Menjajal Sarang Buaya di Sungai Singkil Lama

AWAN kelabu menggelayut di langit biru. Jumat (27/1) petang itu perahu kayu membawa lima lelaki melaju pelan

Editor: bakri
Perahu pemancing melewati sungai Singkil Lama, Aceh Singkil, yang di sampingnya dipenuhi pohon nipah, Jumat (27/1) 

AWAN kelabu menggelayut di langit biru. Jumat (27/1) petang itu perahu kayu membawa lima lelaki melaju pelan menelusuri Sungai Singkil Lama, Aceh Singkil, yang dikenal sebagai sarang buaya. Setiap sudut sungai berkelok dipagari rimbun pohon nipah dilalui. Melaju beberapa meter ke depan, satu per satu anak buaya dengan panjang semeter mulai terlihat memejamkan mata di pinggir sungai.

Sayangnya, ketika Serambi mencoba mengabadikan dari jarak dekat, reptil itu buru-buru menyelinap di balik sesaknya batang nipah. Namun boat yang membawa kami terus melaju memasuki gelapnya. Kali ini suasana malam tidak bersahabat. Rintik hujan mulai jatuh dari langit. Mesin boat segera dimatikan berganti dengan mendayung. Inilah saatnya menguji adrenalin, menyaksikan penomena satwa liar yang kerap memangsa pencari lokan di sepanjang Sungai Singkil Lama.

Jantung seketika berdenyut seolah membentur ulu hati, manakala deretan kilauan mata merah seolah sedang berbaris, beradu sorot lampu senter yang mengarah ke sungai. “Itulah mata buaya. Semakin lebar matanya, semakin besar buayanya,” kata Asisten I Setdakab Aceh Singkil, Moh Ichsan, yang menjadi kepala rombongan kepada Serambi. Tubuh terasa menggigil akibat basah kuyup kena hujan. Moh Ichsan dan lainnya menahan napas seketika melihat seekor buaya berlahan menenggelamkan diri ke dasar sungai.

“Tidak bisa terlalu dekat, sungainya dangkal, nanti perahu kandas bahaya kalau turun mendorong banyak buayanya,” kata Si Win yang bergantian dengan Pak Jon, mengatur laju perahu. Walau dikenal sebagai sarang buaya dalam berbagai ukuran, namun warga setiap hari tetap nekat mendatangi Sungai Singkil. Sebab kawasan itu adalah surga bagi para pencari lokan (kerang sungai) dan pengambil pucuk daun rumbia yang menjadi mata pencaharian utama ribuan penduduk Kecamatan Singkil.

Warga percaya lokan merupakan tempat tidur buaya. Semakin banyak buaya pertanda kerang sungai semakin mudah didapat. Terkadang pencari lokan abai dengan keselamatan dirinya padahal sudah banyak korban tewas dimangsa buaya.

Tidak hanya pencari lokan yang datang silih berganti saban hari. Sungai Singkil Lama juga menawarkan sensasi betotan ikan nawi (black bass) bagi para maniak mancing. Salah satunya Edi, penduduk Kampung Jawa, Desa Pulau Sarok ini nyaris setiap akhir pekan memancing ke sungai Singkil Lama. “Banyak buaya memang, tapi di situlah banyak ikan nawi yang tarikannya luar biasa,” kata Edi.

Deretan daun nipah juga menawarkan sensasi keindahan lainnya dari Sungai Singkil Lama. Pulau-pulau kecil (gosong) menyembul di atas permukaan sungai semakin memesona pandangan mata. Ditambah lagi suasana tenang ditingkahi gesekan daun nipah tertiup angin menjadi pemandangan lainnya yang menenangkan jiwa dari berbagai persoalan hidup.

Memasuki dalam kawasan Sungai Singkil Lama seolah membawa memori setiap pendatang pada masa kejayaan penduduk Singkil dahulu sebelum luluh lantak dihantam gelombang dahsyat sekira tahun 1890-an. Hingga akhirnya penduduk pindah ke Singkil Baru (New Singkel) saat ini. Malam makin larut pertanda kami harus kembali ke Singkil Baru, tentunya setelah menyantap daging panggang ikan nawi hasil memancing.(dede rosadi)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved