Mihrab
Al Jihad Asir-asir, Terbesar Masa Belanda
AL JIHAD, adalah sebuah nama masjid tua di Kampung Asir-Asir, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh
AL JIHAD, adalah sebuah nama masjid tua di Kampung Asir-Asir, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. Masjid yang berada di pinggir daerah aliran sungai Pesangan ini, letaknya masih di seputaran Kota Takengon.
Konon, Al Jihad yang berkonstruksi dari papan dan dibangun pada masa kolonial Belanda tahun 1929, pernah menyandang gelar sebagai masjid terbesar di negeri penghasil kopi itu. Namun seiring dengan perkembangan zaman, banyak berdiri masjid-masjid yang lebih besar dengan ornamen yang lebih menarik, sehingga Al Jihad mulai terlihat kecil.
Luas Al Jihad sekitar 25x25 meter persegi, dengan kapasitas tampung sekitar 800 jamaah. Tetapi, masjid yang dibangun para pendahulu masyarakat Gayo itu, tentu memiliki nilai sejarah.
Meski telah berusia 88 tahun, namun sejak dibangun sampai dengan saat ini kondisi masjid tidak banyak berubah sejak dibangun. Hanya bagian dinding saja yang telah dipoles dengan cat, serta langit-langit yang sudah dipasangi plafon. Sebagai penyangga kubah masjid, terdapat empat buah tiang kayu berukuran besar.
Kubahnya, tidak seperti masjid pada umumnya yang bentuknya bulat meruncing. Tetapi, kubah Masjid Al Jihad sama dengan kubah Masjid Demak, di Jawa Tengah.
“Tiang-tiang kayunya dibawa dari beberapa tempat. Ada yang dari kawasan Lancuk Leweng, Kampung Asir-Asir, ada juga dari Kampung Kenawat, Pantan Terong, dan Kampung Toweren,” tutur Reje (Keusyik) Kampung Asir-Asir, Ampera kepada Serambi Mihrab, Selasa (26/9).
Selain menjabat sebagai Reje, Ampera merupakan salah seorang cucu dari Imam Masjid Al Jihad, alm Tgk Latih Aman Benu, sehingga sedikit banyak, ia mengetahui tentang sejarah keberadaan masjid tua Kampung Asir-Asir tersebut.
“Tiang tiang serta bahan lainnya, merupakan kayu-kayu pilihan dan bukan sembarang kayu. Jadi, tidak heran kalau sampai sekarang kondisi masjid Al-Jihad, tetap kokoh berdiri, meskipun usianya diperkirakan sudah mencapai 88 tahun,” kata Ampera yang ketika diwawanncarai didampingi seorang pemerhati budaya, Salman Yoga.
Warga luar
Berdasarkan penuturan para tetua Kampung Asir-Asir, Al Jihad dibangun dari hasil gotong royong. Membangunnya, tak hanya dikerjakan oleh warga Kampung Asir-Asir. Tetapi warga dari kampung lain, berbondong-bondong ikut mengerjakan pembangunan masjid.
“Ada yang datang dari Bebesen, Kebayakan, serta dari kampung-kampung di pesisir danau ikut membantu pembangunan masjid Al Jihad. Bukan hanya itu, mereka datang membantu, membawa bekal sendiri, bahkan banyak yang memberikan sumbangan ketika itu,” kata Ampera.
Masjid Al Jihad, pernah dijadikan sebagai pusat ibadah bagi warga Kota Takengon, pada masa penjajahan Belanda. Selain pernah menjadi masjid terbesar di Kota Takengon, Masjid Al Jihad juga pernah menjadi pusat ekonomi pada masanya.
“Dulu, sungai di depan masjid ini, merupakan tempat parkir perahu para nelayan. Setelah menjalankan ibadah shalat Jumat, baru dilakukan transaksi jual beli di depan masjid. Apalagi pada masa itu, sampan merupakan sarana transportasi, khususnya yang tinggal di pesisir danau,” tambah Salman Yoga.
Meski berada di sisi aliran sungai Pesangan, namun kondisi masjid masih tetap baik dan kokoh. Lokasi bangunan berada diatas batu ampar yang telah diratakan. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya proses pembangunan Masjid Al Jihad karena pada zaman itu, belum ada teknologi alat berat atau semacamnya. Hanya mengandalkan tenaga, serta gotong-royong, dan keikhlasan membangun.
“Mereka dulunya bahu-membahu, memanggul bongkahan kayu, mendirikan tiang tiang besar dengan keringat bercucuran, demi berdirinya “rumah Allah” sebagai tempat ibadah.” kata Salman.
Sekarang, meski tak lagi, menjadi pusat ibadah di Negeri Antara nan dingin, keberadaan Masjid Al Jihad, sedikit banyak membuktikan bahwa semangat Islam, memang sudah sangat kuat di Dataran Tinggi Gayo, sejak zaman penjajahan.