Sama-sama Berlimpah Minyak Namun Beda Nasib, Inilah Perbandingan Kuwait dan Venezuela
Pemerintahannya berhenti menerbitkan statistik yang dapat diandalkan, termasuk pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Sekarang pemerintah kehabisan uang, harga melonjak, dan tidak ada yang tahu apakah akan ini akan menjadi lebih buruk lagi?
Venezuela adalah pusat kekuatan Amerika Selatan pada tahun 1990-an.
Baca: Tak Cuma Italic dan Bold, Ini 5 Trik Canggih Untuk Mengubah Font yang Ada di WhatsApp
Sayangnya ketidaksetaraan tumbuh ekstrim.
Kelas elit kecil mengendalikan segalanya sementara massa yang semakin miskin menjadi marah.
Negara berubah menuju sosialisme pada tahun 1999 dan memilih presiden Hugo Chavez.
Dia memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat dan merangkul China-Rusia, keduanya meminjamkan miliaran untuk Venezuela.
Chavez berkuasa sampai kematiannya pada tahun 2013, dan hingga hari ini dianggap sebagai pahlawan bagi orang miskin.
Tetapi pemerintahnya terlalu banyak mengeluarkan dana untuk program-program kesejahteraan, dan tetap menetapkan harga untuk semuanya.
Baca: Kemenpora Sebut Roy Suryo Baru Kembalikan Barang Senilai Rp 500 Juta
Akibatnya membuat negara tergantung pada penjualan minyaknya ke luar negeri.
Sebelum ia meninggal, Chavez memilih Maduro untuk menggantikannya.
Pemerintahannya berhenti menerbitkan statistik yang dapat diandalkan, termasuk pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Ia menerima jutaan uang suap untuk proyek-proyek konstruksi dan merampas hutang-hutang yang masih harus dibayar.
Sementara itu, satu-satunya komoditi yang ditinggalkan Venezuela mulai menurun nilainya.
Pada tahun 2014, harga minyak sekitar 100 dolar AS (Rp1,4 juta) per barel.
Namun terlalu banyak minyak menyebabkan harga global jatuh ke 26 dolar AS *Rp387 ribu) pada tahun 2016.