Anggota DPR RI Asal Aceh tak Tahu Dua Pasal UUPA Dicabut
Pencabutan dua pasal dalam UUPA terkait keanggotaan dan masa kerja Komisi Independen Pemilihan (KIP)
BANDA ACEH - Pencabutan dua pasal dalam UUPA terkait keanggotaan dan masa kerja Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh ternyata tanpa sepengetahuan 13 anggota DPR RI asal Aceh karena mereka tidak dilibatkan.
“Di pansus RUU Pemilu itu tidak ada satu pun anggota DPR RI asal Aceh, itulah kelemahannya. Jika ada satu saja dari kita di panitia kerja itu, mungkin akan bisa mengawal,” kata Muslim Ayub menanggapi reaksi dari sejumlah kalangan terhadap pencabutan kedua pasal dalam UUPA tersebut.
Sebelumnya, Sekretaris Banleg DPRA, Azhari Cagee mempertanyakan keberadaan 13 anggota DPR RI dan empat anggota DPD RI asal Aceh yang dinilainya tidak mengawal dan memperjuangkan keistimewaan Aceh sebagaimana dijabarkan dalam UUPA.
Sindiran yang lebih pedas disuarakan Koordinator Pusat Mahasiswa Pemuda Peduli Perdamaian Aceh (M@PPA), Azwar A Gani.
Menurut Azwar, dicabutnya dua pasal UUPA tersebut karena lemahnya peran Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD RI asal Aceh di Jakarta.
Kecolongan yang dialami Aceh ini, kata Azwar karena Tim Forbes kerjanya hanya tidur. “Kalau untuk tidur, kenapa mesti ke Senayan,” sindir Azwar.
Ia mengatakan, kecolongan yang terjadi kali ini merupakan yang paling fatal. UUPA yang menjadi kompromi perdamaian politik antara GAM dan Pemerintah Pusat diobok-obok oleh DPR RI tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR Aceh.
“Perwakilan Aceh di DPR RI dan DPD tidak kuasa mengawal kekhususan Aceh. Ini menjadi tolak ukur buat kita bersama bahwa kita harus lebih selektif mengirim wakil ke DPR dan DPD pada Pemilu 2019 nanti,” tegas Azwar.
Apa sebenarnya yang terjadi sehingga Aceh bisa kecolongan? Ternyata, menurut salah seorang anggota DPR RI asal Aceh, Muslim Ayub, sebanyak 13 anggota DPR RI asal Aceh tidak pernah dilibatkan dalam Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Karenanya, kata Muslim, mereka tak tahu menahu soal pencabutan dua pasal dalam UUPA terkait keanggotaan dan masa kerja KIP dan Panwaslih Aceh.
“Di pansus RUU Pemilu itu tidak ada satu pun anggota DPR RI asal Aceh, itulah kelemahannya. Jika ada satu saja dari kita di panitia kerja itu, mungkin akan bisa mengawal,” kata Muslim Ayub menjawab Serambi, Senin (24/7).
Muslim Ayub menegaskan mereka bukan tidak memperjuangkan dan mengawal, namun mereka di DPR RI tidak pernah dilibatkan dalam penggodokan UU Pemilu tersebut. Muslim sendiri mengaku keberatan atas kebijakan baru pemerintah pusat yang menghapus kekhususan Aceh.
Muslim menengarai ada pihak-pihak di DPR RI yang tidak suka dengan kekhususan Aceh. “Kawan-kawan di pansus itu memang merajalela, mengobok-obok UUPA kita. Seandainya pun ada orang Aceh di RUU itu, tapi juga dicabut, itu sontoloyo namanya. Pencabutan itu harus ada persetujuan sebenarnya,” pungkas Muslim Ayub.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Dr Mahfud MD yang dimintai tanggapannya mengatakan, mungkin ada keinginan dari pemerintah pusat untuk menyamakan KIP Aceh dengan KPUD di provinsi lain. Menurutnya, RUU Pemilu itu sifatnya sudah implisit.
“Saya rasa itu tidak ada masalah, namanya tetap KIP, mungkin fungsinya nanti seperti yang disebutkan dalam UU itu. Tapi kalau masyarakat Aceh keberatan, ya nanti dibicarakan lagi,” kata Mahfud saat diwawancarai usai memberi kuliah umum di Unsyiah, Senin (24/7).
SDosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, DR Amrizal J Prang SH LLM mengatakan, pencabutan dua pasal dalam UUPA melalui Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan oleh DPR RI menyalahi sistem dan asas hukum.
“Pencabutan sepihak dan mengabaikan norma hukum UUPA oleh DPR RI dan Presiden ibarat ‘jeruk makan jeruk’. Bukankah, norma hukum UUPA tersebut juga diatur oleh mereka yang berlaku khusus? Di samping itu, pencabutan itu juga menyalahi dan kontradiksi dengan sistem hukum yang bersifat dinamis,” kata Amrizal menjawab Serambi, Senin (24/7).
Kesalahan dimaksud karena saat penyusunan undang-undang itu, Tim Pansus UU Pemilu di DPR RI tidak berkoordinasi dengan DPRA sebagaimana diatur pada Pasal 269 ayat (3) UUPA yang menyebutkan, Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.
Selain itu, katanya, tindakan DPR RI juga menyalahi Pasal 6 Peraturan Presidan (Perpres) Nomor 75/2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh.
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Malikussaleh (IKA-Unimal) Aceh Utara ini menyatakan pemberlakuan UUPA bersifat khusus, sehingga DPR RI tidak bisa serta merta mengubah dengan membatalkan pasal-pasal dalam UUPA melalui UU Pemilu.
“Apalagi, keberadaan asas hukum tidak mengenal hierarki sehingga tidak dapat saling mengalahkan. Tidak ada istilah peraturan yang baru mengalahkan yang lama (lex posterior derogate legi priori). Dua asas hukum yang berbeda atau bertentangan satu sama lain, keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi membutuhkan satu sama lain yang merupakan suatu antinomy,” demikian Amrizal.(dan/mas)