Dekgam, “The King of Ratoh Jaroe”
TOYOTA Avanza buatan 2006 parkir di garasi di sebuah rumah ukuran 50 m persegi di kawasan Taman Mini, Jakarta Timur
TOYOTA Avanza buatan 2006 parkir di garasi di sebuah rumah ukuran 50 m persegi di kawasan Taman Mini, Jakarta Timur. Pemiliknya bernama Yusri alias Dekgam. Sama sekali tidak pernah terbayangkan ketika masih berada di Aceh, Yusri bisa beli mobil dan rumah dari hasil menari.
“Benar-benar sebuah berkah,” katanya dalam suatu perbincangan dengan Serambi di Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, akhir Mei 2010 lalu.
Sekarang tahun 2017. Mobil Dekgam juga sudah berganti dengan Honda HRV Sunroof, dan sebuah sepeda motor Yamaha NMX. Rumah juga makin besar dengan perabot makin lengkap.
Semua itu diperoleh Dekgam dari hasil kerja kerasnya sebagai penari dan pelatih tari di Jakarta. Dekgam adalah sosok di balik gegap gempitanya tari Aceh di Jakarta. Yaitu tari Ratoh Jaroe.
Tarian ini hanya ada di Jakarta dan sekitarnya. Berkembang begitu pesat, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga ke seantero dunia. Dan Dekgam kemudian dijuluki sebagai “The King of Ratoh Jaroe.” Sebuah julukan yang sangat wajar dan tepat. Karena peran Dekgam lah, Ratoh Jaroe, melesat bak meteor di negeri ini.
Mobil, rumah, kunjungan ke luar negeri, dan sejumlah honorarium yang diterimanya dari hasil bekerja sebagai pemangku kesenian daerah, adalah sebuah perjalanan hidup yang awalnya tidak pernah diduga. “Di Aceh saya menerima honor paling banyak Rp 50 ribu tiap selesai pertunjukan. Berbeda jauh dengan Jakarta. Honornya ratusan ribu,” cerita Dekgam tentang penggalan kisah hidupnya yang memancarkan sinar sukses itu.
Dekgam, pria kelahiran Banda Aceh, 5 Februari 1977. Ia mengajarkan Ratoh Jaroe, di lebih 70 sekolah menengah bergengsi dan bertaraf internasional. Ia mendapat bayaran lebih Rp 500 ribu per jam mengajar. Honorarium itu akan bertambah tinggi apabila Dekgam diajak pertunjukan di luar negeri atau melatih di negara luar. Dekgam pernah melatih di Syiria, Damaskus. Honornya dalam bentuk dolar.
Dekgam, bapak tiga anak dari hasil perkawinannya dengan gadis Jawa Barat, juga mendirikan komunitas Rumoh Budaya. Di sana ia mengembangkan Ratoh Jaroe secara sistematis. Sudah sejak lama tari Ratoh Jaroe menjadi favorit di kalangan generasi muda Ibukota. Setidaknya sampai sekrang lebih dari 100 sekolah menengah di Jakarta memasukkan Tari Ratoh Jaroe sebagai kegiatan ekstrakurikuler.
Mendapat penghasilan dari hasil melatih tari juga dinikmati oleh Teuku Karnosi alias Dek Te, Muhammad Taufik, Firman, Laila, Fikar, Fadhil, dan lain-lain. Honorarium mereka lebih rata-rata Rp 300 ribu per jam. Itu belum termasuk honor pada saat festival yang tiap bulan bisa berlangsung delapan kali festival. Mereka juga ambil bagian dalam misi kesenian Indonesia di luar negeri. Sudah pasti penghasilan ikut meningkat dan biasanya dipatok dalam bentuk dolar.
Tari Ratoh yang sejak 2002 mulai digemari secara luas di kalangan siswa dan puncaknya adalah pada 2004 dan 2005 ketika Aceh dilanda tsunami. Bagi Dekgam dan kawan-kawan, Tari Ratoh yang mereka ajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi telah menjadi mata rantai industri baru di Jakarta.
Penghasilan yang diperoleh dari kerja melatih tari bukan lagi penghasilan sampingan. Melainkan telah berubah menjadi sumber penghasilan utama. Dekgam mengaku terus terang bahwa mobil, rumah, dan biaya sekolah serta rumah tangga sehari-hari sepenuhnya bersumber dari honorarium yang diperolehnya rata-rata lebih Rp 10 juta tiap bulan.
Merantau Saat Referendum
Dekgam Berangkat ke Jakarta menggunakan bus penumpang umum “Pelangi” dari Banda Aceh pada 8 November 1999 malam. Pada hari itu Banda Aceh dipadati oleh ribuan massa—ada yang menyebut 2 juta orang-yang berkumpul menyuarakan referandum Aceh. Perhelatan Sentra Informasi Referandum Aceh (SIRA) itu diingat betul oleh Dekgam, hari keberangkatannya menuju Ibukota.
Dekgam telah membulatkan tekad beradu nasib di Jakarta. Kegiatannya sebagai penari Rapai Geleng, Seudati, Ratoh, di Banda Aceh tak banyak menolong untuk mewujudkan cita-citanya sebagai orang sukses. “Situasi dan kondisi Aceh waktu itu memang tidak memungkinkan untuk menggelar acara-acara kesenian. Kalaupun ada kegiatan terbatas acara kawinan dan sedikit kegiatan seremonial pemerintahan,” katanya mengenang masa pahit itu.
Berbekal uang Rp 250 ribu yang dikumpulkannya dari usaha berkeseniannya di Aceh, Dekgam kemudian memilih hijrah ke Jakarta. Setidaknya, Jakarta akan memberikan banyak peluang, begitu pikirnya. Meski dia sendiri belum tahu belantara Jakarta seperti apa.
Sepanjang perjalanan, tak henti Dekgam bertanya tentang Jakarta kepada kawan seperjalannya, Dek Te, peniup serunee kalee (instrumen tiup Aceh) dan pemain perkusi khas Aceh.