Lebaran Internasional di Gampong Aree

Di Gampong Aree, membawa pulang mobil mewah adalah tanda kesuksesan bagi warga yang merantau antar provinsi.

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Faisal Zamzami
SERAMBINEWS.COM/ZAINAL ARIFIN
DERETAN mobil bernopol luar daerah di pekarangan Masjid Gampong Aree Kecamatan Delima, Pidie, Senin (20/7/2015). 

SERAMBINEWS.COM - Selalu ada yang berbeda setiap kali saya berlebaran di Gampong Aree, Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie, Aceh.

Tidak melulu bicara tentang tradisi perang meriam bambu, belakangan beralih ke meriam karbit, ada banyak cerita menarik di permukiman warga yang terdiri atas 14 desa ini.

Deretan mobil mewah yang terparkir di depan meunasah dan pekarangan masjid menjadi pemandangan umum pada hari-hari Lebaran Idul Fitri di perkampungan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Kota Sigli, ibukota Kabupaten Pidie ini.

Mobil-mobil aneka merek, mulai dari Toyota, Honda, Nissan, hingga Jeep Rubicon, ini umumnya menggunakan nomor polisi luar daerah. Seperti BM (Riau), BH (Jambi), BG (Sumsel), dan BE (Lampung).

Tapi, pemandangan seperti ini bukanlah hal yang aneh bagi warga beberapa desa lainnya di Kabupaten Pidie, sebuah kabupaten yang terkenal dengan tradisi warganya yang suka merantau.

Selain deretan mobil para pemudik dari berbagai kota di Sumatra, ada hal menarik lainnya saat berlebaran di Gampong Aree.

Jangan heran, jika saat bertamu ke sebuah rumah di sini, Anda akan melihat anak-anak berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih. Sebab, ratusan penduduk asal gampong ini telah menjadi warga negara asing, terutama Australia dan Malaysia.

Pada Lebaran tahun ini misalnya, saya berjumpa dengan teman lama yang kini telah menjadi warga Negara Selandia Baru (New Zealand).

Irwan Hasballah namanya. Pemuda 38 tahun ini mudik bersama istri dan 3 anaknya yang kesemuanya berstatus WN New Zealand.

Meski kerap bertutur dalam bahasa Inggris, anak-anak Irwan juga sangat fasih berbicara bahasa Aceh dan Indonesia.

Tahun ini adalah kali kedua Irwan pulang ke kampung halaman, setelah 10 tahun lamanya merantau di negeri orang.

"Dulu, selama 9 tahun menetap di New Zealand, hanya sekali saya pulang kampung. Alhamdulillah, sekarang saya sudah menetap dan bekerja di Perth, Australia, sehingga lebih dekat untuk kembali ke Aceh," kata pemuda yang bekerja di tempat pemotongan hewan di Perth, Australia ini.

Irwan menuturkan, kepulangannya ke kampung juga sekaligus untuk mendekatkan anak-anaknya dengan budaya dan tradisi Aceh.

"Kalau anak saya yang tua sudah sangat lancar berbahasa Aceh. Kalau yang nomor dua, ketika di New Zealand ataupun Australia, sering nggak mau ngomong dalam bahasa Aceh. Tapi kalau sudah sampai di kampung kan terpaksa, kalau tetap ngotot bicara Inggris, dia tak akan punya teman," kata Irwan sambil tertawa lebar.

Maka, rumah orang tua Irwan di Gampong Uleetutue Raya, Kemukiman Gampong Aree, menjadi salah satu rumah yang kerap terdengar anak-anak bertutur dalam bahasa Inggris.

"Kalau bicara dengan kami, mereka kerap pakai bahasa Inggris. Tapi dengan saudara atau teman-teman sebaya di kampung pakek bahasa Aceh," kata pria beristrikan wanita asal Aceh Barat, yang kini juga telah menjadi WN New Zealand.

Saat Lebaran Idul Fitri dua tahun lalu, saya terheran-heran dengan tingkah dua anak perempuan mirip bule yang datang ke warung kopi di pasar Gampong Aree. Kedua anak ini datang ke warung kopi bersama ayah dan ibunya, warga Gampong Aree yang telah mengantongi "KTP" Australia.

Saat saya menawarkan minuman, kedua anak ini malah meminya Fanta yang sudah didinginkan di kulkas. Padahal saat itu jam masih menunjukkan pukul 7.30 pagi.

"Itulah, sudah menjadi kebiasaan mereka. Katanya kegerahan dengan cuaca," sebut Farida, ibu dari kedua bocah ini saat melihat saya mengungkapkan keheranan atas sikap anak-anaknya yang meminta minuman dingin di pagi hari.

Di Gampong Aree, membawa pulang mobil mewah adalah tanda kesuksesan bagi warga yang merantau antar provinsi.

Sementara bagi warga yang merantau antarnegara, tidak akan terlihat dari mobil yang digunakannya. Karena umumnya mereka hanya menunggangi Toyota Avanza, Innova, atau mobil sekelas.

Itu pun kebanyakan mobil yang dirental di Sigli maupun Banda Aceh. Jika mereka berencana menetap hingga satu bulan, biasanya mereka akan membeli mobil baru atau bekas, yang kemudian akan dijual kembali saat berangkat kelak.

Saya belum mendapatkan literatur tertulis tentang sejarah merantau yang kemudian menjadi tradisi turun temurun di Gampong Aree.

Penelusuran dan pengamatan Serambinews.com, pada Lebaran tahun ini terjadi penambahan hingga 200 unit mobil di Gampong Aree.

Mobil-mobil yang sebagiannya masuk katagori mewah itu umumnya milik perantau yang berprofesi sebagai penjual pupuk dan alat-alat pertanian di sejumlah kota besar di Sumatra. Sebagian lainnya milik para perantau di kota-kota di Aceh, dan milik para perantau dari luar negeri.

Karena banyaknya mobil, sebagian tidak tertampung di pekarangan rumah, sehingga harus diparkir di pekarangan meunasah, masjid, hingga di badan jalan.

Beberapa warga yang ditemui Serambinews.com memperkirakan, jumlah warga asal Gampong Aree yang menetap di Australia mencapi hingga 500 orang. Sebagian mereka telah menjadi penduduk tetap, karena sudah lama menetap maupun karena dilahirkan di negeri Kanguru itu.

Jadilah, setiap Lebaran Gampong Aree selalu ramai dengan warga asing, dalam arti wajahnya jarang terlihat maupun warga negata asing dalam arti sebenarnya, karena mereka telah menjadi warga negara lain.

Setelah Lebaran selesai, Gampong Aree akan kembali sepi dan kehilangan sebagian besar anak-anak muda tamatan SMA.

Itu karena, setiap kalo para perantau ini pulang kampung pada hari Lebaran, mereka pasti akan mengajak anak-anak muda tamatan SMA untuk mengikuti jejak di perantauan.

Di perantauan, mereka akan diajarkan cara berniaga. Jika dianggap punya kemampuan, akan diberikan modal untuk memulai usaha di perantauan.

Kalau sukses dalam mengemban amanah untuk menjalankan usaha, maka pada lebaran beberapa tahun mendatang, anak-anak muda yang dulunya pengangguran ini, pulang dengan mobil keluaran terbaru.

Setelah sekitar dua minggu berada di kampung, nereka sudah pasti akan mengajak anak-anak muda lainnya untuk ikut jejak mereka.

Jika ada yang beruntung tembus ke luar negeri, maka akan bertambah pula jumlah warga negara asing yang berlebaran di Gampong Aree. Ujung-ujungnya, kehadiran anak-anak mereka yang bertutur dalam bahasa Inggris, memberi suasana internasional saat berlebaran di Gampong Aree.

"Gampong Aree ini merupakan sebuah contoh bagi generasi muda lain di Aceh untuk belajar, bagaimana mereka berusaha meraih sukses dengan bekerja keras dan cerdas. Tanpa harus mengharapkan bantuan dari pemerintah," ungkap Tarmizi A Hamid, kolektor naskah kuno Aceh yang secara khusus datang ke Gampong Aree pada, Senin (20/7/2015), untuk merasakan suasana "Lebaran Internasional" di kampung pedalaman Pidie ini. (Zainal Arifin M Nur)

Tags
Idul Fitri
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved