Pemerintah Aceh Minta Bukti Elite Kuasai Proyek APBA

Pemerintah Aceh keberatan dengan tudingan pengamat politik dan pemerintahan, Dr Taufiq A Rahim

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Pemerintah Aceh Minta Bukti Elite Kuasai Proyek APBA
SAIFULLAH ABDULGANI

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh keberatan dengan tudingan pengamat politik dan pemerintahan, Dr Taufiq A Rahim serta anggota DPRA, Asrizal H Asnawi yang menyatakan elite kuasai proyek APBA dan oknum pokja minta fee kepada rekanan, sebagaimana diberitakan Serambi kemarin. Melalui Juru Bicara (Jubir) Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani (SAG), Pemerintah Aceh meminta kedua orang itu tidak asal tuding.

“Jangan asal tudinglah tanpa bukti, karena itu bisa dijerat hukum. Pemerintah Aceh meminta bukti bila ada elite Aceh kuasai proyek APBA atau oknum Pokja ULP/BPBJ yang meminta fee dari rekanan dalam proses tender,” kata pria yang akrab disapa SAG ini kepada Serambi di Banda Aceh, siang kemarin.

Sebelumnya, pengamat politik dan pemerintahan, Dr Taufik A Rahim mengatakan, banyak proyek APBA 2019 dikuasai elite tertentu yang berkuasa untuk kepentingan politik, biaya politik, dan memperkuat partai politik. Sementara Anggota DPRA dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Asrizal H Asnawi mengaku mendapat kabar dari rekanan yang bakal ditunjuk sebagai pemenang diharuskan membayar uang Rp 750 juta untuk oknum tertentu di Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP).

Menurut SAG, setiap tundingan harus disertai bukti-bukti yang valid. Bukti-bukti tersebut sangat penting bagi Pemerintah Aceh sebagai dasar untuk melakukan pembinaan dan tindakan lebih lanjut. Apalagi, kata SAG, Pemerintah Aceh ada inspektorat sebagai lembaga internal yang berwenang melakukan pengawasan. “Sebaliknnya, bila Taufiq maupun Asrizal tak dapat memberi bukti-bukti dimaksud, apa yang mereka sinyalir lewat media bisa dianggap sebagai bentuk fitnah dan pencemaran nama baik, seperti diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 juncto UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” katanya.

Didampingi Karo Hukum Setda Aceh, Amrizal J Prang, SAG menjelaskan, Pasal 27 ayat (3) UU ITE, antara lain menyatakan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memuat unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dapat diproses secara hukum yang sanksinya sebagaimana diatur UU ITE dan KUHP. Kemudian, lanjutnya, pihak-pihak yang merasa dirugikan (SKPA dan ULP/Biro PBJ) dengan pernyataan pengamat dan politisi tersebut yang berpotensi dan dapat diduga mencemarkan nama baik yang bersangkutan, dapat melaporkannya kepada penegak hukum.

“SKPA atau ULP dapat menempuh langkah hukum atas setiap tudingan yang tidak disertai dengan bukti-bukti yang valid,” kata SAG. Kalaupun ada proyek yang sudah ditetapkan pemenangnya oleh BPBJ, tapi dinilai oleh KPA belum sesuai dengan spek atau HPS yang diminta dalam usulan proyek, KPA bisa menolaknya sebelum penerbitan gunning. “Mekanisme ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana pernah dijelaskan Kepala Biro PBJ Setda Aceh, Irawan Pandu Negara sebelumnya,” jelas SAG.

Karena itu, tambahnya, Pemerintah Aceh berharap, sebelum suatu pernyataan disampaikan ke ruang publik, seyogiyanya ada tabayyun dan croscek terlebih dulu kebenaran informasi tersebut. “Sehingga, tidak menjurus ke fitnah dan pelanggaran UU ITE,” demikian SAG.

Terburuk dari sebelumnya
Sementara itu, pengurus Gabungan pengusaha konstruksi Indonesia (Gapensi) Aceh menilai, pelaksanaan tender proyek APBA 2019 yang dilakukan Biro Pengadaan Barang dan Jasa/Unit Layanan Pelelangan (ULP) Setda Aceh, ‘berbau busuk dan terburuk dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Penilaian ini kami sampaikan karena banyak perusahaan yang ikut tender mengeluh. Sebab, penilaian yang dilakukan ULP dalam pemenangan paket proyek banyak yang tak rasional dan inprosedural. Contohnya, ada perusahaan yang menawar di bawah harga patokan setempat (HPS) hingga 30 persen lebih tapi dimenangkan oleh ULP,” ungkap Wakil Ketua I Gapensi Aceh, Suwarli, kepada Serambi, kemarin.

Menurut Suwarli, laporan dari anggota Gapensi Aceh yang ikut tender, perusahaan yang sudah memenuhi persyaratan untuk memenangkan paket proyek, sebelum membayar fee dengan nilai tertentu yang diminta oknum anggota kelompok kerja (Pokja) ULP, penetapan pemenang proyek tersebut tidak diumumkan. Selain itu, ada juga paket proyek yang sudah ada ‘pemilik’ atau calon pemenangnya. “Makanya ada beberapa proyek dengan anggaran cukup besar terutama yang sifatnya multiyears, selalu terlambat dilelang,” ungkapnya.

Dikatakan, berbagai alasan disampaikan anggota Pokja ULP kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan SKPA ketika ditanya mengapa paket proyek yang sudah memenuhi syarat dan sudah lama diserahkan ke ULP tapi belum juga ditayangkan pelelangan secara elektronik di website Pemerintah Aceh. Suwarli juga mengakui, tak semua paket yang dilelang karena ada pembayaran fee. “Ada juga yang menang karena penilaian rasional dan pantas untuk dimenangkan. Tapi jumlah paket seperti itu sedikit, lebih banyak yang ‘dibeli’ dulu, baru diumumkan pemenangnya,” tandas Suwarli.

Secara terpisah, Ketua Lembaga Pengembangan jasa Kontruksi (LPJK) Aceh, Tripoli, mengatakan, KPA dan SKPA yang merasa ragu dengan perusahaan/rekanan yang ditetapkan sebagai pemenang proyek oleh ULP boleh menolak, tapi harus dengan data dan fakta jelas. Hal itu diatur dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Pokja di ULP selaku pihak yang menilai untuk penetapan pemenang proyek, menurutnya, tak bisa sewenang-wenang dalam menetapkan pemenang proyek, tapi dicek dulu persyaratan dan status perusahaan tersebut apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang akan diberikan kepadanya atau belum. “Kalau masih ada informasi yang belum jelas, komunikasikan dengan KPA dan SKPA,” sarannya.

Ia juga mengingatkan Pokja di ULP agar tak terjadi lagi ada perusahaan yang sudah di-black list, tapi dimenangkan untuk mengerjakan paket bernilai besar seperti kasus gedung onkologi RSUZA yang sudah dua tahun (2017 dan 2018) gagal dikerjakan karena perusahaan yang dimenangkan Pokja ULP, sudah di-black list pemerintah.

Mereka menyarankan Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di ULP saat ini. Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, harus turun tangan membenahi dan membersihkan Pokja di ULP dari orang-orang yang sering melakukan nego dengan rekanan calon pemenang proyek. Plt Gubernur juga perlu berkoordinasi dengan unsur Forkopimda Aceh terkait dugaan beberapa oknum elite yang bermain dan menjadi makelar proyek. Sebab, hingga kini masih cukup banyak proyek yang belum bisa dikerjakan oleh rekanan karena berbagai sebab.

Belum buat jera
Kasus operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) terkait dugaan korupsi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) 2018 yang melibatkan Gubernur Aceh Nonaktif, Irwandi Yusuf, Bupati Bener Meriah, Ahmadi, pengusaha Aceh, Teuku Saiful Bahri dan staf khusus Gubernur Aceh, Hendri Yuzal, seharusnya menjadi pelajaran bagi elite di Aceh, dalam pelaksanaan lelang proyek APBA 2019.

“Tapi, fakta yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Muncul lagi keluhan dan tudingan dari beberapa kalangan bahwa pelaksanaan lelang proyek APBA 2019 di ULP Setda Aceh sarat masalah dan permainan fee proyek,,” ujar Pakar Ekonomi Unsyiah, Rustam Effendi kepada Serambi, Minggu (16/6).

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved