Breaking News

13 Tahun Tsunami Aceh

Tsunami Datang Menerjang, Menghantam Apa Saja - Kisah Jurnalis Serambinews.com Dijekar Tsunami (2)

Selain kami sekeluarga, ada sekitar ratusan warga lain yang juga ikut naik ke lantai dua masjid. Beberapa di antara mereka berlumur lumpur.

Penulis: AnsariHasyim | Editor: Safriadi Syahbuddin
SERAMBINEWS.COM/M ANSHAR
Kondisi di bekas Hotel Aceh, Banda Aceh, 26 Desember 2004. 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Setelah menyaksikan itu (orang-orang berlari panik karena air laut naik), saya akhirnya memilih menutup ruko. Sekonyong-konyong kemudian saya teringat ibu, bapak, abang, adik, kakak ipar dan anggota keluarga lainnya yang masih berada di rumah.

Tak pikir panjang lagi, saya pulang dengan mengayuh sepeda sekuat tenaga. Sepanjang jalan saya melihat warga sudah berlarian keluar dari rumah mereka, jalan-jalan lorong juga sudah dipadati kendaraan.

Saya hentikan laju sepeda karena tak mungkin berhasil melawan arus dengan warga yang berlarian keluar dari rumah. Tepat di depan warung kopi Sabirin, tempat pertama kali merasakan guncangan gempa, saya campakkan sepeda di pinggir jalan.

Suasana kian terasa panik. Teriakan-teriakan warga “Air laut naik...air laut naik...Lari..lari..” kembali terdengar. Belum lagi sampai di rumah, saya bertemu dengan ibu di jalan, dipapah adik saya Riska Ramadhani.

Sedangkan yang lainnya abang, kakak ipar dan bapak menggendong cucunya yang masih kecil terus berlari. Ibu yang saat itu dalam keadaan kurang sehat, hampir terjatuh, hingga membuatnya tak bisa berjalan. Kami berdua menuntun ibu sekuat tenaga.

Di saat bertemu ibu inilah, saya melihat pemandangan mengerikan. Dari arah belakang rumah, saya menyaksikan gelombang air laut yang berasal dari laut Syiah Kuala mulai menuju ke arah kami. Wujudnya seperti awan hitam bergerak ke depan diselimuti langit yang mendung.

Dari kejauhan sekitar satu kilometer jaraknya, saya masih bisa melihat satu per satu atap rumah beterbangan ke udara seperti kapas ditiup angin, hancur lebur dilumat gelombang raksasa itu.

Sejauh mata memandang, saya bisa memastikan, semua rumah yang disapu gelombang berada di Desa Diwai Makam, sebuah dusun yang dikeliling tambak di Kecamatan Kuta Alam, dan hanya berjarak sekitar satu kilometer dari laut Syiah Kuala. Semuanya tidak tersisa.

(Baca: Hafalan Shalat Delisa: Secuplik Kisah dari Tsunami Aceh)

(Baca: Bukti Kedahsyatan Tsunami Jepang Kembali Ditemukan)

(Baca: Bola Murakami Sampai ke Alaska, Terbawa Gelombang Tsunami)

Pohon bakau, dan kelapa yang semula bisa terlihat dari tempat saya berdiri, kini sudah tidak tampak lagi. Daratan sudah berganti dengan gelombang air laut hitam pekat yang makin lama semakin mendekat ke arah saya dan warga lainnya yang tengah berlarian.

Setelah melumat habis rumah warga di Diwai Makam, gelombang raksasa itu kemudian melewati hamparan tambak, sehingga saya dapat melihat dengan jelas pergerakannya. Di tengah jalan, ibu saya Adawiyah, merasa sudah kelelahan.

Ibu minta berhenti. Ia meminta kami agar terus berlari, dan tidak perlu memikirkannya. Karena ibu khawatir kalau kami  masih memapahnya akan memperlambat usaha kami untuk menyelamatkan diri.

Sementara air laut yang mengejar kami semakin dekat disusul suara gemuruh. Saya tak tega membiarkan ibu sendiri. Sekuat tenaga yang ada, bersama adik, kami memapah ibu.

Saya spontan teringat, ibu akan kami bawa ke masjid saja. Karena bangunan yang paling aman dan terdekat saat itu adalah masjid. Saya pikir jarak antara kami dengan masjid hanya terpaut sekitar 30 meter lagi.

Saya harus memapah ibu sampai ke masjid. Suara gemuruh gelombang yang tertiup angin semakin dekat terdengar di telinga. Akhirnya saya, ibu, dan adik berhasil mencapai Masjid Darul Makmur, Lambaro Skep.

Disapu gelombang hitam

Saya menuntun ibu naik ke lantai dua. Saat kaki kami menginjak anak tangga yang ketiga, sejurus itu pula lidah air dari berbagai penjuru menjilat lantai masjid disusul suara dentuman keras terdengar bersahutan.

Suara itu berasal dari dinding-dinding beton yang dihantam air dengan kekuatan yang amat dahsyat. Pada saat bersamaan, air laut dalam wujud hitam pekat itu juga membawa berton-ton material.

Dalam sekejap mata, air sudah memenuhi ruangan lantai satu masjid dengan ketinggian 4-6 meter. Kami sempat berpapasan dengan warga yang sudah lebih dulu naik ke lantai dua masjid, tapi kemudian mereka memilih turun lagi.

Saat itu ada yang berteriak, masjid akan runtuh..., masjid akan runtuh...Sehingga banyak warga yang tidak selamat karena memilih turun dari masjid, dan akhirnya mereka disapu gelombang.

Sedangkan saya, ibu dan adik bersikeras tetap naik ke lantai dua, dan akhirnya memang terbukti masjid tidak runtuh meskipun gempa masih terjadi saat air laut menghantam dinding masjid dan bangunan di sekitarnya. Sesampai di atas lantai dua kami berkumpul kembali.

Rupanya anggota keluarga saya yang tadi lebih dulu lari juga ikut naik ke lantai dua masjid. Tapi ada satu yang kurang. Setelah saya melihat-lihat, ternyata kakak saya Erawati dan suaminya tidak bersama kami di lantai dua. Kami terpisah. Sekeluarga gundah. Tidak ada kabar sama sekali.

Orang-orang juga tidak melihat mereka. Lalu kami saling mendoakan semoga Allah swt menyelamatkan mereka berdua. Apalagi keduanya baru saja menikah. Namun rasa gundah dan gelisah itu kami simpan dalam hati masing-masing. Sebab nasib kami sekeluarga di atas lantai dua masjid juga belum sepenuhnya aman.

Berkali-kali gempa mengguncang, membuat bangunan masjid terasa bergoyang hebat. Kami khawatir masjid runtuh yang membuat keadaan semakin buruk. Kami hanya bisa berdoa dan berzikir.

Selain kami sekeluarga, ada sekitar ratusan warga lain yang juga ikut naik ke lantai dua masjid. Beberapa di antara mereka berlumur lumpur. Saya pikir mereka adalah korban yang selamat dari gulungan gelombang laut.

Tak jauh dari masjid, saya juga melihat seorang ibu dan balita terjebak di atas atap sebuah rumah dalam kondisi kedinginan. Logika saya tak bisa menjawab, bagaimana bisa ibu itu berada di atas atap rumah tersebut. Ibu dan anak itu selamat.

Kami yang berada di lantai dua masjid melemparkan satu kain sarung untuk menyelimuti anaknya yang kedinginan. Di atas lantai dua masjid saya juga melihat ada seorang wanita paruh baya dalam kondisi sekarat.

Diketahui ibu tersebut terminum banyak air laut yang hitam pekat. Allah SWT kemudian berkehendak lain, ibu itu akhirnya meninggal. Itulah korban yang pertama saya lihat.

Di tengah ratapan kesedihan itu, tiba-tiba terdengar orang-orang berteriak air laut naik lagi. Kini, hampir menyentuh lantai dua masjid. Semuanya kembali panik. (bersambung...)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved