Tasawuf Underground, Saat Anak Punk Belajar Mengaji Tanpa Harus Buru-buru Mengubah 'Identitasnya'
Kerisauan Halim Ambiya (45) melihat minimnya pendidikan agama terhadap anak-anak punk dan jalanan membuatnya tergerak untuk turun tangan.
SERAMBINEWS.COM - Apa yang ada di benak Anda ketika melihat satu apalagi sekumpulan anak punk di dekat Anda?
Perasaan takut atau was-was rasanya merupakan pikiran yang paling umum muncul dalam situasi tersebut.
Ya, dengan penampilan 'gelap', badan penuh tato, tak jarang piercing di banyak bagian tubuh, pakaian sobek-sobek, serta, yang paling ikonik, rambut tegak tinggi seperti jarum, membuat anak punk punya kesan mengerikan.
Namun, apa jadinya jika Anda melihat anak-anak punk ini justru sedang mendalami agama, mereka mengaji?
Baca: Pusat Jajanan Buka Puasa di Banda Aceh Ini Disterilkan dari Kendaraan
Terasa aneh? Tapi pada kenyataannya itulah yang terjadi pada komunitas Tasawuf Undergroud yang diinisiasi oleh Halim Ambiya.
Berikut ini kisahnya.
Kerisauan Halim Ambiya (45) melihat minimnya pendidikan agama terhadap anak-anak punk dan jalanan membuatnya tergerak untuk turun tangan.
Ia pun mendirikan Komunitas Tasawuf Underground pada 2012 lalu.
Baca: Saluran Sumbat, Jalan di Kota Bireuen Tergenang
Namun, komunitas ini awalnya hanya bergerak di media sosial Facebook dan Instagram.
“Saya memposting kalimat-kalimat hikmat, ajaran-ajaran Islam tentang tasawuf, ilmu batin dan syariat,” kata Halim saat ditemui TribunJakarta.com di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (23/3/2019).
Halim melihat respons pengikutnya di media sosial cukup banyak.
Akan tetapi, ia merasa saat itu orang-orang belajar agama secara sembunyi-sembunyi.
“Mereka baca postingan saya di bus, mobil, kantor, dan sebagainya. Hal-hal yang tidak bisa mereka dapatkan dengan mudah di pesantren atau sekolah, karena kebanyakan memang dari Kitab Kuning,” ujarnya.
Dari situlah ia memahami bahwa pendidikan agama tidak bisa kalau hanya didekati dari dunia maya.
Baca: PA Kuasai Perolehan Suara Dapil 5, Ini Prediksi 12 Perolehan Kursi DPRA
Sebab, menurutnya, pendidikan agama di dunia maya menjadi tidak terjangkau, terlalu melangit, dan tidak membumi.