Tahun Ini Ada 825 Perempuan dan Anak Aceh Jadi Korban Kekerasan

Masalahnya, banyak kasus kekerasan yang tidak muncul di permukaan atau tidak diketahui publik dengan berbagai faktor penyebabnya

Penulis: Nani HS | Editor: Muhammad Hadi
Istri Gubernur Aceh, Darwati A Gani turut hadir dalam deklarasi gerakan bersama perangi kekerasan terhadap anak di acara Car Free Day di Banda Aceh, Minggu (22/4/2018) 

Laporan Nani HS | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Dari tahun ke tahun ternyata Aceh belum mampu memberantas tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Temuan 825 kasus berdasarkan rekapitulasi lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH (Apik), dan Polda Aceh tahun 2018, mencerminkan tingginya kasus tersebut. 

Dalam rentang enam bulan di tahun 2018 ini saja, ada 400 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Lembaga terkait juga mencatat kasus kekerasan terhadap anak sepanjang semester pertama di tahun 2018 ini ada 425 kasus.

Dari data itu tercatat juga bahwa Kota Banda Aceh masih mendominasi angka tertinggi catatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, diikuti kabupaten Aceh Utara, 69 dan 55 kasus.

Baca: Kasus Kekerasan ketika Pacaran, Sosiolog Unpad: Rasa Saling Memiliki Dapat Memicu Pertengkaran

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Aceh, Nevi Ariyani didampingin oleh Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Amrina Habibi, mengatakan, data yang tercatat sepanjang semester pertama ini semakin mengelisahkan saja.

Hal yang semakin mengkhawatirkan adalah bagaimana trend kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh semakin meningkat tajam. Jika misalnya ada kabupaten/kota di Aceh yang kebetulan minim sekali catatan kasusnya, bukan berarti di daerah tersebut benar-benar kecil kasus kekerasan yang terjadi.

"Jadi, besar/kecilnya ‘angka’ tidak boleh dijadikan satu-satunya indikator untuk melihat tingkat kekerasan di Aceh,” jelas Nevi.

Menurut Nevi, memang angka tersebut tidak boleh dijadikan satu-satunya patokan untuk melihat tingkat kekerasan di Aceh.

Masalahnya, banyak kasus kekerasan yang tidak muncul di permukaan atau tidak diketahui publik dengan berbagai faktor penyebabnya.

Baca: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Meningkat di Aceh, Ini Rincian Tiap Daerah

Seperti, masih kentalnya budaya patriarki dan masih minimnya pemahamaan mengenai hak-hak perempuan dan anak, ikut andil dalam banyaknya kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh.

Kemirisan tersebut juga ditemukan Ketua P2TP2A Amrina Habibi. Karena banyak masyarakat yang enggan mengadu ketika keluarganya atau orang sekitarnya terkait dengan kasus kekerasan seksual. Hal tersebut masih diangap tabu atau dianggap aib, sehingga harus ditutup rapat-rapat.

“Bukan hanya keluarga, tetapi lingkungan masyarakat juga belum sepenuhnya memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara, menentukan keputusannya sendiri menghadapi kasus kekerasan yang menimpanya.,” ungkap Amrina.

Itu sebabnya, Nevi mengharapkan adanya dukungan serta kerja keras dari semua pihak untuk memastikan adanya upaya pemenuhan rasa keadilan bagi korban kekerasan. Termasuk dukungan aparatur penegak hukum, SKPA lintas sektor, pemerintahan kabupaten/kota, Organisasi Masyarakat Sipil hingga media massa.

Baca: Kisah Pilu Naila, Ditunangkan Orang Tuanya di Usia 8 Tahun, Alami Kekerasan Usai Menikah

Maka kondisi ini sangat relevan dengan komitmen Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang telah menjadikan rancangan Qanun Aceh tentang “Tata Cara Penyelesaian Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” sebagai salah satu usulan regulasi baru dalam Program Legislasi (Prolega) 2018.

“Perlu dukungan komitmen pemerintah daerah untuk mendukung upaya penanganan kasus kekerasan di Aceh. DPPPA Aceh dan P2TP2A Aceh saja tentu tidak mampu bekerja tanpa dukungan semua pihak lainya. Baik dari unsur pemerintah daerah sebagai lembaga formal dan kelembagaan informal seperti LSM maupun organisasi masyarakat lainnya,” tegas Nevi.

Sementara itu, seorang narasumber yang ditanyai Serambinews.com, mengatakan, “Angka tersebut sudah mengerikan ya. Astarghfirullah hampir seribu? Ini yang tercatat saja kan? Banyak juga yang tak tercatat kan? Ini sudah musibah dan darurat namanya," ujarnya.

Ini sudah pasti dampak dari berbagai macam persoalan. Mulai dari rendahnya iman dan taqwa, rusaknya moral terutama akibat bahaya internet, kelalaian orang tua dalam mendidik anak, masalah pengangguran dan kemiskinan yang membuat manusia jadi beringas.

Baca: Polresta Deklarasi Gerakan Bersama Perangi Kekerasan Terhadap Anak

"Rendahnya perhatian pemerintah, baik melalui pendidikan maupun penegakan hukum. Aduuuh, komplekslah," ujarnya.

Padahal diskusi-diskusi tentang ini sudah bertahun-tahun lalu dilakukan. Beritanya pun sudah banyak di koran, di radio, di internet.

Apanya yang salah hingga makin menjadi-jadi kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan dan anak.

"Apa barang kali pemerintah atau pihak terkait perlu mencari jalan atau cara-cara lain yang lebih berdampak bagi pelakunya? Ini kan sama saja dengan bahaya narkoba, bahaya korupsi. Sama-sama merusak manusia. Ini gawat lah!,” ujarnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved