Balai Bahasa
Geureuda
DALAM sebuah diskusi terbatas, saya ternganga dengan munculnya sebuah pertanyaan penting dari seorang teman
Oleh Sulaiman Tripa, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh
DALAM sebuah diskusi terbatas, saya ternganga dengan munculnya sebuah pertanyaan penting dari seorang teman: “Apa yang menyebabkan seseorang tidak bisa menyembunyikan geureuda-nya?” Pertanyaan itu, terutama karena kata “geureuda” yang sudah sangat jarang saya dengar. Kemudian untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak cukup hanya dengan melihat satu ruang saja, misalnya masalah perut atau ruang kosong sopan santun. Pada kenyataannya, masalah ini terkait dengan semua aspek kehidupan.
Berdasarkan pertanyaan teman tersebut, secara sederhana mencemeti saya mencari beberapa bentuk realitas. Dan ternyata memang ironis. Cara amati secara sederhana adalah membaca suratkabar. Dalam Harian Serambi Indonesia, tiap hari kita menyaksikan berita yang terkait dengan “geureuda” ini.
Konsep geureuda
Dalam kehidupan masyarakat Aceh (pesisir), kata-kata “geureuda” hanya salah satu dari sekian banyak kata untuk menggambarkan maksud yang sama, “rakus, tamak, serakah”. Bila kita buka dalam Kamus Bahasa Indonesia Aceh yang ditulis M Hasan Basry (1994), kata “geureuda” ini disetarakandengan kata-kata seperti jumoh; lubha; waba; leuha; dan tama’. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata itu memiliki sejumlah kata yang sepadan, yakni “lahap” (oleh M Hasan Basry diterjemahkan ke dalam kata-kata geureuda; jumoh; lubha; waba), “majuh” (jumoh; geureuda; leuha; waba), pelalah (geureuda; jumoh), dan “temaah” atau “temahak” (lubha; tama’; geureuda; jumoh).
Makna kata-kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tersebut tidak jauh berbeda. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yang ditulis Peter Salim dan Yenny Salim (2002), beberapa kata dapat dilihat: Pertama, kata “lahap” diterjemahkan sebagai “suka makan banyak tanpa memilih jenis makanannya; rakus”. Untuk kata “melahap” diterjemahkan “makan banyak-banyak”. Dan kata “pelahap” (diterjemahkan “orang yang rakus; orang yang tamak atau serakah”. Kedua, kata “majuh” diterjemahkan dengan “lahap, rakus, gelojoh”.
Ketiga, “pelalah” adalah “orang yang banyak makan, rakus”. Serta Keempat, “temaah atau temahak, merupakan “loba, rakus”. Keempat kata tersebut jelas memiliki maksud yang berbeda, walau dengan penjelasan yang hampir sama. Sama seperti kata-kata dalam bahasa Aceh sendiri, dimana sejumlah kata yang dipakai memberi tanda tentang maksud yang ingin disampaikan.
Maksudnya adalah orang yang menyebut “geureuda” untuk seseorang, berbeda level maksudnya dibandingkan dengan kata-kata lain seperti “jumoh”, “lubha”, “leuha”, “tama’”, dan “waba”. Sangat kontekstual Semua kata tersebut pada dasarnya sangat kontekstual. Penyebutan kata tersebut terkait dengan perilaku yang umumnya secara teks berhubungan dengan pola orang makan.
Tapi pemaknaannya tentu tidak berhenti pada cara makan semata. Dalam masyarakat Aceh kekinian, “geureuda” terkait dengan orang-orang rakus dan serakah yang hanya memikirkan diri sendiri. Pemimpin yang mengaku pelayan tapi tidak boleh sesaat pun honornya telat dibayar. Pemanfaatan surat perintah jalan dengan berbagai cara, adalah contoh lain dari “geureuda” itu sendiri.
Dengan demikian dalam arti luas, “geureuda” tidak terpaku pada perbuatan boleh atau tidak boleh. Adakala perilaku yang yang dibolehkan tapi akan dianggap tidak beretika. Kondisi ini dengan mudah kita temui pada tempat-tempat makan. Orang yang mengambil makanan dengan tidak memperhitungkan kemampuan untuk memakan. Sering kita lihat di pesta-pesta, makanan yang tersisa yang tidak mampu dihabiskan, padahal makanan tersebut diambil sendiri.
Untuk hal-hal yang tidak diperbolehkan sangat banyak contohnya. “Geureuda” terkait dengan perbuatan seperti mengambil yang memang haknya, tapi tidak bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Setiap hari, berita Serambi Indonesia mengenai realitas ini selalu ada. Pegawai negeri yang sudah memiliki gaji tertentu dan berbagai tunjangan, masih menyebut tidak cukup. Berbagai penyelewengan terjadi bukan karena ketidakcukupan, melainkan karena memang tamak, rakus, dan loba. Itulah “geureuda”