Anyaman Tikar Aceh jadi Simbol Pemersatu Bangsa
Pengerjaan awal tikar ini dilakukan di Pidie Jaya pada 20 Juni 2011 dengan melibatkan 99 janda korban konflik dan tsunami
SERAMBINEWS.COM, MEDAN - Sejumlah seniman Aceh sedang menggagas penyelesaian anyaman tikar untuk dijadikan simbol perdamaian dan pemersatu bangsa. Rencananya, tikar berukuran 2004 meter per segi ini akan diselesaikan di Bali.
Rahmat Agustiar, yang menjadi General Manager pada proyek ini menjelaskan posisi tikar tersebut masih berada di Simeulue. Pengerjaan awal tikar ini dilakukan di Pidie Jaya pada 20 Juni 2011 dengan melibatkan 99 janda korban konflik dan tsunami. Saat itu Muri memberikan penghargaan sebagai tikar berukuran terbesar.
Rahmat mengatakan, pengerjaan anyaman tikar ini baru mencapai 18 persen, atau sepanjang 50 meter, dan lebar 7,5 meter. Rencananya dalam waktu dekat tikar tersebut akan diboyong ke Banda Aceh, untuk dilanjutkan penganyamannya.
"Kita ingin menjelaskan filosofi di balik tikar ini. Satu lubang saja terjadi, maka akan menciptakan lubang besar yang bisa merusak tikar itu," kata Rahmat ketika ditemui di Kantor Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan, Rabu (11/3).
Filosofi ini menurutnya menggambarkan kejadian konflik bersenjata yang dialami Aceh yang baru bisa diselesaikan ketika smong (tsunami) menerjang pada 2004. Saat ini pun lubang-lubang kecil masih terlihat di sejumlah daerah, dan bila tidak diselesaikan bisa memicukan lubang besar atau perpecahan. Ia berkeinginan proses penyelesaian anyaman tikar ini dilanjutkan di setiap daerah, hingga nantinya diselesaikan di Bali.
"Makanya kita mau perkenalkan filosofi tikar ini. Duduk sama rata. Di situ tidak ada perbedaan etnis, agama, bangsa atau apapun," tandasnya.
Yoppi Smong, manajer proyek ini meyakini upaya kesenian dan kebudayaan ini secara langsung akan semakin memperkenalkan Aceh di mata internasional. Ia berharap ada hasil nyata di sektor pariwisata ketika anyaman tikar ini sudah diselesaikan. Karena saat ini Aceh masih identik dengan kesan konflik.
"Kita sudah bertemu Raja Bali, dan orang di sana bersedia datang ke Aceh bila anyaman ini selesai. Sebab di mata mereka, kalau budaya sudah menonjol, makan konflik di daerah itu sudah tidak ada," tandasnya.
Diterangkannya, Aceh sebenarnya memiliki hikayat yang sangat kaya. Hikayat ini termasuk menceritakan tentang cara menghadapi smong. Hikayat muncul ketika Simeulue dilanda smong pada tahun 1883 dan 1907.
"Hikayat smong itu menceritakan ketika ada gempa, air laut surut, maka larilah ke bukit. Artinya orang Aceh sudah lebih dulu mengenal bahaya smong," beber Yoppi.
Kepala Kantor Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan, Ruslan Armas sangat mendukung kegiatan ini karena membangkitkan kembali kebudayaan Aceh. Ia pun sepakat kalau Indonesia menggunakan kata smong dibanding tsunami.
Ruslan sendiri mengaku memiliki pengalaman pahit pada smong tahun 2004, karena istri dan lima anaknya meninggal. "Sekarang Aceh sudah jauh lebih baik. Di sini (Medan), saya selalu menginformasikan tentang keindahan Aceh, termasuk jadwal transportasi menuju Sabang," tandasnya. (mad)
