Lomba Bersedekah di Tanah Haram

JAM sudah pukul 22.30 Waktu Saudi saat bus yang membawa rombongan kami dari Madinah, memasuki Kota Mekkah

Editor: bakri
FAKIR, miskin, dan musafir, antrean makanan di antara ribuan jamaah yang baru selesai menunaikan shalat Jumat (28/4) di Masjidil Haram, Mekkah Almukarramah, Saudi Arabia. 

JAM sudah pukul 22.30 Waktu Saudi saat bus yang membawa rombongan kami dari Madinah, memasuki Kota Mekkah, Senin (21/4). Meski sudah tengah malam, Mekkah masih sibuk dengan aktivitas.

Keramaian semakin terasa saat bus menyusuri jalan Ibrahim Khalil yang mengarah ke Masjidil Haram. Keharuan menyelimuti seisi bus saat lantunan kalimat Talbiyah mengiringi bus yang berjalan pelan, merayap membelah lautan manusia di Jalan Ibrahim Khalil.

Oleh pihak travel, kami yang sudah berpakaian ihram sejak di Bir Ali (tempat mengambil miqat, 450 km dari Mekkah), diberikan waktu dua jam untuk makan dan membereskan barang bawaan ke kamar hotel.

“Pukul 00.30 kita sudah berkumpul di lobi hotel untuk bersama-sama ke Masjidil Haram untuk berumrah,” tour leader Iqbal Nyak Umar, memberi aba-aba kepada jamaah.

Tak lupa pula, Iqbal mewanti-wanti jamaah untuk selalu ingat dengan larangan-larangan selama berihram. Pukul 00.30 kami pun berjalan kaki ke Masjidil Haram. Hotel tempat kami menginap hanya berjarak sekitar 200 meter dari Masjidil Haram.

Saya yang baru pertama kali melaksanakan umrah, selalu menempel ketat mutawwif (pembimbing), mulai dari memasuki masjid, melaksanakan tawaf, hingga tuntasnya sai dan tahallul.

Selain karena masih perlu bimbingan dalam melaksanakan rukun umrah, saya juga diliputi kekhawatiran dengan banyaknya cerita seputar pencopetan, pencurian, hingga penipuan yang dialami jamaah haji dan umrah asal Aceh di seputaran Masjidil Haram. Sepanjang malam itu, saya tak pernah memisahkan diri dari rombongan. Bahkan, untuk ke toilet pun, harus membuat janji dengan beberapa kawan.

Keadaan mulai berubah pada hari kedua berada di Mekkah. Ditemani seorang kawan, saya habiskan waktu hingga tengah malam, dengan menyusuri halaman hingga beberapa sudut terdalam di Masjidil Haram.

Apa yang saya alami ternyata berbanding terbalik dengan cerita-cerita yang saya dengar sebelumnya. Hati terasa sangat nyaman saat melihat banyak orang beriktikaf, berzikir, membaca Alquran, dan mengikuti halaqah di hampir setiap sudut Masjidil Haram.

Tak jarang pula terdengar banyak orang bertengkar saat berebutan mencium Hajar Aswad atau saat masuk ke area Hijir Ismail. Padahal, beberapa dari mereka terlihat berpakaian Ihram.

Saya pun berupaya menghindar ke sisi luar lingkaran tawaf. Di posisi ini, saya melihat orang-orang lebih kusyuk berdoa di sepanjang tawafnya. Ada juga sejumlah orang yang membagi-bagikan tisu atau air zamzam kepada jamaah tawaf. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Ke luar dari masjid, tiba-tiba saya didekati seorang pria berpakaian mirip pelayan restoran. Ia berbicara dalam bahasa Arab. Cerita tentang orang yang minta sedekah dengan berbagai dalih sontak terlintas ketika pria itu meminta 100 riyal. Katanya, untuk makan fakir dan anak yatim. Saya pun cepat-cepat mengibaskan tangan sembari geleng kepala. Lalu mempercepat langkah agar segera tiba di hotel.

Saya teringat cerita tentang seorang yang meminta sedekah. Ketika kita berikan, maka yang lain secara beramai-ramai akan merapat mengepung untuk juga meminta sedekah.

Namun, alangkah terkejutnya saya ketika pengalaman ini saya ceritakan kepada teman seperjalanan dari Aceh. “Itu pegawai restoran, mereka meminta sumbangan 100 riyal untuk memberikan makanan kepada 40 fakir dan miskin,” ujar Zul Anshary. Ia pernah beberapa kali pergi di Mekkah ketika masih menempuh studi di Al Azhar Kairo, Mesir.

“Tidak semua orang mendapat tawaran itu. Sebaiknya kalau ada tawaran lagi, ambil saja. Biar merasakan bagaimana nikmatnya bersedekah di depan Masjidil Haram ini,” imbuhnya.

Benar saja, esoknya, Rabu (26/4), usai Ashar, saya yang kini semakin berani keluyuran seorang diri di kawasan Masjidil Haram, kembali menyusuri jalan itu, berharap pegawai restoran kemarin kembali menawarkan paket bersedekah. Namun, si pegawai restoran hanya cuek saja saat saya melintas di depannya, di antara ribuan jamaah lain.

Lalu saya pun berhenti, melihat orang-orang miskin yang sedang antre mendapat pembagian kue dan minum gratis dari tiga restoran yang berada di sisi kanan bagian bawah gedung Hilton Mekkah.

Saya pun teringat pada cerita seorang teman yang pulang dari umrah, mengaku pernah mengantre makanan gratis yang dibagikan di restoran-restoran kecil di depan Masjidil Haram.

Lamunan saya di dekat antrean puluhan orang itu buyar saat seorang pegawai restoran kembali menawarkan paket bersedekah kepada saya. Kali ini, saya tidak menyia-nyiakan lagi tawaran tersebut. Langsung saya rogoh uang 100 riyal (kurs 1 riyal Saudi Rp 3.650).

Setelah menerima uang, pegawai restoran menggiring saya ke depan toko. Dengan bahasa Melayu patah-patah, dia meminta saya menunggu giliran untuk membagikan sendiri paket makanan kepada orang-orang yang sedang mengantre.

Karena saat itu masih giliran seorang penyumbang yang terlihat seperti warga Malaysia. Di sela-sela menunggu giliran saya disuguhkan teh susu hangat oleh pekerja di restoran dimaksud.

Setelah jatah sumbangan anak muda Malaysia ini habis, barulah giliran saya yang berdiri di depan untuk membagi-bagikan makanan. Satu per satu orang-orang tua berpakaian lusuh yang mengantre menerima makanan dengan suka cita. Umumnya, orang-orang ini berperawakan seperti orang Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh). Sesekali juga terlihat orang berwajah Mesir dan Asia Tenggara.

Tanpa terasa, 40 paket jatah makanan saya pun habis. Sementara antrean masih ada beberapa orang lagi. Si pegawai restoran meminta saya untuk menambah paket sedekah. Namun apa nyana, uang di dompet saya hanya tersisa beberapa puluh riyal lagi. Saya tak berani mengosongkan dompet. Hingga akhirnya dengan langkah gontai saya tinggalkan orang-orang yang masih mengantre. Sementara pegawai restoran masih bekerja keras mencari donatur baru.

Di sinilah saya baru tahu, ternyata cerita tentang makanan gratis (kue dan minuman kotak) yang dibagikan di toko-toko kue (restoran kecil) di depan Masjidil Haram bukanlah dibagi gratis oleh pihak restoran. Akan tetapi, merupakan sumbangan dari jamaah umrah untuk para fakir dan miskin yang juga sedang berumrah dengan bekal alakadar.

Dari kartu nama restoran yang diberikan kepada saya tercantum informasi bahwa toko itu melayani paket sedekah, dengan harga yang sudah didiskon 50 persen dari harga normal. Subhanallah, mereka ikut bersedekah sembari memfasilitasi orang-orang yang ingin bersedekah.

Namun, ternyata cerita ini tidak banyak diketahui oleh jamaah asal Indonesia, termasuk Aceh. Mereka beranggapan, makanan itu dibagikan gratis oleh pihak restoran, sehingga kerap ikut mengantre, padahal mereka pergi berumrah dengan paket tur berharga mahal.

“Bersedekah memang belum menjadi budaya bagi jamaah umrah kita. Kebanyakan malah mengharapkan mendapatkan sedekah atau makanan gratis di Masjidil Haram,” ujar Iqbal Nyak Umar, pimpinan salah satu travel umrah di Aceh.

“Sebaiknya pengalaman ini perlu dibagikan kepada jamaah lain, untuk menumbuhkan budaya bersedekah. Di Masjidil Haram maupun ketika pulang ke Aceh kelak,” lanjut Iqbal.

Iqbal dan Zul Anshary-lah yang mendorong saya untuk menuliskan pengalaman ini, semata-mata untuk syiar dan menumbuhkan spirit bersedekah di kalangan masyarakat Aceh.

Banyak dari kita belum beranggapan bahwa bersedekah dan berbuat baik kepada sesama selama berada di Tanah Suci, adalah bagian dari ibadah yang akan dibalas berlipat ganda oleh Allah. (zainal arifin m nur)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved