LIBaS
Berlayar
ORANG Aceh sejak zaman dahulu terkenal sebagai bangsa yang biasa berlayar mengarungi ganasnya gelombang lautan
Kehebatan orang-orang Aceh mengarungi lautan banyak dikupas dalam syair-syair yang saat ini bisa kita baca kembali betapa heroiknya para pendahulu kita berlayar mengarungi lautan lepas. Istilah Meriam “Lada Sicupak” yang terkenal dalam lintas sejarah Aceh, merupakan salah satu bagian dari penggalan kisah pejuang Aceh memberi hadiah hasil bumi kepada Sultan Turki yang telah memberikan senjata meriam kepada para pejuang Aceh.
Kegiatan berlayar orang Aceh zaman dahulu, selain melakukan diplomasi politik, juga menjadi bagian kegiatan berdagang ke negeri-negeri lain di belahan dunia. Dalam satu artikel lepas tentang “Arung Samudera dan Manusia Aceh”, budayawan Aceh, T.A Sakti menukilkan kembali satu syair tentang kebiasan berlayar orang Aceh pada zaman dahulu. “Tajak u Makkah jeumeurang laot, bek takot-takot barang peue bahya. Nyangna Ion takot Allah ngon Nabi, laen beurangri hana lon taba!” (artinya: Pergi ke Mekkah seberangi laut, tak usah takut segala bahaya. Cuma Allah dan Nabi saya takuti, yang lain lagi nihil belaka alias cuek saja!). Syair Aceh di atas menyiratkan, bahwa masyarakat Aceh pada “zaman bahari” tidak asing lagi terhadap laut. Berlaut adalah keseharian masyarakat Aceh ketika itu.
Berlayar atau berlaut tentu tidak hanya mengayuh sampan ke tengah laut kemudian kembali membawa hasil tangkapan. Berlayar biasanya menyinggahi banyak macam pulau dan menggelar dagangan di pulau-pulau yang disinggahi ketika itu. Kegiatan inilah yang kemudian menjadikan Aceh negeri kuat dengan kegiatan berlayarnya para saudagar ketika itu.
Terkenalnya Aceh ke mata dunia ketika itu, justru karena negeri membuka diri pada jalur perdagangan dunia. Hasil bumi Aceh bisa dijual ke belahan negeri lain dengan berlayarnya para saudagar.
Mereka menjual hasil bumi dan membawa hasil bumi dari negara lain untuk dinikmati masyarakat Aceh ketika itu. Jika digambarkan secara detail, betapa saat itu negeri ini hidup makmur dari kegiatan pelayaran para saudagar.
Selain masyarakat Aceh yang berlayar ke luar negeri, Aceh juga disinggahi para saudagar dunia yang menjual aneka barang kebutuhan hidup. Mereka kemudian kembali membawa rempah-rempah dari Aceh.
Nah, para pendahulu Kita di Aceh telah memberi teladan yang baik dalam hal perniagaan mengarungi laut lepas. Hari ini, meski Kita tidak banyak disibukkan dengan kegiatan berlayar mengarungi lautan padahal berbisnis pada sektor ini cukup menarik dijalankan, tetapi Kita patut memberikan apresiasi atas kebijakan Pemerintah Aceh membuka jalur pelayaran Aceh-Penang dari Kuala Langsa. Semoga ini menjadi cikal bakal perniagaan Aceh dari jalur laut, dan Kita terus mendorong para pengambil kebijakan agar semua jalur perniagaan Aceh dapat terbuka kembali termasuk jalur laut sehingga masyarakat Aceh dapat kembali berlayar sebagaimana para pendahulunya untuk kemakmuran negeri ini. Semoga!