Bentrok di Aceh Singkil

Pengamat: Konflik Singkil Seperti Ada Pembiaran

Pakar politik demografi dan peneliti ekologi manusia pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/DEDE ROSADI

BANDA ACEH - Pakar politik demografi dan peneliti ekologi manusia pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Fajri Alihar berpendapat, bentrokan antarkelompok di Aceh Singkil, Selasa (13/10) lalu, seharusnya tidak terjadi karena dapat diantisipasi oleh pemerintah dan aparat keamanan setempat.

“Sebab sebelumnya sudah muncul tanda-tanda bergejolaknya masyarakat. Sebelumnya masyarakat sudah protes sehingga ada demonstrasi, namun semua itu seperti terabaikan, sampai akhirnya terjadi bentrokan berdarah. Satu orang tewas, empat lainnya terluka,” ujar doktor jebolan Jerman ini melalui sambungan telepon dalam Talkshow Cakrawala membedah Salam (Editorial) Harian Serambi Indonesia, Senin (19/10) di Radio Serambi FM, Aceh Besar.

Menurut Fajri, sehari sebelum bentrokan itu terjadi, sudah ada kesepakatan antara Pemkab Singkil dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat Aceh Singkil terkait penertiban sejumlah rumah ibadah yang seyogianya dilakukan pada 19 Oktober 2015. Namun, akhirnya semua berjalan tidak sesuai rencana, karena pada 13 Oktober terjadi mobilisasi massa yang sudah terkontrol untuk merobohkan rumah ibadah di Desa Sukamakmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil.

Ilmuwan kelahiran Singkil ini menduga, bertindaknya massa untuk membakar gereja (di luar jadwa pembongkaran yang sudah disepakti), karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pemkab Aceh Singkil. “Masyarakat ragu apa benar pemkab mau membongkar sepuluh rumah ibadah yang sudah disepakati untuk ditertibkan itu. Soalnya, selama ini seperti ada pembiaran, padahal sudah sejak dulu rumah-rumah ibadah tanpa izin itu semestinya ditertibkan,” kata Fajri Alihar.

Menurut Fajri, pembangunan rumah ibadah di Aceh, demikian pula di Aceh Singkil, memiliki aturan. Seharusnya, semua orang memahami aturan tersebut, sehingga tidak memicu konflik.

Fajri menambahkan bahwa konflik antarkelompok di Singkil sudah terjadi beberapa kali, seperti tahun 1940, 1941, dan 1968. Bahkan dulu pun masyarakat juga sempat mengungsi ke perbatasan Sumut yang sebetulnya dekat saja jaraknya dengan tempat domisili mereka di Aceh Singkil. “Jadi, kejadian Singkil itu merupakan sejarah yang berulang, akibat masalah itu dianggap sepele,” ujar Fajri.

Ia berpendapat, konflik Singkil bukanlah masalah SARA (suku, agama, ras, antargolongan), melainkan karena miskomunikasi semata. Sudah disepakati pembongkaran 10 gereja tak berizin pada 12 Oktober, namun terlambat disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga esoknya warga langsung bertindak terhadap rumah ibadah tak berizin itu.

Fajri mengatakan, sebagian besar masyarakat sekitar gereja yang dibakar tidak mengungsi karena mereka tahu bukan mereka yang disasar.

Selain itu, pascainsiden itu masyarakat nonmuslim semakin ramai yang berjualan di kota Singkil. Ia berharap ke depan warga Singkil dapat lebih menjunjung tinggi keberagaman dan menjaga kerukunan dan toleransi antarumat beragama.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPRA, Bardan Sahidi juga mengatakan konflik Singkil bukanlah konfik SARA, melainkan karena adanya miskomunikasi antara dua kelompok warga.

Menurutnya, masyarakat haruslah mematuhi aturan yang ada dalam pendirian rumah ibadah. Kejadian ini, kata Bardan, harusnya semakin mendorong DPRA untuk membahas dan mengesahkan Qanun tentang Pendirian Rumah Ibadah. Selama ini di Aceh, regulasi tentang itu hanyalah berupa Pergub, yakni Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Sementara itu, sejumlah umat Kristen di Desa Siompin, Kecamatan Suro, Aceh Singkil, tampak pasrah ketika rumah ibadah mereka dibongkar Satpol PP kemarin, karena tidak memiliki izin sebagaimana aturan pendirian rumah ibadah.

Meskipun sedih, namun para kaum Nasrani ini mengaku taat kepada aturan yang diterapkan pemerintah, sehingga tidak melakukan perlawanan atau menghambat proses pembongkaran itu.

Adalah R Manik, seorang jemaat di Gereja Missi Injili Indonesia (GMII) mengaku tetap menghormati atas apa pun yang diputuskan pemerintah. Sebab, kata Manik, dalam agama juga disuruh untuk menaati pemerintah.

Di GMII ini terdapat 15 kepala keluarga sebagai jemaatnya atau sekitar 75 jiwa. Namun, angka itu bukan hanya berasal dari penduduk Siompin, melainkan ada beberapa dari desa lainnya. “Mau bagaimana lagi, siapa tidak sedih tapi karena memang ini aturan kami harus taat pada pemerintah, sebab agama juga menyuruh kita untuk tunduk pada pemerintah,” kata Manik.

Manik menjelaskan, banyaknya bermunculan rumah ibadah di sana lantaran selain pertumbuhan penduduk serta minimnya kapasitas bangunan juga terkait masalah aliran dalam agama Kristen Protestan yang tidak sama, sehingga dalam praktik ibadah terjadi perbedaan dan tidak mungkin jemaat bebas untuk bergabung. Misalnya, jemaat GMII tak bisa bergabung kepada GKPPD (Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi). Sebab, dalam proses kebaktian kedua rumah ibadah ini berbeda. GKPPD berbahasa Pakpak, sedangkan GMII berbahasa Indonesia. (mr/de/lid)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved