Breaking News

Serambi Kuliner

Keripik, Oleh-oleh Bireuen

"MANA keripiknya, masak dari Bireuen tidak bawa keripik." Itulah kalimat yang ditanyakan kepada warga Bireuen bila pergi ke daerah lain

Editor: bakri
Keripik, Oleh-oleh Bireuen - 240313_19.jpg
SERAMBI/YUSMANDIN IDRIS
Fitri seorang pedagang keripik di Cot Gapu Bireuen sedang melayani pembeli.
Keripik, Oleh-oleh Bireuen - 240313_20.jpg
Ridwan sedang menjual Nagasari Bireuen di kawasan terminal
“MANA keripiknya, masak dari Bireuen tidak bawa keripik.” Itulah kalimat yang ditanyakan kepada warga Bireuen bila pergi ke daerah lain. Begitu juga warga kabupaten/kota lain yang melintasi Bireuen dipastikan akan singgah di ‘Kota Juang’ itu untuk membeli keripik yang terdiri dari keripik pisang, ubi, dan keripik sukun. Keripik itu sudah menjadi oleh-oleh khas dari Bireuen.

Keripik pisang yang diolah dari pisang monyet dan pisang kepok itu disajikan dengan rasa manis dan asin. Sedangkan keripik ubi punya pilihan rasa original, rasa jagung, dan pedas. Sementara keripik sukun digoreng dengan satu rasa yaitu rasa original. Semua jenis keripik itu dijual di kios yang dibangun berderetan di kiri dan kanan jalan mulai dari kawasan Cot Gapu sampai ke Cot Keutapang, Bireuen.

Siapa saja yang ingin membeli keripik Bireuen, setibanya di kawasan itu langsung menepi di kios keripik pilihan mereka masing-masing. Setelah pembeli turun dari kendaraan, sejumlah penjual keripik langsung memberikan beberapa jenis keripik untuk dirasa. Setelah itu, pembeli membeli keripik sesuai seleranya. Kendaraan yang singgah di kawasan penjualan keripik itu mulai dari mobil pribadi sampai mobil penumpang umum seperti L-300, bus berbadan sedang, dan bus berbadan besar.

Saat ini,  keripik pisang manis dan asin serta keripik ubi rasa original dijual Rp 30.000 per kilogram, keripik ubi rasa jagung Rp 40.000 per kilogram, dan keripik sukun Rp 50.000 per kilogram. Dengan harga itu, tak mengurangi minat konsumen untuk membeli keripik sebagai oleh-oleh dari Bireuen. “Kadang-kadang kami dapat untung 75 ribu rupiah per hari, tapi di waktu tertentu hanya 50 ribu rupiah per hari,” kata Apanu, penjual keripik pisang di kawasan terminal bus Bireuen.

Basir (32), pemilik usaha penggorengan keripik di Desa Reuluet, Kota Juang, Bireuen mengatakan, ia sudah 10 tahun menggeluti usaha tersebut. Dengan mengelola dua usaha penggorengan keripik yaitu di Peudada dan di Reuleut, Basri kini mempekerjakan 25 orang. “Masing-masing pekerja sudah ada tugasnya sendiri mulai dari menggoreng sampai mengantar keripik ke sejumlah tempat penjualan keripik di Bireuen,” ungkap Basir.

Dikatakan, setelah digoreng, keripik dimasukan dalam plastik besar dan diantar ke pelanggan sesuai permintaan. “Selama ini, kami hanya memasok sekitar 500 kilogram keripik per hari ke langganan di lima tempat,” timpalnya.  

Ditanya keuntungan yang diperolehnya, Basir mengatakan, dirinya memperoleh laba antara Rp 700-Rp 1.000 per kilogram. Untuk satu kilogram keripik, menurutnya, membutuhkan lima sisir pisang sebagai bahan bakunya. Menurutnya, besarnya keuntungan sangat tergantung dari banyaknya pesanan.

“Saya jalankan usaha ini dengan sendiri dan belum ada bantuan dari Pemerintah, mengurus kredit juga susah. Kami berharap kepedulian pemerintah untuk membina usaha kecil seperti usaha penggorengan keripik yang saya lakukan ini,” katanya. Ada belasan tempat lain yang juga mengoreng keripik mulai dari Geulanggang Teungoh, Cot Gapu sampai ke Juli dan Kecamatan Peudada. Sedangkan tempat penjualan bertabur di Bireuen dan sekitarnya.

Selain aneka keripik, kue nagasari yang diproduksi di Bireuen juga menjadi oleh-oleh khas dari kabupaten itu. Karena itu, tak heran bila di setiap tempat penjualan pasti juga dijual nagasari. Kue nagasari BIreuen sudah terkenal sejak belasan tahun lalu. Kue itu dibuat oleh salah satu keluarga, dan kemudian usaha tersebut diteruskan secara turun temurun. Sekarang, sudah banyak tempat yang menjual nagasari di kawasan Bireuen.

Ruhamah (58), seorang produsen nagasari di Bireuen, mengatakan, dirinya sudah melakoni pekerjaan tersebut sejak belasan tahun lalu. “Biaya kuliah anak saya, biaya rumah tangga, dan berbagai biaya lain berasal dari hasil penjualan kue nagasari,” ujarnya seraya mengatakan nagasari buatannya dipasarkan di kawasan terminal bus Bireuen.

Setiap hari, sebut Ruhamah, nagasari buatannya rata-rata terjual 600 bungkus. Satu bungkus nagasari yang dibalut dengan daun pisang itu dijual Rp 1.000. “Banyak orang setelah beli keripik, juga beli nagasari,” kata Ridwan, suami Ruhamah.

Karena keripik pisang dan keripik lain serta nagasari sudah menjadi oleh-oleh khas dari Bireuen, anda yang ingin membelinya silakan singgah di lokasi penjualan keripik yang berjejer di kiri dan kanan jalan mulai dari kawasan Cot Gapu sampai ke Cot Keutapang, Bireuen.(yusmandin idris)

Akan Patenkan Produk Andalan
USAHA keripik pisang dan lainnya mendapat perhatian khusus dari kita, karena itu bagian dari kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kita juga minta dinas terkait untuk melakukan langkah-langkah bagaimana agar produk Bireuen yang sudah dikenal sejak lama seperti keripik dan nagasari bisa dipatenkan. Kita juga akan lakukan pembinaan terhadap masyarakat dengan cara memberikan bantuan. Bantuan untuk berbagai jenis kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat sudah kita alokasi dalam APBK tahun ini sebesar Rp 49 miliar.

Beberapa waktu lalu, kita telah menyerahkan alat perekat plastik bantuan kepada 100  pedagang keripik. Baru-baru ini kita juga telah mendata produk usaha kecil di Bireuen dan mengirim sampel untuk mendesain kemasan untuk lebih menarik. Intinya, pengembangan usaha rakyat jenis apa saja tetap mendapat perhatian dari Pemkab Bireuen dengan mengalokasikan anggaran agar berkembang, berdaya saing dan dikenal luas serta dapat menampung tenaga kerja.  

Setiap usaha kecil yang saat ini semakin berkembang contohnya usaha keripik pisang, kue nagasari dan lain tentu wajib menjaga kualitas agar konsumen semakin terikat dan menarik. Sehingga usahanya makin berkembang di masa mendatang.
* H Ruslan M Daud, Bupati Bireuen.(yus)

Gurih dan Enak
KERIPIK Bireuen jangan dicampur dengan zat-zat lain agar rasanya tetap gurih dan enak. Jangan sampai rasa yang sudah gurih jadi tak enak lagi. Keripik Bireuen terkenal karena rasanya gurih dan enak.

Begitu juga sate Matang yang dijual di Keude Peusangan, rasanya cukup pas. Rasa seperti sekarang harus dipertahankan, karena saat ini banyak muncul sate-sate matang di tempat lain, tapi rasanya memang beda. Bumbu sate di Matang sekarang harus dijaga, sehingga cita rasa tidak berubah.
* Muazzinah BSc, Aktivis Perempuan di Bireuen.(yus)

Jaga Kualitas
KERIPIK dan nagasari di Bireuen memang sudah lama terkenal. Buktinya, hampir semua orang yang melintasi Bireuen pasti membeli keripik dan nagasari sebagai oleh-oleh. Karena sudah maju, kita berharap pembuat keripik dan makanan lain tetap menjaga kualitas barangnya. Karena, ada informasi di daerah lain karena sudah terkenal dan cepat laku, proses pembuatan makanannya mengabaikan mutu. Pemerintah harus mengontrol mutu produk tetap terjaga dan
* Afrizal Akmal
, Warga Banda Aceh.(yus)

Perlu Promosi
KERIPIK pisang dan beberapa jenis makanan ringan lain di Bireuen memang sudah dikenal luas. Namun, kebanyakan usaha kecil belum ditopang modal yang memadai. Sehingga ada usaha yang bertahan satu tahun, kemudian tidak kelihatan lagi. Jadi, pemerintah perlu melestarikan dan mempromosikan makanan khas itu ke luar daerah, dan bila perlu sampai ke luar negeri. Pemerintah juga harus melindungi dan mengawasi produk tersebut agar kualitasnya tetap terjaga dengan baik.
* Sri Wahyuni, Mahasiswa Universitas Almuslim Peusangan.(yus)

Sate Matang dan Rujak Cot Buket
SETIAP daerah punya makanan khas dengan cita rasa tersendiri. Di Bireuen juga ada makanan andalan, salah satunya sate Matang yang sudah dikenal sejak puluhan tahun lalu. Makanan itu diberi nama sate matang karena awalnya sate iu dijual di keude Matanggeulumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Bireuen.

Razali (55), pedagang sate matang di kawasan Desa Paya Meuneng, Peusangan, mengaku tak tahu persis siapa yang pertama menyajikan makanan dari daging lembu atau kambing yang ditusuk pada lidi dari bambu.

Ia sejak beberapa tahun lalu dipercayakan sebagai penananggung jawab warung nasi dengan menu utama sate matang. Ia bersama delapan pekerja lain membuka usaha itu 24 jam. Warung itu bernama “Sate Matang” terpampang jelas di pinggir jalan negara. Sate matang yang dikelolanya telah didaftarkan hak patennya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI pada Februari 2011 oleh dr Agusnaidi, seorang putra asli Peusangan.

“Sehingga makanan ini tak bisa lagi sembarang dijual atau ditiru oleh orang luar Aceh. Dengan hak paten itu, makanan khas tanah rencong ini akan tetap berkembang dan terjaga,” kata Razali.

Disebutkan, harga satu tusuk sate matang sesuai ketetapan semua pedagang di kawasan itu adalah Rp 2.500. Siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi atau teguran.

Selain di warung tersebut, sate mate juga dijual di hampir seluruh warung di Keude Matanggeulumpang Dua. Bahkan, kuliner asal Bireuen ini sudah dijual di setiap kabupaten/kota di seluruh Aceh, Medan dan bahkan Jakarta.  

Selain sate, Bireuen juga terkenal dengan rujak yang memiliki rasa yang cukup khas. Di Bireuen ada satu pondok rujak di Desa Cot Buket, Kecamatan Peusangan yang diberi nama “Andi Rujak Cot Buket.” Pondok rujak itu sudah cukup dikenal karena rasanya beda dengan rusak lain. Di tempat ini, setiap hari ratusan orang singgah untuk makan rujak, dan tak sedikit pula yang warga yang membeli rujak yang dibungkus untuk dibawa pulang.

“Enaknya rujak pada adanya kesesuaian bumbu terutama antara gula dan manisan. Begitu juga bahan lain termasuk buah-buahan yang harus selalu segar,” kata pengelola rujak itu, Mawardi (55).

Setiap hari, menurut Mawardi, pagi-pagi ada di antara pekerjanya yang membeli buah-buahan ke pasar. Lalu, sekitar pukul 10.00 WIB, buah-buahan itu dibersihkan. Sementara beberapa pekeja lain mengatur kursi dan menyapu pondok rujak itu. “Sekitar jam 11.00 kami sudah mulai jual rujaknya, kecuali hari Jumat baru kami buka usai shalat Jumat,” kata Mawardi.

Disebutkan, rujak itu dijual Rp 6.000 per piring. “Kalau hari-hari biasa omset penjualan rujak kami antara 1,7 juta sampai 2 juta rupiah per hari. Sedangkan hari-hari libur ada penambahan sedikit,” kata Mawardi yang ditemani Andi adik kandungnya dan sejumlah pekerja di pondok rujak itu.(yusmandin idris)

Aneka Makanan di Lokasi Kuliner
SELAIN aneka keripik, sate matang, dan rujak Cot Buket, Bireuen juga masih memiliki aneka makanan khas lain yang disajikan di sejumlah lokasi kuliner. Makanan itu antara lain mi kocok, bakso gatok, ayam penyet, ayam tangkap, nasi uduk, air tebu, dan sejumlah makanan lainnya.

Di Keude Gandapura misalnya, ada satu warung yang menjual mi kocok. Mi ini rasanya beda dengan mie kocok di daerah lain. Karena mi kocok Gandapura yang awalnya dikelola Ismail (almarhum) pada tahun 1990-an punya rasa yang spesifik. Kini, mi kocok Gandapura yang dikelola Jafar Ismail bersama Mustafa sudah dikenal luas.

Menurut Mustafa, setiap hari ia mulai menjual mi kocok pukul 11.00 WIB dan tutup menjelang shalat Magrib. Setiap hari, ia menghabiskan 30 kilogram mie basah dan 17 ekor ayam. Dikatakan, satu piring mie dijualnya Rp 9.000. “Ada beberapa orang meminta resep mi kocok, tapi tetap saja rasanya tak sama dengan mi yang kami jual. Saya tak tahu mungkin ada resep khusus yang dibuat keluarga saya hingga rasa mi beda dengan di tempat lain,” jelas Mustafa seraya mengatakan keuntungan yang diperolehnya Rp 1,7 juta sampai Rp 2 juta per harinya.

Sementara di Keude Kutablang ada bakso yang kian digemari berbagai kalangan. Di tempat itu, ada belasan usaha bakso gatok. Warga dari  berbagai kecamatan datang untuk menikmati bakso yang punya ciri khas itu dibanding bakso di daerah lain. Di Bireuen juga tidak kalah dalam hal jajanan malam mulai dari bakso, mi udang, mi kepiting dan martabak. Seperti di Langgar Square dan kafe-kafe di kawasan Cot Gapu sampai Blang Bladeh, Jeumpa.

Dari sejumlah lokasi, kawasan Matanggelumpang Dua, langgar square, depan pendopo bupati dan sejumlah warung di eks lahan PJKA adalah tempat yang ramai dikunjungi warga pada malam hari hingga subuh. Apalagi ada pertandingan sepak bola dari berbagai belahan dunia melalui televisi, warung dan kafe buka sampai pagi. Apalagi malam minggu, selain arena square ramai engunjung, kawasan tugu Kota Juang juga tidak kalah sepi, banyak ABG berkumpul di tempat itu maupun tempat lain.(yusmandin idris)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved