Kosakata Arkais Bahasa Aceh Dialek Aceh Besar
Bahasa memiliki sifat selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat
Oleh: Teuku Muntazar, Penulis adalah seorang Sekretaris Desa (Sekdes) di gampong Lampeuneuen, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar.
Bahasa memiliki sifat selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat. Perubahan suatu bahasa ditandai dengan adanya perbedaan pemakaian kosakata antargenerasi masyarakat bahasa.
Keadaan seperti ini menyebabkan beberapa padanan kosakata yang terdapat dalam bahasa Aceh pada umumnya, dan bahasa Aceh dialek Aceh Besar khususnya tidak digunakan lagi. Penutur bahasa Aceh dialek Aceh Besar sejauh ini sering mencampuradukkan kosakata bahasa Indonesia dalam bahasa Aceh. Akibatnya, kosakata yang sebenarnya terdapat dalam bahasa Aceh kini sudah jarang digunakan. Arkais berasal dari bahasa Yunani, artinya dari suatu masa yang lebih awal dan tidak dipakai lagi atau sesuatu yang memiliki ciri khas kuna atau antik.
Sesuatu hal dalam ilmu bahasa yang sudah lama dan tidak digunakan lagi seringkali disebut “arkaisme”. Definisi arkais yang dipaparkan dalam KBBI (2009:65) adalah sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu atau kuno dan tidak lazim dipakai lagi (ketinggalan zaman), sedangkan arkaisme adalah penggunaan kata atau bentuk kata yang bersifat arkais.
Pendapat lain menurut Martinus (2001:60) arkaik atau arkais adalah kata-kata yang sudah tidak digunakan lagi dan ketinggalan zaman atau kuno, dan arkaisme adalah penggunaan kata-kata atau bentuk kata yang sudah tidak umum digunakan. Berdasarkan definisi arkais di atas, dapat diambil simpulan bahwa ciri-ciri diksi/kosakata arkais mempunyai bentuk yang lampau, jarang digunakan, dan tidak populer.
Penggunaan diksi arkais sudah tidak atau jarang digunakan dalam kehidupan masyarakat pemakai bahasa. Suatu bahasa dikategorikan terancam punah apabila bahasa tersebut semakin sedikit digunakan dalam berkomunikasi sehingga kehilangan fungsi sosial atau fungsi komunikatifnya.
Beberapa kosakata bahasa Aceh menurut penulis hampir menjadi arkais antara lain; (1) bada ‘pisanggoreng, (2) tamca ‘sendok’, (3) ong tumpeu/tumpul’, (4) kincu ‘lipstik’, (5) kakoh ‘toilet’, (6) Aleuhad ‘Minggu’, (7) thong ‘celana’, (8) bunthok ‘tembon/ gendut’, (9) seulala ‘silau’, dsb.
Kosakata tersebut merupakan kosakata bahasa Aceh dan sejauh ini sudah jarang digunakan oleh penutur bahasa Aceh dialek Aceh Besar dalam berkomunikasi sehari-hari. Pemakaian kosakata di atas sering digantikan dengan padanan kata bahasa Indonesia. Perbedaan fungsi yang diemban oleh bahasa Indonesia dengan fungsi yang terkandung dalam bahasa Aceh terlihat melalui indikator kelas sosial, usia, profesi, lokasi pemakaian, dsb.
Semakin tinggistatus sosial seseorang, semakin besar kemungkinan dalam menggunakan bahasa Indonesia.
Penyebab Kearkaisan Bahasa Aceh dialek Aceh Besar
(1) Profesi
Kosakata arkais bahasa Aceh dialek Aceh Besar terjadi akibat pengaruh lingkungan pekerjaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat di Gampong Lampeuneuen, Aceh Besar, bernama Abdul Hamid (60 tahun) yang berprofesi sebagai pensiunan Aparatur Sipil egara (ASN) mengatakan bahwa penyebab kearkaisan kosakata bahasa Aceh adalah
“Bahasa Aceh tidak begitu aktif digunakan oleh masyarakat terutama yang berprofesisebagai ASN karena konteks pemakaiannya sangat terbatas ketika berada di lingkungan instansi tempat mereka mengabdi atau bekerja. Oleh sebab itu, kosakata dalam bahasa Aceh tidak lagi dikuasai secara baik karena penguasaan kosakata sudah terbatas.” Melalui pernyataan yang dikemukan oleh AbdulHamid dapat ditafsirkan bahwa kearkaisan osakata bahasa Aceh dipengaruhi oleh lingkungan pekerjaan, penguasaan kosakata, dan pengaruh penggunaan bahasa Indonesia yang dominan.
Kearkaisan kosakata bahasa Aceh juga terjadi akibat perbedaan profesi. Antara pedagang dengan tukang kayu misalnya, mereka hanya mengenal istilah-istilah yang berhubungan dengan pekerjaan masing-masing. Tukang kayu sering menggunakan kata seung ‘tenda’, indreng ‘penyanggah rumah Aceh’ dalam bidangpekerjaannya.
Sedangkan pedagang tidak lazim menggunakan kata tersebut. Pedangang lebih sering mengatakan engkot plok ‘sarden’ dalam pekerjaannya.
(2) Usia
Kearkaisan kosakata bahasa Aceh selanjutnyadisebabkan oleh faktor usia. Bagi kalangan remaja terdapat kata benda tertentu yang tidak diketahui padanan kata dalam bahasa Aceh, seperti kata neuduk gaseu, jeureujak, tameh raja, tameh putro, peunepi. Kaum remaja tidak pernah melihat dan menemukan lagi benda tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, beberapa benda tradisional yang lazim digunakan petani dalam embajak sawah sudah jarang terlihat, seperti langai ‘alat membajak sawah’. Langai tersebut sudah tidak ditemukan lagiterkait dengan perkembangan zaman. Petani tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membajak sawah menggunakan kerbau atau sapi, namun sudah tergantikan oleh mesin pembajak sawah dengan proses yang sangat cepat. Usia remaja cenderung mengetahui kosakata yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Benda-benda yang masih terlihat bentuknya.
Mereka tidak memiliki ikatanbatin dengan bahasa terdahulu. Seiring dengan kehilangan suatu benda, bahasa Aceh akan ditinggalkan pemakaiaanya oleh generasi usia muda.
(3) Tataran Linguistik
Berdasarkan tataran linguistik, penyebab kearkaisan kosakata bahasa Aceh dialek Aceh Besar mencakup tiga hal, yakni fonologi, morfologi, dan semantik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Lumbantoruan, 2005:52-54).
(a) Aspek fonologi. Kehilangan fonem, misalnya ie aden ‘air comberan’ menjadi aden, lapek gaki ‘alas kaki’ menjadi lapek aki, cawan ie ‘tembokan’ menjadi cawan, neuduk gaseu ‘penyanggah rumah Aceh’ menjadi gaseu, peuto ija ‘lemari kain’ menjadi peuto, sileuweu ‘celana’ menjadi ileuweu, aseutana ‘istana’. Perubahan bunyi, misalnya bentara ‘tentara’ menjadi bintara, haria peukan ‘pasar harian’ menjadi uroe peukan, makblin ‘bidan’ menjadi mablin, Seunanyan ‘Senin’ menjadi inanyan, ija palikat ‘kain’ menjadi ija plikat, euncien ‘cincin’ menjadi incin.
(b) Aspek morfologi. Penghilangan imbuhan me- {meu-} misalnnya, bajee meukeureuja menjadi bajee keureuja, dan penghilangan imbuhan {keu-} bruek keukarah menjadi bruek karah. Penghilangan sisipan {-eur-} misalnnya, ceureumen menjadi cermen.
(c) Aspek semantik. Kosakata bahasa Aceh menjadi arkais karena kata yang bersinonim cenderung mengalami penggunaan yang berbeda, sehingga salah satu kata lebih sering digunakan sementara yang lainnya semakian jarang digunakan. Unsur kosakata yang digunakan ini berubah menjadi arkais dalam kurun waktu tertentu misalnya, haria peukan bersinonim dengan uroe peukan.
Bahasa sebagai alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat dalam berinterakasi dengan sesamanya harus dilestarikan dan dipertahankan.Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Lagu Kebangsaan, Lambang Negara, dan Bahasa, Pasal 42 ayat 2; “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia”. Semoga kita semua terhindar dari penerjemahan bahasa Aceh ke dalam bahasa Indonesia.