Akibat Selembar Nota dari Ajudan, Soekarno Mendadak Hentikan Pidato Pasca G30S/PKI, Isinya Mencekam
Para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI pun melakukan aksi, dan mendesak pemerintahan Soekarno membubarkan PKI.
Dalam balutan pakaian militer lengkap, pria itu, Brigadir Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, menghadapkan badannya ke sebuah cermin di lemari besar.
Beberapa kali dia merapikan pakaian agar tak terlihat kusut.
Baca: Saracen, Panser Pengangkut Peti Jenazah Para Perwira Korban G30S/PKI
Tentara yang kini sudah masuk dan menguasai lantai 1 rumah itu semakin galak.
Tembakan dilepaskan.
Sejumlah perabot dan vas yang menjadi hiasan pun jadi sasaran penembakan.
Istri dan anak DI Panjaitan yang berada di lantai 2 semakin terlihat ketakutan.
Apalagi, seorang asisten rumah tangga melaporkan bahwa dua keponakan Panjaitan yang di lantai bawah, Albert dan Viktor, terkena tembakan.
Namun, Panjaitan tetap tenang. Dengan langkah perlahan, dia turun ke lantai 1 yang dikuasai pasukan yang disebut dari satuan Cakrabirawa, pasukan khusus pengawal Presiden Soekarno.
Saat DI Panjaitan berada di bawah, tentara itu memaksanya untuk segera naik ke truk yang akan mengantarnya ke Istana. Kata para tentara, jenderal berbintang satu itu dipanggil Presiden Soekarno karena kondisi darurat.
Seorang jenderal diundang ke Istana oleh gerombolan tentara, tentu merupakan hal yang janggal. Akan tetapi, dalam todongan senjata, DI Panjaitan tetap tidak panik. Dia menyempatkan diri untuk berdoa, yang menyebabkan para tentara itu semakin marah.
Baca: Putri DI Panjaitan Ungkap Kesaksiannya Saat G30S/PKI: Ayah Ditarik Kasar dan Ditembak di Dahi
Seorang tentara kemudian memukulkan popor senjata, tetapi DI Panjaitan menepis sebelum benda keras itu menghantam wajahnya.
Tentara yang lain marah, Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat itu ditembak. DI Panjaitan tewas. Jenazah DI Panjaitan segera dimasukkan ke dalam truk dan dibawa pergi.
Meski demikian, darah pria kelahiran Balige, Sumatera Utara itu masih berceceran di teras rumah. Putri sulung Panjaitan, Catherine, menyaksikan penembakan itu.
Dia terlihat shock saat ayahnya ditembak. Setelah gerombolan tentara itu pergi, didatanginya tempat ayahnya ditembak.
Darah yang masih berlumuran di teras itu pun dipegangnya penuh haru. Kemudian, tangan yang penuh darah itu diusapkannya ke wajah.