Kisah Seorang Penjual Kambing Kurban yang Menangis
Kisah ini dituturkan oleh seorang penjual hewan kurban. Ia tak sanggup menahan tangis saat mengetahui siapa sebenarnya yang membeli seekor kambing
"Ini uangnya Pak. Maaf ya kalau saya nawarnya terlalu murah, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk membeli kambing buat kurban atas nama Emak," kata Bu Sumi.
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa dalam hati.
"Ya Allah. Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa".
"Pak, ini ongkos kendaraannya.", panggil ibu itu.
"Sudah bu, biar ongkos kendaraannya saya yang bayar", jawabku sambil cepat-cepat berpamitan, sebelum Bu Sumi tahu kalau mata ini sudah basah karena karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNya yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
Untuk menjadi mulia, ternyata tak harus menunggu kaya. Untuk mampu berkurban, ternyata yang dibutuhkan adalah kesungguhan.
Kita jauh lebih kaya dari Bu Sumi. Rumah kita bukan gubuk, lantainya keramik. Ada kursi, ada meja, ada perabot hingga TV di rumah kita. Ada kendaraan.
Bahkan, HP kita lebih mahal dari harga kambing kurban. Tapi sudah sungguh-sungguhkah kita mempersiapkan kurban?
Jika kita sebenarnya mampu berkurban, tapi tak mau berkurban, hendaklah kita takut dengan sabda Rasulullah ini:
"Barangsiapa yang memiliki kelapangan untuk berkurban namun dia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami" (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Al Hakim). (sumber muslimahcorner.com)