 2019 yang mencapai Rp 17,4 triliun, harus dapat mendorong ke arah yang lebih baik. Meski kita yakini, secara umum, sektor seumeugot (rekontruksi menjadi sektor utama) pendorong pertumbuhan ekonomi Aceh, termasuk lelang dini yang dilakukan Pemerintah Aceh pada 7 Januari 2019 lalu.

Perwujudan Aceh Hebat tidak cukup hanya satu periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau lima tahunan saja, tapi harus mampu dijabarkan dalam satu periode Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yaitu dua puluh lima tahunan, satu generasi Aceh. Lintas RPJM sendiri memberi kendala terkait kesinambungan program seiring dengan pergantian pimpinan terutama dalam penuntasan program atau kegiatan yang pembiayaannya dari APBA/APBK.

Ternyata, tidak mudah mewujudkan Aceh Hebat, diperlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan di Aceh dan seluruh sumber daya yang ada dimaksimalkan tidak hanya keuangan, namun diperlukan regulasi percepatan Infrastruktur Startegis Daerah (ISD) sebagaimana langkah percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Mewujudkan ‘Aceh Hebat’
Beberapa solusi menurut penulis yang harus dilakukan baik untuk jangka pendek maupun jangka menengah. Untuk jangka pendek, secara umum, sektor seumeugot (rekonstruksi menjadi sektor utama) pendorong pertumbuhan ekonomi Aceh.

Di samping itu, Pemerintah Aceh juga harus melakukan terobosan regulasi kerjasama dengan badan usaha dalam penyediaan ISD. Program dan kegiatan ISD dengan mempertimbangkan visi dan misi Pemerintah Aceh dan zonasinasi pembangunan serta disepakati oleh seluruh bupati/walikota se-Aceh. Membangun infrastruktur harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Tidak hanya fokus di infrastruktur saja, namun bidang ekonomi serta bidang lain yang mampu menciptakan bidang-bidang pertumbuhan baru. Investasi untuk bioteknologi, pertanian modern dan industri makanan halal, serta energi alternatif seperti biosolar, energi angin dan panas bumi harus didorong dengan investasi yang ramah, bikrokrasi yang profesional dan tata kelola yang baik serta mendorong Aceh yang bersih dari korupsi.

Langkah lainnya adalah mengurangi investasi dengan biaya tinggi dan percepatan proses pengurusan izin terkait dengan investasi. Sudah saatnya, penggunaan APBA harus didorong untuk percepatan pemberdayaan ekonomi rakyat melalui program dengan keberpihakan yang nyata kepada rakyat sebagaimana kritikan membangun yang disampaikan oleh pakar ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh (Serambi, 4/1/2019).

Aksi nyata melalui peningkatan pagu APBA/APBK di program unggulan Aceh Meugoe, Aceh Meulaot, Aceh Troe, dan Aceh Kreatif harus menjadi perioritas. Program atau kegiatan yang diusulkan yang mendorong kemahiran di masyarakat, sehingga menghasilkan pendapatan baru atau dengan kata lain program atau kegiatan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat bukan hanya sekadar untuk menghabiskan anggaran atau meningkatkan daya serap realisasi APBA/APBK.

Keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta di Aceh melalui dana CSR (Coorporate Social Responsibility) yang disinkronisasikan dengan 15 program Aceh Hebat harus didorong dan perlu keberkelanjutan melalui MoU yang disepakati antara Pemerintah Aceh dengan seluruh perusahaan swasta di Aceh. Keterlibatan seluruh kabupaten melalui instrumen pembiaayaan APBK untuk mendorong ISD yang ditetapkan secara bersama harus diwujudkan dalam setiap tahun anggaran kabupaten.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved