Opini

Blok Migas Aceh

MINYAK dan gas bumi (migas) sudah dikenal masyarakat Aceh sejak abad ke-16, ketika rembesan minyak bumi

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Blok Migas Aceh
blok migas

(Tantangan BPMA 10 Tahun ke Depan)

Oleh Ridwan Nyak Baik

MINYAK dan gas bumi (migas) sudah dikenal masyarakat Aceh sejak abad ke-16, ketika rembesan minyak bumi yang menembus lapisan tanah dan muncul di permukaan (seepage) dimanfaatkan oleh lasykar kerajaan Aceh untuk membuat bola-bola api sebagai senjata andalan. Bola-bola api, itu berupa sobekan kain yang digumpal-gumpal dan dibulatkan. Setelah dicelupkan dalam seepage, lalu dibakar menjadi bola api, selanjutnya dilontarkan ke kapal-kapal musuh, armada perang Portugis di Selat Malaka, di bawah pimpinan Laksamana Alfonso D’Albuqueque (1453-1515). Dengan bola api tersebut, sebagai senjata andalan lasykar kerajaan Aceh mampu menenggelamkan dua kapal perang Portugis saat itu, dan memaksa mereka mundur dari medan pertempuran.

Dalam era pra kemerdekaan, perusahaan Belanda mengusahakan minyak bumi Aceh secara komersial di daerah Rantau (Aceh Tamiang) dan Julok (Aceh Timur). Setelah kemerdekaan minyak bumi dari Aceh dialirkan melalui jalur pipa ke Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut) dan diekspor oleh Permina (cikal bakal Pertamina) yang berkantor di Pangkalan Berandan, Langkat, Sumut. Hasil penjualan minyak bumi dari Aceh tersebut dimanfaatkan oleh manajemen Permina ketika itu untuk membayar gaji karyawannya dan membesarkan perusahaan yang sebagian besar asetnya hancur akibat perang Agresi Belanda pada 1947 dan 1948.

Dunia migas Aceh mulai marak ketika MobilOil (sekarang ExxonMobil) di bawah otorisasi kontrak bagi hasil (production sharing contract) dengan pemerintah, sukses menemukan cadangan gas bumi raksasa di Lapangan Arun (Aceh Utara) pada 1971. Selanjutnya, gas bumi Arun tersebut diolah oleh kilang PT Arun yang didirikan pada 1974 menjadi liquid natural gas (LNG). Penemuan ladang gas raksasa Arun, itu telah menarik perhatian beberapa perusahaan asing lainnya untuk melakukan usaha eksplorasi migas di Aceh.

Meski wilayah Aceh, baik di darat maupun laut sudah terbukti memiliki cadangan migas cukup potensial, namun konflik yang terjadi hampir 30 tahun menjadi kendala serius dalam pertumbuhan industri hulu migas di Aceh. Hal tersebut berdampak pada upaya pencarian sumber-sumber baru cadangan migas di Aceh tidak bisa dilaksanakan. Ketika daerah-daerah lain, penghasil migas di Kawasan Indonesia Barat seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Riau, Jambi, dan Sumatera Utara sudah masuk fase mature eksplorasi, maka Aceh masih memiliki potensi tersembunyi yang memerlukan kegiatan eksplorasi detil dan intensif untuk mengungkapkannya.

Tidak terpengaruh
Dengan perkembangan teknologi eksplorasi migas yang demikian pesat sekitar 25 tahun terakhir, menyusul perjanjian damai Helsinki yang bermuara pada lahirnya UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), serta PP No.23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Migas di Aceh, maka kegairahan upaya pencarian sumber daya alam migas Aceh kiranya akan marak kembali. Hal tersebut tidak akan terpengaruh secara signifikan oleh penurunan harga minyak mentah (crude) dunia yang saat ini berkisar sekitar 50 dolar AS per barel. Sebab, kegiatan ekplorasi migas berlangsung antara 6-10 tahun ke depan. Justru dengan kelesuan harga crude dunia dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk melakukan investasi dalam bidang eksplorasi, karena harga-harga sewa peralatan survei dan rig pengeboran sedang diobral oleh perusahaan-perusahaan jasa industri hulu migas, sebagai bagian dari strategi untuk menghindar kemungkinan alat menganggur berkepanjangan.

Setidaknya ada 20 blok migas baik di darat maupun laut tersebar dalam wilayah Aceh dengan status masing-masing sebagaimana tersaji pada tabel berikut:

Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian besar blok migas yang ada dalam wilayah Aceh masih berstatus studi dan eksplorasi. Oleh karena itu kehadiran Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) yang dibentuk berdasarkan perintah PP No.23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Migas di Aceh, merupakan keniscayaan yang sangat dinantikan oleh pemerintah dan masyarakat Aceh. Kelahiran BPMA tersebut diharapkan dapat mengakselerasi pengembangan sektor hulu industri migas di seluruh wilayah Aceh, baik di darat maupun laut.

BPMA
Sejak Kepala BPMA dilantik oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 11 April 2016, secara dejure institusi Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) telah terbentuk. Meski, secara defacto format struktur organisasi sebagaimana diamanahkan Pasal 20 PP No.23 Tahun 2015 yang terdiri atas Kepala BPMA, Komisi Pengawas, dan Unsur Pelaksana belum ada. Justru, pembentukan unit kerja sebagai Unsur Pelaksana diserahkan kepada Kepala BPMA supaya dalam periode 6 bulan sejak dilantik dapat membentuk organisasi BPMA secara utuh. Sementara, pengangkatan Komisi Pengawas dilakukan oleh oleh Menteri ESDM selaku wakil pemerintah pusat setelah mendapat persetujuan gubernur (Pasal 30 ayat 1).

Namun, kenyataannya hingga kini eksistensi organisasi dimaksud belum terwujud sebagaimana mestinya. Padahal menurut Pasal 93 PP No.23 Tahun 2015 menyatakan bahwa sejak diundangkan pemerintah dan Pemerintah Aceh harus sudah menyelesaikan penataan organisasi BPMA dalam jangka waktu paling lambat satu tahun. Jadi kalau PP tersebut diundangkan pada 5 Mei 2015, maka seharusnya pada 5 Mei 2016 baik dejure maupun defacto organisasi BPMA sudah lengkap.

Berdasarkan fakta status blok migas yang berada di wilayah Aceh sebagian besar masih dalam fase eksplorasi dan studi, seharusnya bobot organisasi BPMA pun perlu disesuaikan dengan sifat tantangan yang dihadapi, yakni lebih menitikberatkan pada kegiatan eksplorasi. Namun, hal tersebut sepertinya akan menjauh ketika diacu pada persyaratan yang diumumkan oleh Panitia Seleksi Calon Kepala BPMA baru yang akan menggantikan pejabat sekarang, karena terkendala usia sudah lebih dari 60 tahun. Pada persyaratan urutan No.7 pengumuman seleksi dimaksud yang diiklankan oleh Sekretariat Daerah Pemerintah Aceh melalui koran Serambi Indonesia, edisi Senin, 19 Juni 2017, halaman 5 terbaca bahwa syarat pendidikan calon minimum jenjang Strata-1 (S1) dalam bidang Perminyakan, Hukum, dan Ekonomi.

Sebab, fakta lapangan di industri hulu migas ketiga jurusan tersebut secara langsung tidak banyak terlibat dalam tugas-tugas pokok fungsi (tupoksi) Bidang Eksplorasi migas yang banyak digeluti oleh sarjana-sarjana S-1 dari jurusan Geologi dan Geofisika. Harapan satu-satunya adalah para sarjana jenjang S-1 tersebut menempuh jenjang S-2 dalam bidang Geologi atau Geofisika, sehingga persyaratan No.7 di atas terakomodir dalam persyaratan No.9, yakni memiliki pengalaman minimal 10 tahun dalam industri hulu migas, khususnya dalam fungsi eksplorasi.

Pekerjaan-pekerjaan pembukaan dan pemeringkatan wilayah kerja baru agar menarik investor sangat ditunjang oleh hasil-hasil studi dan evaluasi cekungan migas yang sehari-hari digeluti oleh para ahli Geologi dan Geofisika lewat data seismik (2 Dimensi dan 3 Dimensi), pemetaan geologi, korelasi regional, data geokimia, urut-urutan stratigrafi cekungan, data struktur geologi, korelasi dan penyebaran batuan induk dan reservoir, kelengkapan petroleum system (meliputi: batuan induk, batuan resevoir, pola migrasi, dan lapisan penutup) merupakan bidang keahlian khusus para ahli Geologi dan Geofisika. Setelah semua hal tersebut dievaluasi secara detail baru ditentukan sumur eksplorasi atau sumur taruhan (wildcat), biasanya satu sampai tiga sumur.

Dari perspektif dimaksud, kiranya kredibilitas Tim Seleksi, terutama para person yang akan melakukan uji kelayakan kandidat Kepala BPMA baru, hendaknya betul-betul yang memiliki wawasan eksplorasi migas. Bila tidak demikian, maka dapat disimpulkan bahwa upaya perekrutan calon Kepala BPMA baru akan melahirkan person yang tidak kompetibel dengan sifat dan format tentangan pengembangan industri hulu migas Aceh dalam satu dekade ke depan. Jangan sampai yang terjaring justru person the wrong man in the wrong place and the wrong time. Manakala hal ini yang terjadi, maka harapan pemerintah dan rakyat Aceh agar industri hulu migas di Aceh cepat berkembang, serta berperan sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi di Serambi Mekkah akan semakin jauh. Semoga, tak!

* Dr. Ridwan Nyak Baik, pakar migas dan perencanaan wilayah. Email: baiknsatu@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved