Bentrok di Aceh Singkil
Konflik Singkil Mengulang Peristiwa 36 Tahun Silam
KERUSUHAN antara dua kelompok berbeda di Aceh Singkil, Selasa (13/10) lalu, mengingatkan kembali
KERUSUHAN antara dua kelompok berbeda di Aceh Singkil, Selasa (13/10) lalu, mengingatkan kembali akan peristiwa yang terjadi 36 tahun silam, tepatnya tahun 1978. Akar permasalahannya pun serupa, yaitu rumah ibadah yang tak memiliki izin.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Singkil, Rasyidudin, sebagai salah seorang pelaku sejarah menceritakan, saat konflik 1978 terjadi dirinya masih remaja. Oleh karena itu dia mengaku sangat terpukul, konflik serupa kembali terulang di usianya yang sudah sepuh ini. “Saya sangat sedih, peristiwa masa lalu kembali terjadi,” kata Sasyiddudin kepada Serambi, Kamis (15/10).
Mengatasi konflik tersebut, tahun 1979 dilakukan perjanjian damai antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Perjanjian yang sama juga dilakukan pada tahun 2001, yang melahirkan kesepakatan bersama yang isinya menyetujui adanya satu rumah ibadah di Kuta Kerangan dan empat undung-undung (rumah ibadah dalam bentuk tertentu), masing-masing di Desa Keras, Tuhtuhan, Sukamakmur dan Desa Lae Gecih.
Dalam perjanjian itu juga disetujui, terhadap rumah ibadah yang jumlahnya di luar kesepakatan akan dibongkar sendiri. Sayangnya seiring berjalan waktu, kesepakatan membongkar sendiri itu tidak dilaksanakan. Hal itulah yang terus menjadi bibit perselisihan. Puncaknya terjadi peristiwa yang sangat tidak diinginkan hingga memakan korban nyawa. “Saya pastikan kesepakatan 2001 tidak ada tekanan, saya sebagai pelaku sejarah menjamin itu,” ujarnya.
Rasyiduddin juga meluruskan bahwa yang dipersoalkan kelompok mayoritas bukan masalah ibadah dan orangnya, melainkan rumah ibadah yang tidak memiliki izin dan tidak dibongkar sebagaimana kesepakatan sebelumnya.
“Saya tegaskan yang dipersoalkan bukan perbedaan agama. Tapi rumah ibadah yang tidak memiliki izin. Saya pun sudah sampaikan di hadapan Pangdam dan Kapolda kalau yang jadi sasaran massa bukan orangnya, tapi rumah ibadah tak berizin,” tandas Rasyiduddin. “Jika saja perjanjian yang telah dibuat pendahulu kita dilaksanakan, mungkin peristiwa kerusuhan tidak akan terjadi,” imbuhnya.(de)