Citizen Reporter

Toleransi Beragama di Balkan

KETIKA pertama kali mendengar akan pergi ke Serbia, tak banyak hal yang bergayut di kepala

Editor: bakri

OLEH MUHAMMAD HAFIDH, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia asal Aceh, ikut pertukaran pelajar di Universitas Belgrade, melaporkan dari Serbia

KETIKA pertama kali mendengar akan pergi ke Serbia, tak banyak hal yang bergayut di kepala saya. Hanya beberapa hal yang saya ketahui tentang Serbia, sebut saja pemain bola seperti Branislav Ivanonic, Mateja Kezman, dan Nemanja Vidic.

Hal kedua yang muncul adalah daerah Balkan, bekas Negara Yugoslavia beserta presidennya yang terkenal, Joseph Bros Tito yang juga punya hubungan baik dengan Indonesia ketika bersama-sama dengan Soekarno membentuk Gerakan Nonblok.

Hal terakhir yang saya ingat adalah pembantaian muslim di Bosnia oleh etnis Serbia pada tahun 1992 sampai 1995 setelah runtuhnya Yugoslavia yang menghabiskan begitu banyak etnis Bosnia, satu-satunya populasi muslim di Yugoslavia saat itu.

Serbia sendiri adalah negara yang terletak di daerah timur Eropa beribukotakan Beograd (Belgrade). Sebuah negara yang awalnya merupakan daerah jajahan dari dua kerajaan besar di Eropa, yaitu Kekaisaran Autria-Hungaria dan Kekaisaran Ottoman. Dua jenis kebudayaan yang bercampur menjadi satu keunikan tersendiri dalam pembentukan peradaban Serbia.

Saat pertama kali saya mengatakan kepada orang-orang mengenai keberangkatan saya ke Serbia, hampir semua memiliki reaksi yang bisa dikatakan sama, yaitu munculnya sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu adalah apakah Serbia aman bagi seorang muslim? Saya berpikir bahwa ini merujuk pada bagaimana pembantaian umat muslim Bosniak oleh Kristen Orthodoks yang beretnis Serbia.

Pembantaian Srebrenica yang menelan korban 8.000 warga Bosniak atau warga muslim Bosnia, sering disebut sebagai peritiswa paling keji di Eropa sejak Perang Dunia II. Pembantaian ini dilakukan Juli 1995 di daerah Srebrenica, Bosnia, oleh pasukan Republik Srpska, pimpinan Jenderal Ratko Mladic. Jenderal Mladic kini menjadi buronan internasional karena melakukan genosida dan berbagai kejahatan perang lain di Yugoslavia. Pelaku pembantaian itu juga pasukan etnik Serbia di Bosnia yang merupakan sekutu Presiden Serbia ketika itu, Slobodan Milosevic.

Setelah beberapa lama berada di Serbia, saya justru melihat tingkat toleransi agama yang cukup tinggi. Di Belgrade banyak tinggal mereka yang berasal dari Kroasia, juga Bosnia, di mana mereka bercampur dalam berbagai macam aktivitas keseharian. Namun, saya melihat tidak ada lagi jurang pemisah antarberbagai etnis ini di Serbia. Seakan mereka hidup menjadi satu-kesatuan masyarakat yang sama-sama hidup di satu kota tanpa adanya sedikit pun pergesekan akibat luka masa lalu tersebut. Bahkan banyak teman saya dari Kristen Ortodoks, ateis, dan Katolik, ketika ada suatu perayaan mereka selalu menyiapkan makanan dan minuman halal buat teman muslimnya.

Kebanyakan mereka juga menghargai waktu beribadah satu sama lain, muslim khususnya. Toleransi beragama ini seakan menjadikan warna baru dalam kehidupan masyarakat Serbia yang kini sangat harmonis.

Bahkan tahun 2010, Parlemen Serbia, setelah melalui perdebatan alot, disiarkan oleh stasiun televisi, memutuskan untuk meminta maaf kepada seluruh keluarga korban atas apa yang terjadi dalam tragedi tersebut. Terlepas dari kontroversi yang ada, PM Serbia juga mengatakan seharusnya Pemerintah Serbia bisa berbuat lebih banyak guna mencegah terjadinya peristiwa itu.

Yang juga menarik di Serbia adalah politisi atau pejabat malu dan tabu untuk memakai isu agama atau kepercayaan untuk mendulang suara saat pemilihan. Di Serbia ada banyak aliran ortodok yang berbeda-beda, namun para pejabat atau politisi tak pernah berpihak atau memanfaatkan hal itu untuk mendulang suara. Di sini mereka yang membawa isu agama untuk mendulang suara disebut pengecut. Bagi masyrakat Serbia, penggunaan isu agama seperti menegaskan mereka yang menggunakannya merasa takut untuk tidak terpilih karena kinerja mereka tak sanggup untuk menarik perhatian pemilih.

Berbeda dengan di Indonesia yang masih banyak menggunakan isu-isu rasis atau kepercayaan untuk mendulang suara saat pemilihan. Bahkan ada juga yang memanfaatkan perpecahan di dalam suatu umat beragama saat-saat mendekati pemilihan umum. Hal ini justru akan memperuncing permasalahan yang ada dan akan mengganggu integrasi bangsa. Hal ini juga bisa terjadi di Aceh jika kita tidak cepat sadar terhadap dinamika yang ada. Kita kadang sering mementingkan ego pribadi atau kelompok di atas kepentingan bersama.

Satu hal lain yang menarik tentang perpolitikan di Balkan adalah adanya rasa malu di kalangan politisi Serbia apabila tak sanggup menjalankan amanah yang diembannya, dia akan minta maaf kepada masyarakat dan kalau diperlukan dia akan turun dari jabatan. Hal ini pernah terjadi di pemerintahan, Serbia, Hungaria, Bosnia, dan Kroasia. Ini saya nilai budaya baik yang bisa dijadikan pembelajaran di Indonesia maupun di Aceh. Ini juga sebagai alat introspeksi agar kita sadar akan apa yang harus kita jalankan, apa yang harus kita penuhi dari janji-janji yang pernah kita ucapkan. Bukan justru sesumbar untuk maju lagi dalam pemilihan selanjutnya di tengah permasalahan yang ada. Masyarakat haruslah bisa berpikir kritis terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi.

* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved