Kupi Beungoh
Pentahelix Sang Jenderal: Menuju Aceh Berkelanjutan
terkait pernyataannya tentang membangun Aceh melalui harmonisasi dengan pendekatan Pentahelix (04/10/2025) patut di apresiasi
Oleh: Mohd. Heikal
Sibak agam Kapolda Aceh..! terkait pernyataannya tentang membangun Aceh melalui harmonisasi dengan pendekatan Pentahelix (04/10/2025) patut di apresiasi dan diberikan penilaian positif atas inisiatif dan strategi kolaborasi dalam membangun Aceh.
Prakarsa ini menunjukkan paradigma baru kepemimpinannya sebagai orang nomor satu di Polda Aceh.
Meminjam apa yang dikemukakan oleh John W. Kingdon (1984), Profesor Emeritus di University of Michigan dalam bukunya yang sangat berpengaruh dengan judul; Agendas, Alternatives, and Publics Policies dimana ia menggunakan istilah policy entrepreneurship untuk menggambarkan kepemimpinan seperti Kapolda Aceh, sebagai “They are people with the knowledge, power, tenacity and luck to be able to exploit windows of opportunity and heightened levels of attention to policy problems to promote their ‘pet solutions’ to policymakers”, yaitu aktor yang secara aktif mempromosikan ide atau solusi kebijakan dengan memanfaatkan momen ketika tiga aliran (problem stream, policy stream, dan politics stream) bertemu, yang disebut sebagai jendela kebijakan (policy window).
Pentahelix yang di Indonesia pertama kali diinisiasi oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya pada tahun 2016 merupakan pengembangan dari teori triple helix merupakan interaksi antara akademisi (universitas), industri dan pemerintah yang dikembangkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff pada tahun 1990-an, dengan publikasi "The Triple Helix, University-IndustryGovernment Relations: A laboratory for Knowledge-Based Economic Development” (Wikipedia), dan dikembangkan menjadi Qudruple Helix pada tahun 2009 oleh Elias G. Carayannis and David F.J. Campbell (Wikipedia).
Model Pentahelix menjadi sangat tepat dalam konteks Aceh hari ini karena tidak hanya dilandasi oleh kolaborasi dan sinergisitas tapi juga model yang melibatkan Pemerintah, Perguruan Tinggi (Akademsisi), Industri (private sector), Masyarakat dan Media ini akan menciptakan solusi yang efektif dan terintegrasi dalam rangka memecahkan masalah yang kompleks, mempercepat pengambilan keputusan, dan membangun ketahanan jangka panjang dalam ekonomi, sosial dan lingkungan yang sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan dengan menemukan solusi menyeluruh dan inovatif karena mengintegrasikan berbagai sumber daya dan keahlian.
Baca juga: Minadao Filipina Diguncang Gempa 7,6 SR, Indonesia Ikut Siaga Tsunami di Sulawesi dan Papua
Baca juga: Kode Redeem FF Free Fire 10 Oktober 2025: Klaim Sekarang dan Dapatkan Bundle Eternal Avenger Gratis!
Kapolda sebagai “Jembatan Sosial”
Inisiatif Pentahelix sebagai strategi untuk pembangunan Aceh berkelanjutan ini menunjukkan cara pandang yang luas Kapolda Aceh Irjen Pol. Marzuki Ali Basyah, MM karena aktor pembangunan tidak mungkin hanya seorang diri.
Pemerintah tidak bisa bergerak tanpa dukungan masyarakat; dunia usaha tidak bisa tumbuh tanpa stabilitas; akademisi butuh ruang untuk berinovasi dan media memegang peran penting dalam membangun kesadaran publik, ini menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai bila kelima unsur tersebut bergerak secara sinergis.
Kolaborasi ini bukan sekadar kerja sama seremonial, tetapi hubungan serta gerakan yang saling menguatkan berdasarkan kepercayaan sosial (social trust), gerakan yang menembus sekat birokrasi dan sektoral dimana sang Jenderal telah menjadi “jembatan” untuk itu.
Aceh adalah tanah dengan sejarah panjang ketangguhan dan daya juang. Potensi sumber daya alam yang dimilik tidak lagi dipandang semata sebagai faktor produksi, melainkan sebagai modal ekologis (ecological capital) yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk menjamin kesejahteraan lintas generasi, sebagaimana pernyataan Todaro dan Smith (2020), bahwa pembangunan modern tidak lagi sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth), tetapi menekankan transformasi struktural yang menyeluruh, peningkatan kapasitas manusia, pemerataan hasil pembangunan, dan kelestarian lingkungan.
Paradigma telah ini menggeser orientasi pembangunan dari “eksploitasi sumber daya” menuju pengelolaan berbasis nilai tambah (value added) dan keberlanjutan dengan peningkatan kapasitas manusia, pemerataan hasil pembangunan, dan kelestarian lingkungan.
Ini berarti pembangunan harus menciptakan perubahan yang luas dalam masyarakat, tidak hanya fokus pada akumulasi kekayaan.
Pendekatan ini juga telah menuntut adanya pergeseran dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi sirkular dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy).
Ekonomi sirkular yang berfungsi sebagai tahap transisi dari ketergantungan pada sumber daya mentah menuju sistem ekonomi berdaya tahan dan efisien, sekaligus membuka ruang bagi inovasi dan teknologi ramah lingkungan sehingga kita tidak terjebak dalam apa yang dikemukakan oleh Peter Drucker dalam karyanya Post-Capitalist Society yang mengingatkan bahwa “negara atau daerah yang kaya sumber daya alam sering kali justru miskin inovasi.”
Fenomena ini juga dikenal luas sebagai kutukan sumber daya (resource curse), yaitu kondisi di mana kelimpahan sumber daya alam justru menghambat pembangunan ekonomi jangka panjang karena menimbulkan ketergantungan struktural, lemahnya diversifikasi ekonomi, serta rendahnya insentif untuk mengembangkan kapasitas manusia. Pentahelix membuka babak baru dalam tata kelola pembangunan daerah.
Lebih dari Sekadar Angka: Mengapa Kualitas Persalinan Ibu di Daerah Terpencil Masih Menjadi Taruhan? |
![]() |
---|
Potret Toleransi Agama di Aceh: Imelda Purba Nyaman Berbisnis Buah-buahan di Pasar Lambaro |
![]() |
---|
Untuk Tiga Perempuan Seniman Aceh: Benarkah Aturan Jilbab Syariat Islam Merendahkan Perempuan? |
![]() |
---|
Mengapa Mendirikan Fakultas Kedokteran di UTU? |
![]() |
---|
Prof Jarjani Usman: Representasi Gen X yang Optimistis dan Anti FOMO |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.