Opini
10 Alasan Mengapa Ospek Harus Dihapus
TERINGAT dalam benak saya saat mengantar teman yang masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi
Oleh Samsul Bahri
TERINGAT dalam benak saya saat mengantar teman yang masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi, setahun yang lalu. Kebetulan waktu itu, sebagai mahasiswa baru, teman saya itu akan mengikuti satu program kampus, yakni Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek). Detakan jarum jam masih menunjukan pukul 06.50 WIB. Meskipun dalam keadaan yang dipastikan masih sangat sunyi dari kesibukan warga, namun di sepanjang jalan menuju ke fakultas terlihat sesak berjejal-jejal dipenuhi oleh para senior yang siap sedia sebagai panitia Ospek.
Lingkungan kampus terlihat hijau bak pasukan tentara dengan almamater yang begitu seragam sedang berjaga-jaga di jalan lingkaran kampus. Mereka melihat saya dengan penuh tatapan tajam dan menyeramkan, yang lebih menambahkan mereka naik pitam ketika saya memasuki area yang sedang mereka kuasai dengan kendaraan roda dua tanpa mematikan mesin kendaraan.
Peristiwa ini mengingatkan memory lama yang tersimpa dalam file fikiran saya. Beberapa tahun yang lalu saya hampir perang mulut dengan mahasiswa ilmu tanah karena mereka menghalangi saya masuk ke jalan yang sama dengan senjata Ospek di tangan dan wajah arogansinya, padahal ketika itu saya juga seorang mahasiswa yang menjadi panitia Ospek di kampus yang berbeda.
Bagi dunia pendidikan, Ospek layaknya sebuah tradisi yang melembaga sejak dulu sampai sekarang. Publik juga tahu bagaimana pentingnya Ospek sebagai penunjang mengenal lingkungan kampus tahap awal. Konsep awal Ospek hanya memperkenalkan mahasiswa baru dengan kampus agar mereka siap memasuki lingkungan pendidikan baru dengan serangkaian program dan tugas-tugas aneh, serta segudang sanksi yang harus mereka dapatkan jika jelas melanggar tata tertib Ospek.
Sejak 1995 kasus Ospek mulai merambah ke media publik disebabkan banyaknya korban yang terus berjatuhan. Bahkan, baru-baru ini, di Malang, dikabarkan seorang siswi meninggal dunia ketika mengikuti masa orientasi siswa (MOS) yang merupakan adiknya Ospek. Ketika peristiwa ini terjadi, pihak Kemendikbud malah menyatakan yang harus bertanggung jawab kepala sekolah (Tribunnews, 23/7/2013). Ospek pun harus ganti-ganti baju untuk memulihkan citranya yang mulai tercemar dalam perspektif masyarakat.
Sebenarnya cukup banyak tulisan di media massa yang membahas buruknya kinerja pelaku Ospek. Pro-kontra Ospek masih terus diperdebatkan sampai sekarang. Jika Ospek dijalankan sesuai konsep tidak ada yang perlu dipermasalahkan bahkan akan memberikan dampak yang positif bagi peserta Ospek itu sendiri. Pada prakteknya, Ospek hanya menjadi ajang ekspresi implusi kekerasan dan jati diri praksis pendidikan, kerap kali ospek meniru pola militeristik kekerasan pada sistem pendidikan Indonesia.
Alasan hapus ospek
Alasan Banyak pihak yang menutut Ospek harus dihapuskan dalam sistem pendidikan Indonesia. Namun tidak kalah juga pihak yang menyuarakan agar Ospek terus dilestarikan dan semakin ditingkatkan. Ada beberapa alasan yang mereka sertakan sebagai landasan harus dihapusnya Ospek.
Pertama, Ospek hanya melestarikan budaya feodal dengan mewajibkan peserta untuk menghormati senior dan menuruti segala tindak tanduk mereka. Hal ini terkesan untuk memuaskan para senior yang “sok berkuasa” dan menganggap rendah mahasiswa baru. Kedua, Ospek sebagai upaya menanam kedisiplinan dengan menerapkan beragam hukuman dan bentakan sebagai bentuk militerisme kampus. Ini adalah benturan prinsip mahasiswa yang katanya anti militerisme di lingkungan kampus dan masyarakat, tetapi malah melestarikan militerisme dari waktu ke waktu.
Ketiga, pelaksanaan Ospek di dunia kampus hanya berkisar dua sampai tiga hari. Dalam waktu yang singkat ini mahasiswa baru akan diberikan pencerahan dan nilai-nilai baru dalam keadaan tertekan, tentu sangat tidak efektif di tinjau dari faktor psikologi. Mahasiswa yang kurang tidur atau kelelahan karena mengerjakan setumpuk tugas sungguh tidak memiliki kesiapan maksimal untuk menerima informasi baru.
Keempat, pengadaan atribut yang aneh meruapakan suatu pemborosan waktu dan uang semata, terkadang tidak sebanding dengan nilai-nilai yang ditanam dalam serangkaian aneka atribut tersebut. Lima, Thorndike, seorang ahli psikologi pembelajaran menyatakan, hukuman tidak efektif untuk meniadakan suatu perilaku tertentu. Demikian juga hukuman dan sanksi pada saat Ospek tidak akan efektif membuat seorang mahasiswa menghilangkan perilaku-perilaku buruknya.
Keenam, kekuasaan sangat dekat dengan kekerasan, karena itu tidak heran jika panitia yang berkuasa dengan derajatnya lebih tinggi dari mahasiswa baru melakukan berbagai tindakan menakutkan dan menyulitkan terhadap fisik maupun psikologi mahasiswa baru.
Ketujuh, Ospek dijadikan sebagai sarana balas dendam yang pernah dialami senior atas perlakuan kakak kelas waktu dulu yang seakarang mungkin sudah mendapatkn porsi kerja dalam instasi pemerintahan atau swasta. Sikap dan rasa belas dendam akan terus dibayangi oleh orang yang pernah disakiti atau dikerjain. Namun sayang, ospek adalah program legal sehingga memberi peluang balas dendam bagi adik leting kuliahnya, terutama mahasiswa baru.
Delapan, media Ospek memang terbukti menjadi panggung keakraban mahasiswa baru dengan senior. Perlu diingat, keakraban akan muncul dalam diri setiap mahasiswa saat meraka mulai beraktifitas di dunia kampus, jadi tidak perlu memaksakan meraka dengan suatu penderitaan untuk mengenal senior dalam waktu yang singkat ini.
Sembilan, setiap orang memiliki kondisi psikologi yang berbeda, sehingga perlakuan Abang senior terhadap adik leting kadang cenderung membuat mental mereka tertekan. Bisa saja mereka akan trauma psikologis yang akan membuat mereka terganggu secara kejiwaan. Memang dalam ajang Ospek jarang hal ini terjadi, tapi paling tidak akar yang menjurus ke arah tersebut harus dicabut.