Hoaks dan Waled Nu
PEMILU 17 April 2019 telah usai. Tapi cerita di balik pemilu belum dapat ditinggalkan
Oleh Mukhlisuddin Ilyas, Direktur Bandar Publishing dan Dosen STKIP BBG Banda Aceh.
PEMILU 17 April 2019 telah usai. Tapi cerita di balik pemilu belum dapat ditinggalkan. Terutama cerita tentang hoaks dan dukungan ulama dayah terhadap pasangan calon (paslon) presiden/wakil presiden. Menyangkut hoaks, buku Tom Nichols dengan titel The Death of Expertise yang kemudian diterbitkan Gramedia dengan judul Matinya Kepakaran (2018), cukup mewakili diskusi tentang ini.
Buku itu memuat banyak hal penting, walau setting kasus Amerika Serikat, tapi sangat relevan dengan belahan dunia manapun, termasuk Indonesia. Terbit saat yang tepat, di tengah maraknya hoaks, buku ini dapat dijadikan peganganpenting untuk menganalisis realitas masyarakat yang lebih percaya tulisan blog di internet yang tidak jelas sumbernya, daripada ceramah ilmuwan, dan orang profesional. Profesor Tom Nichols menguraikan bahwa pendapat para profesional atau para ahli yang berkompeten dalam bidangnya kian tak berarti, di tengah mudahnya akses informasi di dunia internet.
Meskipun internet tidak pernah salah, namun penggunanya yang mendewakan like and share informasi, tanpa melakukan check and recheck tidak dapat dibenarkan. Internet bukan saja membuat kita makin bodoh, tapi juga bersikap lebih kejam kepada orang-orang terdekat. Dunia maya tidak memiliki ruang uji setiap arus informasi, apalagi mendiskusikan lalu berdebat informasi yang datang darinya.
Akibatnya, seorang yang alim, atau bergelar doktor dan profesor sekali pun, bisa tertipu dalam arus matinya kepakaran ini. Ruang matinya kepakaran, sumbu utamanya adalah hoaks.
Hoaks
Riset 2018 yang dilakukan oleh DailySocial.id, bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform, menyebutkan bahwa 44% orang Indonesia belum bisa mendeteksi berita hoaks. Riset ini mencatat, masih banyak orang Indonesia yang tidak dapat mencerna informasi yang benar-benar valid. Artinya, tingginya arus hoaks berakibat pada hilangnya rasa kebenaran pengetahuan (matinya kepakaran).
Tidak percayanya kepadaorang-orang berpengetahuan adalah cerminan dari perilaku masyarakat postmodern. Kita lebih percaya pada pembawa hoaks dengan pembawa kebenaran yang sebernarnya. Kita akan nyinyir, dengan pendapat yang berbasis bacaan/ kitab, daripada pendapat politisi partisan atau pembawa berita dari kelompok yang se-aliran dengan kita. Ini menjadi bagian dari pandangan keliru kebanyakan masyarakat kita, di tengah mudahnya akses informasi di internet.
Awal 2019 ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis sebuah hasil survei. Menurut data LIPI, terdapat tiga provinsi di mana tingkat penerimaan informasi hoaks sangat tinggi, yaitu Banten, Jawa Barat, dan Aceh. Hasil penelitian tersebut juga menemukan kalau di wilayah yang kental nilai agamanya, kerap mudah termakan isu hoaks, terutama berita yang menyangkut dengan PKI, kriminalisasi ulama, dan invasi tenaga asing.
Terlepas sajian data penelitian LIPI, dalam sebuah talks show, yang digelar oleh Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) Provinsi Aceh di Hotel Regina, Banda Aceh, Jumat (5/4/2019). Presiden Jokowi secara khusus meminta menterinya, seorang putra Aceh dalam Kabinet Kerja, Sofyan A Djalil, untuk pulang ke Aceh saat itu, menjelaskan seputar berita hoaks atas dirinya. Menurut Sofyan Djalil, Presiden Jokowi pernah bertanya kepadanya; kenapa orang Aceh membencinya?
Pertanyaan itu muncul karena Jokowi sudah merasa dirinya sebagai orang Aceh, di mana ia mengawali karier kerjanya di Aceh hampir tida tahun. Sehingga dalam satu periode menjabat sebagai presiden, Jokowi sudah enam kali ke Aceh. Sofyan diminta mencari jawaban dengan menanyakan kepada para ulama dan tokoh masyarakat.
Ternyata setelah Sofyan Djalil berada di Aceh, tidak ada yang salah dengan Jokowi, yang salah adalah hoaks terus beredar dalam masyarakat tanpa ada yang melawannya.
Waled Nu
Waled Nu adalah seorang ulama. Ulama menurut KBBI V adalah orang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam. Sebagai orang yang ahli dalam agama Islam, Waled Nu menjadi simbol dari keberpihakannya dalam politik, dengan mendukung Jokowi- Ma’ruf. Keberpihakan ini tentu atas nilai-nilai pengetahuan agama Islam yang dimilikinya. Terlepas merosotnya suara Jokowi-Ma’ruf di Aceh, Waled Nu telah memberi pembelajaran tentang sikap sebagai seorang ahli, dalam bahasa Tom Nichols disebutkan sebagai pakar.
Sebagai seorang ahli atau pakar, harus menyampaikan pengetahuannya kepada masyarakat, walau cacian datang sekalipun kepadanya. Waled Nu, telah menyediakan ruang inspirasi berbasis pendidikan bagi orang Aceh. Untuk bersikap, berdiri pada blok kebenaran atas informasi yang dimilikinya. Waled Nu tidak mencla-mencle. Waled Nu berdiri tegak di depan umum, menyampaikan pengetahuan dan keberpihakannya kepada seseorang atas bangunan check and recheck, bukan malah menjadi penyabar hoaks, apalagi sesama muslim.
Bahasa agama, bisa dibaca dalam Alquran, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al- Hujurat: 6).
Kata kunci ayat ini adalah “telitilah kebenarannya”. Ayat ini memberi penegasan, untuk mengecek setiap arus informasi, kalau tidak akan merusak persatuan dengan berita-berita hoaks. Sebagai seorang ulama, Waled Nu tentu bersandar pada Alquran dalam setiap pilihannya. Secara geneologi keilmuan, Waled Nu mewarisi dua hal dari gurunya, yaitu beut dan seumeubeut (belajar dan mengajar).