Mimpi Irwandi tentang Partai Lokal
“Bang Yos, Pak Gubernur ingin bertemu besok (Jumat) pukul 10.00 di Kantor Gubernur. Gimana bisa?
KAMIS (28/6) sore itu handphone saya berdering. Di layar tertera nama Zainal Arifin, Manajer Multimedia dan Koordinator Liputan Harian Serambi Indonesia. Ia mengabarkan bahwa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, ingin bertemu.
“Bang Yos, Pak Gubernur ingin bertemu besok (Jumat) pukul 10.00 di Kantor Gubernur. Gimana bisa?” tanya Zainal yang akrab kami sapa Waled.
Saya berpikir sejenak. Bertanya-tanya, urusan mendesak apa yang membuat Gubernur Aceh mengundang kami. Seingat saya, ini merupakan undangan pertama kepada kami berdua yang bersifat pribadi selama Irwandi menjabat Gubernur Aceh.
“Ada keperluan apa Waled? Kalau untuk marah-marah, saya tidak mau,” jawab saya karena menduga ini ada kaitannya dengan sidang interpelasi DPRA terhadap Gubernur Aceh.
Zainal juga mengaku tidak tahu persis alasan Gubernur Irwandi. Tetapi setelah melalui pertimbangan matang, saya pun menjawab, “Oke.”
Ya, Jumat (30/6) hari itu kami pun bertemu Irwandi. Zainal menyapanya dengan panggilan “Bang”, sementara saya menyapanya dengan “Pak Gub”. Irwandi menyambut kami dengan senyumnya yang khas.
Ada alasan tersendiri mengapa saya tak bisa memanggil Irwandi dengan ‘Bang’ layaknya teman-teman wartawan lain. Saya telah mengenal nama Irwandi sejak tahun 1999, jauh sebelum saya menjadi wartawan.
Dia adalah salah satu dosen di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Syiah Kuala tempat saya kuliah. Karena itu, bagi saya, Irwandi tetap lah seorang dosen, apa pun jabatannya saat ini.
Perbincangan pun mengalir dan dugaan saya ternyata benar. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Nanggroe Aceh (DPP-PNA) ini banyak berbicara tentang hal-hal yang dipersoalkan anggota dewan dalam sidang interpelasi sehari sebelumnya. Sesekali pembicaraan kami diselingi dengan tawa dengan guyonannya.
Namun, di luar pembahasan soal sidang interpelasi, ada hal-hal lain yang menarik perhatian saya. Irwandi menyampaikan keinginannya untuk membentuk koalisi dengan Partai Aceh (PA) yang dipimpin Muzakir Manaf alias Mualem. “Saya ingin membentuk koalisi dengan PA. Saya ingin partai lokal kuat,” kata Irwandi.
Gagasan ini diakuinya sudah dibicarakan dengan Mualem dan disambut baik. Ia juga mengaku sering berkomunikasi dengan Mualem, bahkan di tengah panas-panasnya isu interpelasi DPRA yang digulirkan Fraksi PA.
Bagi saya, ini tentu sebuah gagasan baru di tengah sengitnya persaingan politik antara kedua partai lokal tersebut. Karena harus kita akui, melalui partai lokallah Aceh bisa mewujudkan butir-butir MoU Helsinki.
Namun Irwandi tidak ingin apa yang disampaikannya itu dipublikasi. Ia ingin terlebih dahulu mengonkretkan gagasan tersebut. “Kalaupun mau diberitakan, sebaiknya jangan dari saya. Kalau dari Mualem tidak apa-apa. Saya ingin gagasan ini konkret dulu,” ujarnya.
Hal lain yang mengusik saya, Irwandi dan Mualem, meski secara politik berbeda, tetapi hubungan mereka secara personal ternyata tetap akrab.
Ingatan saya lantas kembali menerawang ke masa sekitar setahun silam, ketika untuk kali pertama Irwandi dan Mualem bertemu pasca-Pilkada, 22 Juli 2017, di mana keduanya sama-sama bertarung untuk memperebutkan kursi orang nomor 1 di Aceh.
Pertemuan berlangsung di rumah Bustami, mantan sekretaris Dinas Keuangan Aceh, di Lampineung. Tidak banyak yang hadir, hanya beberapa orang saja, baik dari pihak Mualem maupun dari pihak Irwandi. Di antaranya Kautsar (Anggota DPRA dari Partai Aceh) dan Sofyan Dawood (mantan tokoh GAM).
Demikian juga dari pihak media, selain saya dan fotografer Budi Patria mewakili Serambi Indonesia, Hendro Saki mewakili salah satu media online, serta Aldin Nainggolan mewakili Harian Waspada.
Saat itu, ketika Mualem dan Irwandi bertemu, kami tidak langsung diizinkan masuk, sekitar satu jam kemudian baru dipersilakan bergabung. Saya tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tetapi ketika itu mata Mualem dan Irwandi terlihat sembab.
Dua hari kemudian, saya kembali dihubungi Kautsar untuk minum kopi di salah satu warung kopi kawasan Pango. Di sana juga terlihat hadir Bustami, sang tuan rumah. Dari situlah saya ketahui bahwa suasana pertemuan Irwandi dan Mualem berlangsung haru. Keduanya berpelukan sambil menangis.
***
Malam itu, tiga hari setelah pertemuan kami, 3 Juli 2018, handphone saya kembali berdering. Tetapi bukan dari Zainal, melainkan dari teman yang mengabarkan penangkapan Irwandi oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendatanginya ke Pendopo Gubernur Aceh.
Kabar di malam naas itu benar-benar mengagetkan saya. Antara percaya dan tidak, saya tugaskan dua wartawan untuk mengecek langsung ke lokasi, di Pendopo Gubernur Aceh dan Mapolda Aceh.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Irwandi resmi ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan suap proyek dana otonomi khusus tahun 2018 yang juga melibatkan Bupati Bener Meriah, Ahmadi.
Gagasan Irwandi kembali terngiang di benak saya. Gagasan untuk menguatkan partai lokal yang belum sempat dia wujudkan. Akankah ini hanya menjadi mimpi seorang Irwandi? (yocerizal)