Opini
Belajar dari Runtuhnya Kemegahan Arun
KEBERADAAN PT Arun LNG di Lhokseumawe, menjadi salah satu faktor pemicu konflik dan kesenjangan sosial di Aceh. PT Arun telah menciptakan
KEBERADAAN PT Arun LNG di Lhokseumawe, menjadi salah satu faktor pemicu konflik dan kesenjangan sosial di Aceh. PT Arun telah menciptakan kesenjangan sosial yang besar antara masyarakat pendatang, termasuk kalangan profesional PT Arun, dengan masyarakat pribumi yang hidup dalam kemiskinan.
Memang sudah menjadi rahasia umum, kehidupan para pekerja PT Arun di era megahnya produksi gas, mewah luar biasa. Mereka mendapatkan tempat tinggal yang super nyaman. Pelayanan kesehatannya dijamin oleh perusahaan dengan layanan kelas I di rumah sakit sendiri di Komplek Arun. Layanan kesehatan itu turut didapatkan oleh anak, istri, hingga mertua para karyawan PT Arun.
Para dokter spesialis pun saban minggu datang bertandang untuk memastikan mereka senantiasa bugar. Di luar layanan kesehatan medis dasar, beberapa layanan tambahan juga diperoleh keluarga karyawan yang ingin tampil trendy. Ada pula layanan pemasangan kawat gigi sebagai pernak-pernik fatamorgana dunia, dan banyak lainnya.
Soal gaji tak perlu ditanya. Lagi pula gaji ini hampir tak pernah digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya karena perusahaan menanggung beberapa kebutuhan primer karyawannya. Mereka memperoleh gaji antara Rp 1 juta hingga di atas Rp 50 juta sebelum krisis moneter melanda Indonesia pada 1998, di samping berbagai tunjangan lainnya sesuai dengan tupoksinya masing-masing.
Menyulut kesenjangan
Tidak saja itu. Pihak perusahaan juga menjamin pendidikan anak-anak karyawan mereka. PT Arun LNG yang saham mayoritasnya dikuasai oleh PT Pertamina memiliki Yayasan Pendidikan Arun (Yapena). Yayasan pendidikan yang sudah didirikan pada 1978 meliputi sarana belajar dan mengajar mulai dari bangku TK, SD, SMP, hingga SMA.
Sungguh beruntung mereka yang menerima layanan pendidikan ini. Tidak seperti sekolah masyarakat pribumi yang infrastrukturnya sederhana dengan fasilitas apa adanya. Layanan kehidupan dan pendidikan yang ekslusif ini mengingatkan fenomena era penjajahan Belanda dulu di awal abad ke-17 hingga 20. Masyarakat pribumi menjadi warga nomor dua yang layaknya menjadi pelayan pendatang.
Kesombangan dan kepongahan sebagian para karyawan PT Arun LNG itu ternyata ada juga diturunkan kepada anak-anaknya. Pernah suatu ketika pada 2006, awal penulis menimba ilmu di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, menyebutkan diri ‘anak Arun’ adalah kebanggaan yang tiada tara.
Anak-anak yang suka menjual nama Arun itu acap kali tampil dengan gaya trendi, pamer, arogan, dan sinis melihat mahasiswa-mahasiswi baru lainnya dari luar kota Lhokseumawe dan Banda Aceh yang notabene dua kota besar di Aceh.
Beberapa fakta itulah yang kemudian makin menyulut kesenjangan warga PT Arun dengan masyarakat pribumi secara umum (Aceh) dan Lhokseumawe dan Aceh Utara secara khusus. Sejumlah pertikaian pun terjadi, bahkan ada petinggi dan karyawan PT Arun diculik. Sejak itu pula warga PT Arun mulai mawas diri dan kembali berupaya membangun sosialisasi dengan warga pribumi secara intens.
Wilayah Arun merupakan basis sumber daya gas yang kemudian dieksplorasi oleh PT Pertamina bekerjasama dengan Mobil Oil sejak 1968. Pada 1990, PT Arun mencatatkan diri sebagai penghasil LNG terbesar di dunia. Wajar kemudian manfaat itu dinikmati besar-besaran oleh warga PT Arun (Sumber: Wikipedia).
Sayangnya kemakmuran itu tidak bertahan lama. Pada Tahun 2000 PT Arun mulai kehilangan kemampuannya untuk mendapatkan LNG. Akibatnya pada tahun itu PT Arun sudah melakukan pengurangan tenaga kerja untuk mengharmonisasikan perusahaan. Pada 2004, pengurangan tenaga kerja kembali dilakukan dalam jumlah besar. Tahun itu menjadi momentum petaka bagi warga PT Arun.
Kendati mereka memperoleh pesangon yang nilainya terbilang besar antara Rp 300 juta hingga Rp 2 miliar lebih, namun kemudahan akses, sarana, dan kemewahan akan berakhir begitu saja. Beberapa mantan karyawan yang memiliki insting wirausaha tumbuh menjadi pebisnis-pebisnis yang mandiri. Beberapa lainnya justru terlunta-lunta di jalanan karena tak mampu mengelola uang yang ada.
PT Arun LNG benar-benar berada di ambang kehancuran. Pada 2012 kontrak pembelian gas dengan Jepang sudah berakhir. Dipastikan pada 2014, penjualan LNG ke Korea Selatan juga usai. Di tahun itu PT Arun disebut-sebut bakal mengakhiri semua proses produksinya dan menutup kisahnya bersama warga pribumi yang bernama Aceh (Theglobejournal.com, Desember 2011).
Tidak setimpal
Mengatakan PT Arun tidak memberikan kontribusi dalam pembangunan tidak juga. Tidak pun secara global Aceh, minimal di level Lhokseumawe. Itu pun hanya dinikmati oleh beberapa pribumi yang kebetulan memiliki akses langsung ke pihak perusahaan. Namun sangatlah tidak setimpal dengan hasil bumi yang sudah dikorek hingga dimungkinkan pada 2030, Kota Lhokseumawe akan tenggelam ke dasar laut. Amerika, Jepang dan Jakarta pun bisa bertepuk-tepuk tangan.
Penulis secara personal tidak paranoid dengan sektor pertambangan, eksplorasi gas alam dan minyak bumi. Hanya saja untuk apa dipertahankan jika nyatanya tidak bisa membuat masyarakat sejahtera. Akan tetapi bila dikelola secara profesional seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Oman atau Kuwait, misalnya, yang bergantung pada minyak bumi tapi bisa membuat warganya sejahtera, kenapa tidak?