Gempa Pidie Jaya
Tanpa Tas dan Sepatu Menuju Sekolah Tenda
SORE itu hujan yang mengguyur wilayah Pidie Jaya (Pijay) baru saja berhenti, namun tanah masih basah
SORE itu hujan yang mengguyur wilayah Pidie Jaya (Pijay) baru saja berhenti, namun tanah masih basah. Awan hitam masih bergayut di langit. Jarum jam menujukan pukul 16.30 WIB, shalat Ashar berjamaah di Meunasah Mee Pengwa baru saja selesai.
Mee Pangwa adalah salah satu desa di Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pijay. Desa di pinggir Jalan Nasional Banda Aceh-Medan tersebut menjadi salah satu desa paling hancur dihantam gempa 6,4 SR pada Rabu pagi, 7 Desember 2016.
Ba’da Ashar hari itu, Minggu (25/12), serombongan bocah tampak berlarian menuju Meunasah Mee Pangwa. Saat itu sedang ada pembagian bantuan pakaian bekas. Bocah-bocah zona bencana itu terlihat ceria saat mencoba satu per satu pakaian yang dibagikan oleh panitia.
Sejumlah bocah langsung bubar saat Serambi berusaha mengabadikan foto mereka. Bocah-bocah itu seakan tidak mau bertemu. Mereka lebih memilih ke luar dari meunasah bermain di dekat reruntuhan bangunan.
Di tengah kesan takut itu, dua anak berhasil didekati. Mereka adalah Lukmanul Hakim (11) dan Syahrul Ramadhan (11). Meski agak malu-malu, mereka tampak bersemangat ketika bercerita tentang jadwal sekolah yang dilaksanakan Selasa (27/12). Kedua anak itu tercatat sebagai murid SDN Antara, Kecamatan Trienggadeng, Pidie Jaya.
Menurut kedua anak, Selasa 7 Desember 2016 merupakan hari terakhir mereka sekolah sekaligus mengikuti ujian semester. Karena keesokan harinya, sekolah mereka hancur akibat gempa 6,4 SR yang terjadi pada Rabu pagi. “Tiga pelajaran, yakni Mulok, Bahasa Arab, dan Seni Budaya Keterampilan (SBK) belum sempat kami ikut ujian,” kata Lukmanul Hakim dibenarkan rekannya Syahrul Ramadhan.
Sudah hampir tiga minggu mereka tidak bersekolah. Ada kerinduan yang sepertinya sulit terucap ketika anak-anak itu membayangkan sekolah mereka yang sudah hancur. Mereka seperti belum bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau harus belajar di bawah tenda. “Kami sudah dibagikan buku tulis dan pensil. Tas dan sepatu belum ada tapi kami tetap sekolah walaupun pakai sendal,” ujar Lukmanul Hakim.
Tatapan kesedihan juga memancar dari sorot mata seorang bocah lainnya, Muhammad Afdal (13), murid kelas I Madrasah Ulumul Quran (MUQ) Pidie Jaya. Gedung MUQ berlantai dua tempat dia bersekolah selama ini rusak parah dihantam bencana. Madrasah itu di belakang Masjid Quba Pangwa, Gampong Kuta, Kecamatan Trienggadeng. “Ruang belajar dan tempat mondok kami hancur,” ujar Muhammad Afdal.
Muhammad Afdal tinggal di Gampong Lueng Bata, Banda Aceh dan telah mampu menghafal Quran lima juz. Saat gempa mengguncang pada Rabu subuh itu, dia dan kawan-kawannya menyelamatkan diri dari reruntuhan bangunan. Mereka berdesakan turun dari lantai dua dalam suasana gelap gulita karena listrik mati.
“Kami terperosok ke got saat lari ke atas bukit sekitar 400 meter dengan MUQ karena ada isu air akan naik,” kata Muhammad Afdal yang terlihat luka di bibirnya belum sembuh akibat membentur tembok.
Sekolah tenda
Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Pidie Jaya, Saiful Rasyid MPd kepada Serambi, Senin (26/12) mengatakan, tenda belajar yang dipasang untuk aktivitas belajar mengajar, Selasa (27/12) terhadap sekolah yang terkena dampak gempa.
Pemasangan tenda belajar dilakukan pada lokasi yang tidak terganggunya mobilisasi material untuk proses rehab rekons gedung sekolah. Untuk itu, lokasi yang dipilih harus tidak mengusik anak-anak belajar.
“Saya akui belajar di tenda tidak nyaman, tapi kita berusaha menciptakan iklim yang bagus saat proses belajar mengajar. Kita harus mencari lokasi yang baik untuk pemasangan tenda,” katanya.
Ia mengatakan, hingga kini belum adanya kepala sekolah yang melaporkan terhadap pemasangan tenda di lokasi yang tidak terganggunya akses rehab rekons. Namun, sebagian sekolah telah dipasang tenda belajar.
Menurut Saiful, ada sekolah yang proses belajar mengajar dipindah sementara ke lokasi baru. Seperti SDN Tampui dan SMP 4 Trienggadeng. Disinggung terhadap alat belajar, kata Saiful, hingga kini perlengkapan belajar seperti buku dan pensil telah dibagikan dengan melibatkan Dinas Pendidikan Aceh.
“Sekarang yang belum terpenuhi tas, sepatu dan baju. Memang banyak tas, sepatu dan baju bantuan yang telah disalurkan pihak yang memberikan bantuan tetapi mereka menyalurkan sendiri ke kamp pengungsian. Sehingga kita belum mengetahui anak-anak yang belum menerima bantuan. Kita imbau kepada kepala sekolah untuk mendata ulang,” demikian Saiful.(naz)