Pendapat Ahli Hukum Internasional London soal Sengketa Pilpres Mau Dibawa ke Mahkamah Internasional

Gagasan ini dilontarkan oleh mantan penasehat KPK yang juga kordinator lapangan Gerakan Nasional Kedalatan Rakyat, Abdullah Hehamahua.

Editor: Amirullah
KOMPAS.com/Ihsanuddin
Sidang putusan uji materi terkait aturan publikasi hasil survei dan hitung cepat (quick count) pada Pemilu 2019, Selasa (16/4/2019), di Gedung MK, Jakarta Pusat. 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan pihak Prabowo Subianto dalam sengketa Pemilihan Presiden 2019.

Sesudah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak permohonan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait gugatan hasil Pilpres 2019, salah satu wacana yang berkembang adalah membawa perkara ini ke Mahkamah Internasional.

Gagasan ini dilontarkan oleh mantan penasehat KPK yang juga kordinator lapangan Gerakan Nasional Kedalatan Rakyat, Abdullah Hehamahua.

Sebagaimana dikutip dari berbagai media, Hehamahua menyatakan bahwa pihaknya akan melaporkan sistem penghitungan atau Sistem Informasi Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum (Situng KPU) ke Mahakamah Internastional.

Hehamahua menyatakan pelaporan ini dilakukan karena Mahkamah Internasional bisa melakukan audit forensik terhadap IT KPU untuk melihat bagaimana kecurangan-kecurangan Situng.

Baca: Sedang Berlangsung! Live Streaming Persija Jakarta Vs Borneo FC, Macan Kemayoran Unggul Sementara

Baca: Tips dan Trik Merawat Baterai Ponsel Agar Awet, Simak yuk!

Baca: Anggota DPRA Apresiasi Kerja Sama Pedagang Aceh dengan Kerajaan Malaysia, Ini Harapannya

Mahkamah Internasional

BBC News Indonesia bertanya kepada ahli hukum internasional di Chatham House, London, Agantaranansa Juanda, mengenai kemungkinan sengketa pemilu dibawa ke Mahkamah Internasional.

Menurut Agantaranansa, yang biasa dipanggil Agan, jika yang dimaksud Mahkamah Internasional atau International Court of Justice atau ICJ, maka hal itu tak bisa dilakukan.

Ini disebabkan karena ICJ hanya punya dua yuridiksi atau kewenangan hukum.

Pertama, untuk memutus sengketa antarnegara, dengan kata lain pemohon harus bertindak atas pemerintah suata negara, dan kedua nasihat hukum terhadap organisasi internasional atau organ-organ PBB.

Pemilu adalah urusan internal satu negara dan tidak bersifat lintas batas sehingga tidak bisa dibawa ke mahkamah internasional.

"Sifat sengketa itu harus lintas negara atau cross border, seperti misalnya sengketa Sipadan-Ligitan karena terkait klaim teritori sah antara Indonesia dengan Malaysia. Sengketa pemilu itu masalah internal satu negara, maka tidak bisa dibawa ke ICJ," kata Agan.

Mahkamah yang bersidang di Den Haag, Belanda ini beranggotakan 15 hakim yang menjabat selama sembilan tahun dan dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.

ICJ hanya menerima perkara-perkara yang bersifat lintas negara, dan itu pun pengajuan perkara ke Mahkamah ini pun harus disepakati oleh kedua negara yang bersengketa.

Baca: Mengaku Dapat Perintah dari Tuhan, LeRoya Moore Tenggelamkan 2 Anak Kandungnya Sendiri Hingga Tewas

Baca: Cedera Akibat Jatuh di FP1 MotoGP Belanda, Lorenzo Diprediksi Bakal Absen sampai MotoGP Jerman 2019

Baca: 16 Wanita Bersuami Ditipu TNI Gadungan, Kenalan di Facebook, Jalan-jalan Lalu Diajak Tidur di Hotel

Mahkamah Pidana Internasional

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved