Dekgam, “The King of Ratoh Jaroe”

TOYOTA Avanza buatan 2006 parkir di garasi di sebuah rumah ukuran 50 m persegi di kawasan Taman Mini, Jakarta Timur

Editor: bakri

Tiba di Jakarta, Dekgam menumpang di tempat Dek Tek, yang ketika itu sudah diterima sebagai pegawai kebersihan (cleaning service) di Kantor Penghubung Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di Jalan Indramayu No 1 Menteng, Jakarta Pusat. Di kantor itulah Dekgam tidur. Kadang di aula atau ruang tamu. Pagi-pagi sekali sudah harus bangun karena pegawai akan segera datang.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Dekgam bekerja sebagai tukang cuci mobil yang parkir di Kantor Perwakilan Aceh itu. “Selama enam bulan saya di kantor itu dengan keadaan yang pahit dan terbatas,” cerita Dekgam.

Dekgam akhirnya diterima juga bekerja sebagai tenaga celaning service di kantor penghubung Aceh. Waktu itu kepala kantor dijabat Ridwan Ahmad, yang memiliki rencana mengembangkan potensi seni Aceh di Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah, lembaga yang berada di bawah Kantor Penghubung. Dekgam dan Dek Te diminta mengajarkan tari Aceh di anjungan itu tiap Sabtu dan Minggu. Sementara hari-hari lain tetap dinas sebagi petugas kebersihan kantor. Sekarang Dekgam sudah pegawai negeri sipil (PNS).

Karir Dekgam kian cemerlang ketika dipercaya melatih tari pada SMA 70 Jakarta. Adalah Haryanti Yunantan, pengasuh salah satu sanggar seni di Jakarta yang memintanya mengajarkan tari Aceh di sekolah tersebut. SMA 70 berhasil tampil sebagai pemenang dalam sebuah festival tari Aceh di Jakarta. Sejak itu permintaan sebagai pelatih tari Aceh terus berdatangan. “Lebih dari 40 sekolah saya latih,” kata Dekgam di awal karirnya sebagai pelatih tari.

“Ratoh Jaroe” adalah tari kreasi yang diciptakan oleh Dekgam. Ia mengkombinasikan berbagai gerak tari Aceh, seperti Saman Gayo, Likok Pulo, Meuseukat, Rapai Geleng dll. Tari Ratoh Jaroe berkembang hanya di Jakarta. Tarian ini tak ada di Aceh. Istilah “Ratoh Jaroe” sendiri adalah penamaan baru, untuk membedakan tarian tersebut dengan tarian tradisi yang ada di Aceh.

Dulu publik Jakarta menyebut tarian tersebut sebagai tari Saman, tapi diprotes, sebab tidak sesuai dengan Tari Saman Gayo yang diakui Unesco. Pernah juga dinamakan Ratoh Deuk, juga mendapat penolakan, sebab Ratoh Duek memang ada di bagian selatan Aceh.

Lalu, melalui sebuah diskusi, di Jakarta, dipilihlah nama “Ratoh Jaroe” untuk menghindari kesamaan nama dengan tari yang sudah ada. Dan Jadilah Ratoh Jaroe sebagai produk seni urban.

Hebatnya, Gubernur Aceh, juga menyediakan piala bergilir untuk Festival Ratoh Jaroe yang sudah berlangsung 13 kali, diselenggarakan di Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah.

Kalau sekarang Dekgam dipanggil sebagai “The King of Ratoh Jaroe” itu karena ia telah berhasil membangun “kerajaannya” dengan baik. Semua itu dibangun dengan keringat dan kerja keras, tentu juga derita.(fikar w.eda)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved