Breaking News

Mercury tak Seindah Namanya

MERCURY tidak seindah namanya, barangkali ada orang yang ingin memberi nama anaknya “Mercury” karena bagusnya sebutan itu, namun di balik

Editor: bakri
Oleh Faizal Adriansyah

MERCURY tidak seindah namanya, barangkali ada orang yang ingin memberi nama anaknya “Mercury” karena bagusnya sebutan itu, namun di balik keindahan namanya Mercuri menyimpan ancaman dan bahaya yang mematikan

Berita harian Serambi Indonesia, Jumat 21 Oktober 2011 hal 17 dengan judul “Anggota DPRK Minta Pemkab Tegas soal Merkuri”, perlu menjadi perhatian serius kita bersama karena bahaya yang ditimbulkan apabila air sungai terkonataminasi mercury bersifat laten dan dapat merusak kualitas air sungai.

Sungai adalah urat nadi kehidupan manusia, sejak dahulu kala di mana saja ada aliran sungai maka berkembang kehidupan. Dari sungai itulah manusia mendapatkan banyak manfaat mulai hasil ikan, minum, mandi sampai pada pemanfaatan air sungai untuk pertanian. Maraknya penambangan emas rakyat yang menggunakan Mercury atau air raksa dan membuang limbahnya kesungai dapat menjadi bencana apabila tidak segera diatasi sedini mungkin.      

Aceh sebagai wilayah yang kaya dengan mineralisasi emas tidak perlu diragukan lagi. Keberadaan mineral emas di Aceh semakin jelas sebarannya seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan teori kebumian. Sejak kapan emas di Aceh mulai diketahui dan ditambang? Bisa jadi sejak zaman kerajaan Aceh emas sudah mulai ditambang, namun penambangan tersebut tentu saja masih secara tradisional dan emas yang ditambang adalah emas sekunder atau emas placer. Emas jenis ini adalah emas hasil erosi batuan pembawa emas (emas primer) yang hanyut di sungai dan terendapkan pada dasar sungai. Emas inilah yang ditambang lewat pendulangan. Adanya mineral emas mudah diketahui karena emas merupakan mineral berat dan logam yang berwarna kuning mengkilap, sehingga ketika dulang diayak/atau digoyang nampak emas akan terendapkan dibagian bawah. Proses pendulangan ini tidak menggunakan air raksa (mercury) karena mineral emasnya sudah lepas dari batuan sewaktu tererosi.

Berbeda dengan emas primer yang masih menyatu dalam bongkah batuan untuk mengambil emasnya perlu penghancuran batuan dan air raksa (Hg) digunakan untuk menangkap butiran emasnya. Biasanya masyarakat memasukkan hancuran batuan dalam sebuah tabung besar bulat seperti tabung elpiji kemudian air raksa dicampurkan di dalamnnya dan digulung dalam tabung tersebut, kalau di Sukabumi masyarakat menyebutnya “Glundung”. Untuk menggerakkan Glundung ini digunakan energi air sungai yang mengalir dengan cara membuat kipas pemutarnya sehingga Glundung ini berputar otomatis.

Proses penangkapan butiran emas oleh air raksa ini dikenal dengan istilah Amalgamasi, setelah emas berada dalam gumpalan air raksa emas ini dipisahkan dengan cara memanaskan gumpalan tersebut sehingga emasnya terpisah. Persoalan yang timbul dari proses amalgamasi adalah bahaya limbah air raksa/mercury yang dibuang kembali ke sungai. Air sungai akan tercemar demikian juga ikan-ikan di sungai. Ketika masyarakat mengkonsumsi air sungai dan ikan maka racun Mercury yang dalam rumus kimianya disebut Hg akan masuk ke dalam tubuh.

Mercury atau bisa disebut juga air raksa, dapat berada dalam berbagai senyawa. Bila bergabung dengan khlor, sulfur atau oksigen, merkury akan membentuk garam yang biasanya berwujud padatan putih.  Mercury yang ada di air dan tanah terutama berasal dari deposit alam, buangan limbah, dan aktivitas vulkanik. Bahaya mercury terutama dari bentuk organiknya yang sangat beracun yaitu metyl merkcury yang dapat bertahan dalam tubuh 10 kali lebih lama dibanding mercury dalam bentuk logam seperti yang terdapat dalam baterai dan termometer.

Seberapa bahayakah Mercury tersebut? Mercury tidak seindah namanya, barangkali ada orang yang ingin memberi nama anaknya Mercury karena bagusnya sebutan itu, namun di balik keindahan namanya Mercury menyimpan ancaman dan bahaya yang mematikan. Ada kasus pencemaran Mercury yang merupakan imbas dari industrialisasi di Jepang yaitu industri kimia Chisso Co Ltd dan kasus ini lebih terkenal sebagai  tragedi Minamata/Minamata Disaster. Dari hasil penelitian limbah pabrik industri kimia tersebut telah membuat Teluk Minamata seakan seperti bak sampah raksasa di mana logam berat termasuk Methyl Mercury telah mencemari teluk yang sebelumnya indah dan cantik itu. Ada dua provinsi yang menjadi korban pencemaran tersebut yaitu  propinsi Kumamoto dan Kagoshima.  

Limbah Mercury ini sudah terdeteksi sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 1968 muncul dampak langsung pada masyarakat penduduk di sekitar Minamata di mana mereka mengalami penyakit aneh. Rata-rata dari mereka mengalami gejala sama yang khas, yaitu rusaknya sistem saraf, termasuk saraf otak. Rusaknya saraf otak ini menimbulkan gejala mati rasa, ketidakseimbangan gerak pada tangan dan kaki, sulit bicara dan bergerak, kuping berdenging, penglihatan menyempit, gangguan pendengaran (ketulian). Selidik punya selidik, hal ini disebabkan konsumsi ikan dan kerang dari teluk Minamata yang selama ini mereka konsumsi sebagai penyebabnya. Tidak dapat disangkal lagi ikan dan kerang yang menghuni perairan teluk Minamata sudah tercemar Methyl Mercury. Ada sekitar 17 ribu lebih penduduk seputar Minamata telah mengalami keracunan, dan 1.246 telah meninggal dunia. Bahaya Mercury belum berhenti sampai di situ ternyata bayi-bayi yang lahir rata-rata mengalami penurunan intelegensia, cacat fisik, atau mutasi genetik.  

Kita tentu tidak berharap kasus seperti Minamata terjadi di Aceh, untuk itu sebelum terlambat, Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang cepat untuk segera mengatasi persoalan penambangan emas yang dilaksanakan masyarakat saat ini dengan bijaksana dan sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan, misalnya dengan aktif melakukan pembinaan ataupun bimbingan teknis penambangan rakyat yang baik dan benar sehingga masyarakat tetap mendapatkan kesejahteraan melalui usaha penambangan dan aman dalam melaksanakan aktivitasnya.

* Penulis adalah Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)  Pengda Aceh   

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved