Ramadhan Mubarak

Menyikapi Keberagaman

KEBERAGAMAN berasal dari kata ragam, beragam, dengan tambahan awalan dan akhiran, dapat bermakna

Editor: bakri
Prof. Yusny Saby, Ph.D. 

Oleh Prof. Yusny Saby, Ph.D. Guru Besar UIN Ar-Raniry. Email: yusnysaby@gmail.com

KEBERAGAMAN berasal dari kata ragam, beragam, dengan tambahan awalan dan akhiran, dapat bermakna “berbagai ragam, bermacam-macam, banyak ragamnya, tidak hanya satu jenis.” Kalau kata itu kita terapkan dalam kehidupan nyata, maka tampak jelas bahwa realitas hidup ini penuh dengan keragaman, warna-warni, dan berbeda-beda.

Manusia saja ada jenis laki-laki ada perempuan, warna hitam, merah, kuning, coklat, putih, dsb. Beragam pula dalam budaya, prilaku, makanan, sampai kepercayaan. Pertanyaannya, “adakah masalah dengan keragaman dan perbedaan itu? Jawabnya, “Tidak.” Alasannya, keberagaman itu memang sudah azali, sudah ada sejak awal, bagian dari Sunnatullah, Law of Nature, Hukum Alam?

Kitab suci pun telah mengingatkan umat manusia tentang asal-usul yang beragam itu, suku bangsa, kabilah, kelompok sejak awal kejadian. “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu ... dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal ...” (QS. al-Hujarat: 13).

Tugas kita manusia yang sudah saling berbeda ini adalah merawatnya dengan cara saling paham, saling kenal, saling menghargai (lita‘arafu). Makanya (kalau ada) usaha untuk menyama-ratakan antarmanusia (selera, budaya, pemikiran, karya), adalah pekerjaan sia-sia dan melawan Sunnatullah. Kalaupun itu “terjadi” akan tidak alami, tidak nyaman, tidak tahan lama, bahkan bisa dikatakan “palsu”.

Tuhan saja tidak menjadikan manusia satu jenis, serupa, seragam. Padahal kalau mau Dia mampu. “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. al-Maidah: 48).

Merawat perbedaan
Dari ayat ini sangat jelas bahwa keberagaman dan perbedaan itu sah, tidak usah diganggu gugat. Sekali lagi, tugas manusia adalah memelihara, mengindahkan, dan mengambil manfaat dari keberagaman dan perbedaan itu. Di antara cara merawat perbedaan yang sudah nyata itu adalah dengan saling berlomba (ber-musabaqah) dalam berbuat kebaikan dari yang satu kepada yang lain.

Di sinilah tantangannya. Ayat tadi menunjukkan; dengan saling berlomba menghasilkan kebaikan, dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Kebaikan itu dapat membuat manusia bisa hidup lebih baik, lebih berguna, dan lebih mampu bekerja sama, untuk menghasilkan kabaikan-kebaikan yang tiada batas.

Kebaikan itu universal, tidak ada pilih kasih. Yang namanya kebaikan itu mestilah bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia. Siapa kemudian yang dapat dikatakan paling baik? Khayrunnas anfa‘uhum linnas (Orang yang terbaik adalah yang manfaatnya paling besar untuk kemaslahatan umat manusia). Bukan sebaliknya.

Bagi kita orang yang mengakui beragama, tanyakanlah! Sudahkah kita menjadi orang baik? Jawabannya; hitung saja seberapa besar, atau seberapa banyak, manfaat yang telah kita hasilkan selama hidup ini? Kalau belum ada, atau masih sedikit, siagalah, ajal akan segera menjemput. Bersegeralah berbuat kebaikan, sebelum terlambat.

Ketika keberagaman dan perbedaan adalah keniscayaan, maka toleransi antar manusia adalah keharusan. Toleransi itu, sebagaimana uraian di atas, modalnya adalah kebaikan. Hasilkan kebaikan dan sebarkan, maka simpati dan toleransi akan mengalir kepada anda. Ungkapan bijak merumuskan, Ahsin ilannas, tasta‘bid qulubahum (Tebarkan kebaikan kepada manusia, simpati mereka akan mengalir kepada anda).

Namun di atas segalanya Allah-lah yang Maha penilai kebaikan itu, apakah kabaikan yang tulus, kabajikan palsu, kebajikan sementara, kebaikan tahan lama? Dalam hal ini manusia diminta hanya menghasilkan dan menyebarkan kebaikan, bukan untuk menghakiminya.

Yakinlah, setiap orang normal, sehat tentu saja akan berbuat yang baik, bahkan lebih baik, tidak akan sebaliknya. Hanya orang-orang jahat, dan bodoh yang “mungkin” menghasilkan keburukan dan kemelaratan kepada orang lain. Waspadailah, dan hadapi bersama-sama.

Dalam perkembangan peradaban manusia tidak dapat dihindari akan terjadinya sejumlah “tabrakan” dalam menghasilkan kebaikan ini. Ketika itu terjadi maka yang perlu dilakukan adalah komunikasi, musyawarah, mujadalah dengan segala kesantunan. Wa syawirhum fil amri dan wa jadilhum billati hiya ahsan adalah ungkapan Alquran yang harus menjadi rujukan. Musyawarah dan diskusi adalah jalan menuju solusi.

Kalau formula ini diikuti maka keberagaman akan terjaga dengan baik, kehormatan masing-masing akan terpelihara. Ketika saling paham tumbuh, maka saling menghargai akan muncul. Ketika itu terjadi maka keserasian antarumat, antarmasyarakat, akan terbina. Dengan demikian maka segala jenis ukhuwah: diniyah, qawmiyah, sya‘biyah, insaniyah akan subur tumbuhnya. Kehidupan yang lapang, sebagai anugerah Allah akan sama-sama dapat kita nikmati.

Ungkapan Alquran, lakum dinukum waliya din dan la ikraha fiddin adalah formula dari yang Maha Mengetahui bahwa keberagaman dalam beragama pun suatu yang alami. Bahwa dalam beragama tidak boleh ada paksa-memaksa, masing-masing diberi hak otonom untuk menganut agama yang dipercayainya.

Keuntungan ganda
Kalau untuk beragama saja diberi hak pilih, apalagi dalam hal bermazhab, beraliran. Asalkan pemikiran itu tetap mengacu kepada kitab suci yang dipercayainya dan tidak menimbulkan keonaran. Tentu saja, dengan kesadaran yang penuh, akan sah-sah saja kalau seseorang mengikuti pemikiran ulama A atau ulama B, yang dianggap lebih sesuai dan lebih mengantarkannya ke realisasi misi agama yang utama rahmatan lil‘alamin.

Perbedaan bukan sekadar gagah-gagahan, sok lebih tahu, sok lebih alim, sok lebih pintar, (yang sebenarnya), bertentangan dengan inti ajaran agama yang menjunjung tinggi nilai ikhlas.

Makanya, bagi Muslim di manapun berada, tidak ada pilihan lain, hanya mengamalkan ajaran tasamuh, toleransi, saling menghargai dengan siapa saja. Ia akan mendapatkan keuntungan ganda. Di negeri “sendiri”, di mana Muslim mayoritas, akan dihormati sebagai “saudara tua”, dan di negeri lain, di mana Muslim minoritas, akan disantuni sebagai “adinda sayang”.

Para pendiri Negara kita pun sejak awal sudah sadar pada kenyataan yang beragam itu. Sehingga beliau-beliau menjadikannya sebagai fondasi negeri ini dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika (Walau beragam tetap satu jua). Mereka telah menunjukkan teladan dalam hal ini. NKRI adalah hasil jihad dan ijtihad mereka.

Maukah pemimpin kita yang sekarang mengikuti jejak mereka? Inilah tantangannya. Namun sikap muslim sejati adalah tegas dan jelas: keberagaman adalah anugerah Allah Swt yang wajib dipelihara dan disyukuri.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved