Kata Tabu dan Penggunaannya Di Kalangan Siswa

Melihat realita sikap bahasa siswa, di Aceh khususnya, sangatlah memprihatinkan apabila seperti yang diekspektasikan setiap individu

Editor: bakri

Oleh Hidayatullah

 Melihat realita sikap bahasa siswa, di Aceh khususnya, sangatlah memprihatinkan apabila seperti yang diekspektasikan setiap individu yang menganggap bahwa setiap anak yang bersekolah “sudah pasti bagus berpikirnya, sudah pasti bagus dan santun bahasanya”. Maka sangat disayangkan ketika apa yang kita harapkan selama ini hanya menjadi khayalan. Fenomena bahasa siswa di sekolah saat ini sebagian besar cenderung hidup bahasa Makian, Sumpah Serapah, dan penggunaan kata Tabu.

Namun, penulis berkonsentrasi pada kata tabu dalam buah pikiran ini, sebagaimana yang sudah dipaparkan realita kata tabu yang hidup di tengah kehidupan siswa yang masih menimba ilmu di persekolahan sangatlah tidak layak di dengar dan digunakan. Apalagi, Aceh dikenal dengan budaya  antun, menjunjung tinggi nilai syariat islam, menjunjung tinggikhasanah bahasa lokal, dan menjunjung tinggi nilai keislaman. 

Sebagai warisan indatu  di masa lalu. Menurut pengertiannya,kata tabu merupakan suatu  tindakan pelanggaran penggunaan kode bahasa atau kosakata yang berbau pantang (tidak santun,  tidak pantas, kasar) diucapkan oleh setiap individu yang hidup di tengah masyarakat. Kosakata atau klausa tersebut merupakan makian dan atau perihal ungkapan kotor yang serta merta lantang disebutkan.

Berdasarkan pengertian itu, beberapa ahli pernah berpendapat mengenai kata tabu, seperti berikut; (1) Menurut Mead dalam Apte (1998:986) salah satu dari banyak arti konsep tabu dalam

budaya-budaya polenisean adalah larangan apa saja yang tidak membawa hukumanhukuman melebihi keinginan dan keadaan yang memalukan yang muncul dari pelanggaran batasan-batasan ketat adat.

(2)Matthews (1997:371) adalah kata-kata yang diketahui oleh penutur, tetapi dihindari dalam sebagian atau semua bentuk atau konteks dalam sebuah tuturan karena alasan agama, kepantasan, kesantunan, dan sebagainya.

Menurut motivasi psikologis, kata-kata tabu muncul minimal karena tiga hal, yakni adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear), sesuatu yang membuat perasaan tidak enak (taboo of delicacy), dan sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas (taboo of propriety).

1.Taboo of Fear Segala sesuatu yang mendatangkan kekuatan yang menakutkan dan dipercaya dapat membayakan kehidupan termasuk dalam kategori tabu jenis ini. Demikian juga halnya dengan pengungkapan secara langsung nama-nama Tuhan dan makhluk halus tergolong taboo of fear.

2.Taboo of Delicacy Usaha manusia untuk menghindari penunjukan langsung kepada hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti berbagai jenis penyakit dan kematian tergolong pada jenis tabu yang kedua ini. Pengungkapan jenis penyakit yang mendatangkan malu dan aib seseorang tentunya akan tidak mengenakkan untuk didengar, seperti ayan, kudis, borok, kanker. Olehnya itu sebaiknya nama-nama penyakit itu diganti dengan bentuk  eufemistik seperti epilepsi, scabies, abses dan CA untuk mengganti kata kanker.

Beberapa nama penyakit yang merupakancacat bawaan seperti buta, tuli, bisu, dan gila secara berturut-turut dapat diganti dengan kata tunanetra, tunarungu, tunawicara, dan tunagrahita. 3. Taboo of Propriety Tabu jenis ini berkaitan dengan seks, bagian-bagian  tubuh tertentu dan fungsinya, serta beberapa kata makian yang semuanya tidak pantas atau tidak santun untuk diungkapkan.

Dalam bahasa Indonesia, kata pelacur misalnya, kata seperti ini kurang nyaman didengar telinga. Maka dari itu kata pelacur bisa dieufemismekan menjadi kata tuna  wisma. Menurut pendapat ahli di atas, jelas adanya penyimpangan terhadap penggunaan kata tabu tersebut pada kehidupan dan keragaman sosial di masyarakat. Jelas,konsepnya tidak sesuai dengan kultur daerah yang ada  i Aceh.

Bahkan dimulai sejak usia sekolah seperti yang disebutkan sebelumnya. Sangatlah tidak pantas siswa-siswa yang layaknya belajar di sekolah menggunakan kata tabu sebagai makian sehari-hari

mereka. Pastinya seorang mengajarkan untuk mengucapkan yang baik-baik, santun, dan bahkan di sebagian sekolah yang berbasis pesantren menghendaki mereka untuk senantiasa mengucap puji-pujian kepada Sang Pencipta sebagai bentuk takjub, mengucap Istigfar sebagai bentuk dari kemarahan, kekecewaan.

Bukan malah mengucap makian dan umpatan yang hanya mendatangkan kemudaratan danhakikat dosa. Belum lagi kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemakaian kata tabu itu. 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved