Breaking News

KUPI BEUNGOH

Ongkos Pulang dari Pak Safwan Idris

”Ini dikasih dari Bapak, uang untuk bekal kalian, jangan pulang ya, ”

Editor: Amirullah
Yurdani Binti Muda Balia 

HARI ini, 16 September 2016, enam belas tahun yang lalu hari Sabtu, Tuan Guru Prof. Dr. Tgk. H Safwan Idris, MA pergi untuk selamanya.

Sekitar pukul 06.40 WIB, Darussalam kelabu, berduka. Lautan manusia berdesakan mengantar almarhum ke peristirahatan terakhir.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.. pengumuman dari corong beberapa masjid kawasan di Darussalam mengabarkan Pak Shafwan telah berpulang ke rahmatullah.

Saat itu, saya baru saja menyelesaikan koreksi skripsi saya dan berencana menemui pembimbing untuk konsul.

Saya tunda, bergegas menuju Lamreung, jalan kaki bersama banyak warga lainnya termasuk mahasiswa, dosen dan banyak orang ketika itu.

Hari ini, enam belas tahun lalu, almarhum Pak Safwan telah meninggalkan kita semua. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab hingga kini.

Apa salah Tuan Guru kami? Kenapa orang tega merampas paksa nyawa Tuan Guru kami. Saat peristiwa penembakan itu, semua orang hampir tidak percaya itu terjadi pada Tuan Guru.

Mengingat almarhum, izinkan saya menukil kembali kisah yang masih saya ingat bagaimana sosok Tuan Guru, Safwan Idris, ulama kharismatik yang juga intelektual dan pembaharu bagi Aceh.

Pengalaman ini, boleh saya bagi kembali sebagai kenangan untuk diambil hikmah dan pelajaran bagi kita yang masih hidup saat ini.

Tuan Guru, saya masih ingat akan kepolosan saya saat pertama kali menjadi mahasiswi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Ketika itu, sebagai mahasiswa baru saya dan banyak mahasiswa lain yang datang dari Aceh Selatan wajib mengikuti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek).

Pengalaman baru, tentunya, bagi saya yang untuk pertama kali menginjakan kaki dari Aceh Selatan ke dunia kampus di Darussalam.

Tiba di Banda Aceh, saya dan dua teman dari Aceh Selatan menumpang di rumah saudara di Seutui, hanya ada labi-labi dan Robur ketika itu yang setia mengantar kami ke Darussalam. Roburlah kendaraan paling murah ongkosnya yang kami pilih.

Selesai Ospek pukul 06.00 Wib membuat saya sering kemalaman tiba di Seutui, selain harus berjalan dari dalam kampus ke jalan utama. Naik Robur juga perlu perjuangan, berdesakan, terhimpit, saat berebutan naik.

Tiba di Seutui, keluarga tidak cukup memaklumi kondisi saya yang pulang maghrib dan hampir lewat alias sudah gelap. Kadang terkena teguran, maklum anak gadis baru datang ke Banda Aceh dikhawatirkan ini dan itu.

Saya tidak betah, dalam kondisi begitu kemudian memutuskan kembali pulang kampung dan tidak melanjutkan kuliah di IAIN Ar-Raniry.

Hari ketiga tiba Ospek di Kampus, tekad bulat pulang kampung sudah 100 persen. Saya duduk termenung di bawah pohon Mahoni di depan kantor Rektor IAIN (Sekarang Gedung Pascasarjana).

Saya hendak menemui Rektor, tetapi yang ada saat itu Pak Safwan Idris. Beliau sebagai pembantu Rektor. Saat itu, saya mau minta kembali uang pendaftaran masuk IAIN untuk ongkos pulang kampung. Masih teringat dulu daftar kuliah Rp 135.000.

Saya beranikan diri, menemui Pak Rektor. Ada dua senior mahasiswa, kalau tidak salah dulu mereka Menwa duduk di depan ruang pak Safwan.

”Saya mau bertemu pak Rektor, bisa,? Tanya saya kepada dua orang yang berdiri di depan ruang Pak Safwan.

”Oh boleh sebentar dek ya,” jawabnya.

Tidak lama kemudian saya masuk menghadap Pak Safwan. Saat itu, tidak ada Rektor IAIN yang ingin saya temui. Dua Menwa tadi juga ikut duduk melihat saya dari jauh.

”Pak saya gak mau kuliah lagi, mau pulang kampung,” begitu saya sampaikan di hadapan Pak Safwan .

”Kenapa,? tanya Pak Safwan

”Kami mau pulang kampung, orang tua kami meninggal. Mau pulang gak ada ongkos. Kami mau minta uang pendaftaran dikembalikan,” jawab saya ketika itu.

Saat itu, Pak Safwan melarang kami pulang. Ia meminta saya tetap kuliah dan selesai Ospek baru pulang ke Aceh Selatan menengok orang tua saya.

Sebenarnya, orang tua meninggal itu bukan orang tua saya, tetapi orangtua teman sekampung yang juga meninggalnya sudah lama. Hanya alasan saja agar saya benar-benar bisa pulang dan membawa kembali uang pendaftaran.

”Gak usah pulang Nak, jauh. Nanti sudah opspek saja pulang. Udah lulus, sayang kan sudah jauh jauh ke sini terus pulang lagi,” kata Pak Safwan menasihati saya.

”Pak kami mau pulang, bisa nggak dibalikin uang pendaftaran Rp 135.000,” tanya saya mengulang keinginan tidak jadi kuliah di IAIN.

”Ooh tidak bisa itu. Tak usah sedih lagi, berdoa saja. Nanti udah ospek pulang,” kata Pak Safwan.

Saya pun bingung, ketika itu. Antara ingin kembali ke kampung dan ingat nasihat Pak Safwan.

Saya juga izin tidak ikut Ospek, karena sering pulang kemalaman untuk dapat tiba di Seutui.

Nah, untuk yang satu ini Pak Shafwan membolehkan saya dan ia akan bicara sama panitia bahwa saya boleh tidak ikut.

”Oh tak apa apa nanti bapak yang bilang sama panitia opspek nya,” kata Pak Safwan.

Saat kami pamit ke luar ruang Pak Safwan, beberapa saat kemudian ada yang mengikuti di belakang. Ternyata dua Menwa tadi. Mereka memberi saya uang Rp 50.000 dan ke teman saya Rp 50.000.

”Ini dikasih dari Bapak, uang untuk bekal kalian, jangan pulang ya,” kata Menwa di depan ruang Rektor sambil menyampaikan pesan Pak Safwan agar kami tetap kuliah.

Malam harinya, saya merenungi nasihat yang disampaikan Pak Safwan. Saya berubah pikiran dan tidak jadi pulang ke Aceh Selatan.

Teringat kisah itu, saya terharu. Jikalau saat itu, saya tidak bertemu Pak Safwan, mungkin saya tidak akan pernah mengenyam pendidikan di bangku kuliah.

Pada masa-masa Pak Safwan menjabat sebagai rektor IAIN, beliau menjadi Guru dan orangtua bagi para mahasiswa di kampus. Tegur sapa, murah senyum, mengayomi mahasiswa sangat kami rasakan ketika itu.

Enam belas tahun lalu, kisah itu masih saya ceritakan kepada suami dan anak-anak saya. Semoga kelak dapat meneladani almarhum, orang besar yang berjiwa besar. Namanya abadi, dalam derap laju Ar-Raniry masa kini.

Teladan itu, tetap hidup. Mari hidupkan dan terus hidupkan kisah keteladanan ini sehingga Ar-Raniry menjelma menjadi ladang dan sumber inspirasi bagi banyak orang di Nanggroe Aceh yang mulia ini.

Mengenang 16 tahun yang lalu, doa kami menyertai Tuan Guru, Prof. Dr. Tgk. H. Safwan Idris, MA.
Alfaatihah....

[YURDANI binti Muda Balia, adalah alumnus Fakultas Tarbiyah, Jurusan Bahasa Arab, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh]


Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved