Guru Aceh dan Tangisan Anak-anak Suku Dayak

Jika hari Jumat tiba, warga Suku Dayak selalu menanyakan bagaimana caranya Muzakir bisa pergi shalat Jumat

Penulis: Muhammad Hadi | Editor: Amirullah
IST
Muzakir SPd berfoto bersama anak-anak suku Dayak 

“Pak jangan pulang, bapak jangan pergi. Nanti kami tidak ada guru lagi, siapa yang ajarkan kami,”

ANAK-anak itu terus merengek, menangis, mereka memegangi baju dan tangan Muzakkir, dan bermohon agar guru muda asal Aceh ini tidak meninggalkan mereka.

Muzakkir tertahan selama satu jam, ia pun terbawa emosi menangis haru bersama tangisan anak-anak Suku Dayak di SD Negeri 10 Moro Behe 1, Kecamatan Meranti, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Ini sepenggal kisah, Kamis (13/8/2015) siang kemarin yang diceritakan kembali oleh Muzakkir kepada Serambinews.com saat akan mengakhiri masa bakti di SD tersebut. Muzakkir adalah lulusan Prodi Penjaskesrek, FKIP Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Angkatan 2013.

Ia tak mengira, tangisan murid-muridnya sesedih itu. Kabar kepergiannya, rupanya sudah diketahui murid-murid yang selama ini belajar bersamanya. Di sebuah desa yang jarang terjamah kendaraan seperti mobil, listrik tidak ada, dan sinyal untuk berkomunikasi juga tidak sebaik di kota besar.

Kamis itu, merupakan hari terakhir melihat guru yang sudah setahun mengajari mereka berbagai mata pelajaran. Pemuda kelahiran Grong-Grong, Aceh Timur, 1 Juni 1990 langsung menghampiri untuk menenangkan anak didiknya yang menangis tidak henti.

Satu persatu ia tenangkan muridnya agar tak menangis lagi. Tapi usahanya sia-sia karena anak-anak yang masih berpakaian sekolah itu terus menangis. Guru yang pernah mengajar di SMA Negeri 7 Banda Aceh itu tak mampu menyembunyikan kesedihannya.

Ia terharu hingga matanya berkaca-kaca menyaksikan tangisan murid yang terus meronta-ronta. Di sekolah itu muridnya 90 persen pemeluk Kristen. Sedangkan guru beragama Islam hanya dirinya, dan Kepala Sekolah, Abdul Rani yang keturunan Melayu.

“Pak jangan pulang, bapak jangan pergi. Nanti kami tidak ada guru lagi, siapa yang ajarkan kami,” ujar anak-anak Dayak itu.

Satu jam Muzakkir tertahan di sekolah tersebut. Orang tua murid, guru, dan kepala sekolah ikut menenangkan anak-anak yang masih menangis. Orang tua murid, dan guru juga berat melepaskan kepergiannya.

Mereka menyalami dan memeluknya erat-erat seolah tak mau lepas. Akhirnya isak tangis diselimuti keharuan melepaskan kepergian seorang cekgu yang sudah setahun mengabdi.

Beruntung sudah seminggu tak turun hujan sehingga membutuhkan waktu tiga jam perjalanan. Ia melewati jalan rusak, bertanah kuning kering dengan naik ojek bergantian menuju ibu kota kabupaten.

“Saya mulai bertugas 5 September 2014, dan hidup di desa yang mayoritas penduduknya bersuku Dayak, “ ujar Muzakkir.

Anak-anak itu menangis karena tahu ia akan pergi saat mengikuti agenda perpisahan di sekolah bersama warga desa lainnya. Mereka takut tak ada guru lagi nanti setelah dirinya kembali ke Aceh.

Di SD itu hanya ada dua guru PNS, satu CPNS, dan lainnya guru honor yang hanya lulusan SMA dengan jumlah murid dari kelas I-V ada 80 murid.

Pengabdiannya sudah berakhir sehingga harus kembali ke Aceh. Untuk persiapan tahap selanjutnya Pendidikan Profesi Guru (PPG). Nantinya lanjutan dari program SM3T untuk setahun lagi menjadi guru profesional.

“Kami tunggu kapan pendaftaran ulang untuk PPG dari Dikti. Setelah itu kami dikuliahkan oleh Dikti selama setahun lagi,” ujarnya.

Selama di sana, Muzakkir tinggal di kantor sekolah yang bersebelahan dengan kuburan massal warga sekitar.

Warga kampung memberinya beras, makan, dan kebutuhan lain sehari-hari. Mereka melarang Muzakkir membeli dari kedai yang ada di kampung itu.

Jika hari Jumat tiba, warga Suku Dayak selalu menanyakan bagaimana caranya Muzakkir bisa pergi shalat Jumat. Kadang Muzakkir pergi dengan menumpang sepeda motor kepala sekolah.

Lain kali, ia diantar warga Suku Dayak menuju satu mesjid kecil berjarak sekitar 8 Km di pusat kota Kecamatan Meranti yang didiami sebagian warga muslim Melayu.

“Kepedulian mereka terhadap perbedaan agama sangat kuat. Walaupun saya hidup di desa mayoritas nonmuslim. Tapi toleransi beragama sangat mereka hargai,” ujarnya.

Awal kisah Muzakkir berada di pendalaman Kalbar ini saat bergabung dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertingggal (SM-3T) Angkatan IV tahun 2014/2015.

Ini adalah Program Dikti langsung dan di Aceh diselenggarakan oleh LPTK Universitas Syiah Kuala. Ada 82 guru dari Aceh yang dibagi dua, 41 orang ke Provinsi Kalimantan Barat, dan 41 orang ke Kepulauan Riau.

Mereka yang bertugas di Kalimantan Barat akan berkumpul di ibu kota Pontianak pada 23 Agustus dan akan dijemput oleh Dekan FKIP Unsyiah.

“Kebetulan saya sendiri yang ditugaskan di SD Negeri 10 Moro Behe 1. Saya mengajar pelajaran Penjas, kadang semua pelajaran harus diajarkan. Karena kekurangan guru IPA, IPS, PKN, Matematika, Kesenian, dan muatan lokal,” ujarnya.

Muzakkir mengaku menjadi lebih dewasa dalam berbagai hal. Karena hidup di daerah orang, apalagi banyak anak-anak Dayak di pedalaman Indonesia yang butuh pendidikan layak, agar lebih memperkuat keutuhan NKRI.

Di pedalaman kampung itu, Muzakkir mendapati kesederhanaan, kebersahajaan warganya. Ia tak akan pernah lupa bagaimana anak-anak SD di kampung begitu hormat dan menghargai guru di sekolah.

“Apa yang saya alami setahun bersama guru, warga desa di sini, anak-anak yang polos. Mungkin tidak akan pernah bisa saya lupakan seumur hidup,” ujarnya.(muhammad hadi)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved