Citizen Reporter
Sirih dan Geleng India Memang Beda
PESAWAT India Air mendarat mulus pada hari Kamis, 19 Januari 2012 pukul 10.30 pagi waktu India (sekitar pukul 12.00 WIB) di Airport Internasional
PESAWAT India Air mendarat mulus pada hari Kamis, 19 Januari 2012 pukul 10.30 pagi waktu India (sekitar pukul 12.00 WIB) di Airport Internasional Bangalore, India. Di antara penumpang yang diangkut India Air tersebut adalah staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh: Prof Dr Said Muhammad MA (mantan dekan), Dr Amri MSi (Sekretaris Magister Manajemen), Dr Darwanis MSi (Ketua Prodi Magister Akuntansi) dan saya sendiri.
Keberangkatan kami berempat ke Bangalore untuk menghadiri the 8th International Conference on Economics and Finance. Dr J Dennis Rajakumar, ketua panitia konferensi tersebut memercayakan saya duduk sebagai panitia dalam konferensi tersebut sejak dua tahun lalu mewakili ilmuwan internasional.
Selain sebagai pemakalah, saya juga diminta menjadi “chair person” (moderator) salah satu sesi konferensi. Uniknya, setiap sesi konferensi dimulai, para moderator, termasuk saya, dihadiahi “bunga” yang telah dikemas rapi, berwarna-warni dan harum baunya (Lihat foto!)
Banyak sudah konferensi yang saya hadiri, tapi baru kali ini saya lihat pemberian bunga kepada setiap moderator. Untung saja yang diberikan itu bunga mati. Kalau saja bunga hidup yang diberikan harus dikemanakan itu bunga? Pasti “paloe” dan “meusyoekolo”, pikir saya. Bagi orang India, bunga adalah lambang kemesraan, persahabatan, dan keberuntungan. Bunga memiliki nilai yang sangat sakral dan suci dalam agama Hindu.
Bangalore yang kini disebut Bengaluru dulunya terkenal dengan Kota Kebun (the garden city) di India. Berpenduduk sebanyak 8,5 juta jiwa, Bangalore yang terletak di wilayah selatan India, berdekatan dengan Tamil Nadhu adalah pusat utama industri teknologi komunikasi (information technology) atau dikenal dengan Lembah Silikon India (the Silicon Valley of India).
Bangalore adalah kota nomor tingga terbesar di India, setelah Mumbai (Bombai) dan Delhi. Bahasa Tamil adalah bahasa resmi penduduk Bangalore yang mayoritas Hindu (74.5%) dan muslim hanya 13,5%.
Walaupun Bangalore sangat jauh dari Aceh, namun ada kebiasaan mereka yang sangat mirip dengan kebiasaan rakyat Aceh. Ranub (sirih) atau di India disebut “Beeda” atau “Pan”, banyak dijual di kedai-kedai kecil di sepanjang jalan dan disuguhkan kepada para tamu di rumah.
Ketika waktu istirahat (tea break) di acara konferensi yang kami hadiri itu, selain disuguhi teh, kopi, kue, dan makanan ringan ala India, ada juga ranub yang sudah dibalut dan siap dilahap. Isi ranub India adalah kulit pala asinan (kulet pala jruk), biji pala, pinang, dan beberapa rempah India lainnya. Namun, tidak ada kapur sirih di dalamnya.
Dr Amri, kawan saya seperjalanan sempat pening (mumang) ketika memakannya. Bau rempah India lebih kentara ketimbang ranub Aceh, apalagi ranub mameh Aceh, katanya.
Maka wajar huruf “H” yang terdapat pada nama “Aceh” itu sering diterjemahkan sebagai “Hindia”--sebutan yang ditabalkan kepada India ketika Pakistan dan Bangladesh belum memisahkan diri dari India-- karena budaya dan kebiasaan kita di Aceh ada kemiripan dengan yang dipraktikkan masyarakat India. Agama Islam yang masuk ke Aceh dan disebarkan oleh pedagang Gujarat, India, turut berandil dalam mewarnai budaya Aceh dengan warna-warni India.
Mirip dari segi ranub, tapi tidak dari segi geleng kepala. Di Bangalore dan juga di wilayah India lainnya, geleng kepala bermakna “ya”. Di Aceh, geleng kepala justru bermakna “tidak”. Kalau mengatakan “ya”, maka mereka akan menggeleng-geleng kepala berkali-kali dengan penuh seni, kelenturan, dan kelembutan. Seolah-olah sejak mereka ke luar dari rahim ibunya, sang bidan sudah mengurut leher bayi India agar lentur lehernya dan pandai geleng-geleng kepala.
Tidak mudah menyesuaikan diri dengan sebuah kebiasaan yang sangat berbeda. Ketika kami jalan-jalan ke pasar-pasar di India, sering penjual barang membuntuti kami untuk menjual barang dagangannya. Padahal, kita sudah bilang tidak, namun terus diekori. Rupa-rupanya, tanpa sengaja, ada di antara kami yang menggeleng-geleng kepala bermaksud tidak berminat. Tapi, para penjual India memaknai sebaliknya. Geleng-geleng kepala kami diartikan bahwa kami mau membeli, tetapi kenapa kami tidak berhenti! Tentu aneh pikir orang India, dan juga aneh pikir kami. Sudah bilang “ya”, kok terus pergi, gerutu si India. Sebaliknya, kita sudah bilang “tidak”, tapi kok masih dibuntuti terus, gumam kami.
Setelah kejadian itu, saya sendiri berusaha untuk tidak pernah menggeleng-gelengkan kepala selama berada di India. Jika ingin mengatakan tidak, maka akan saya katakan “No, please”.
Setelah konferensi usai, esok harinya menjelang subuh Sabtu 21 Januari 2012, kami pun bergegas ke Airport International Bangalore dengan tujuan ke New Delhi, ibu kotanya India. Dari New Delhi kami terbang ke Tanah Air.
* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com