Opini

Dayah Masa Depan Aceh

SETELAH Indonesia mardeka, masa depan Aceh sangat ditentukan oleh para aktivis perjuangan dari berbagai profesi

Editor: bakri
IST
Senator Aceh H Sudirman sapaan Haji Uma mengunjungi 'Saweu' Dayah Darul Ulum, Gampong Alue Awee, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, sekaligus menyerahkan bantuan dana ke dayah tersebut, Selasa (23/10/2018) malam 

Oleh Mukhlisuddin Ilyas

SETELAH Indonesia mardeka, masa depan Aceh sangat ditentukan oleh para aktivis perjuangan dari berbagai profesi. Seterusnya pada masa Orde Baru, masa depan Aceh ditentukan oleh intelektual kampus, di mana mulai dari gubernur, dan segala perencanaan Aceh didominasi oleh intelektual kampus, baik intelektual kampus di Aceh maupun dari lulusan lain di Indonesia.

Dominasi intelektual kampus yang bersinergi dengan birokrat dan pengusaha dalam membawa masa depan Aceh, berlangsung dalam periode lama. Nama-nama terakhir tercatat sebagai pengendali Aceh seperti Prof Dr A Madjid Ibrahim (1926-1981), Prof Dr Ibrahim Hasan MBA (1935-2007), Prof Dr Syamsuddin Mahmud, ketiganya akademisi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Demikian pula Abdullah Puteh (aktivis dan intelektual lulusan kampus), Azwar Abubakar (lulusan kampus dan pengusaha) dan lainnya.

Setelah Aceh dilanda tsunami pada 26 Desember 2004 dan perjanjian damai mengakhiri konflik antara RI-GAM pada 15 Agustus 2005, maka kontestasi masa depan Aceh berada dalam dekapan GAM. Periode awal Aceh dalam dekapan kekuasaan GAM, dikendalikan oleh generasi mudanya, seperti Irwandi Yusuf (dosen Unsyiah dan aktivis GAM) dan Muhammad Nazar (Presidium SIRA) yang didukung oleh para panglima GAM seperti Muzakir Manaf, Sofyan Dawood, dan lainnya. Mereka berkontestasi mengalahkan pasangan Prof Ahmad Humam Hamid-Hasbi Abdullah, keduanya dosen Unsyiah yang mendapat restu dari generasi tua GAM seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan lainnya.

Periode kedua, GAM kembali menentukan masa depan Aceh lewat kemenangan dramatis, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Dengan proses yang keras, menerobos segala dinamika internal GAM dan situasi eksternal, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf menjadi pengendali Aceh selama lima tahun dengan segala dinamikanya. Setelah 10 tahun Aceh dikendali oleh GAM. Memasuki periode ketiga, pengendalian masa depan Aceh oleh GAM mulai gagal. Karena eksponen GAM tidak bisa berdamai dengan kelompoknya. Akhirnya pada periode ketiga kekuasan GAM, Irwandi Yusuf berpasangan dengan Nova Iriansyah dari Partai Demokrat.

Akhir cerita dari upaya transformasi GAM menjadi pengendali masa depan Aceh berakhir sedih dan menyedihkan. Betapa tidak? Irwandi Yusuf menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan wakilnya Nova Iriansyah menjadi Plt Gubernur Aceh dalam masa empat tahun ke depan. Inilah yang disebut sebagai cerita sedih lagi menyedihkan, akibat tidak bisa berdamai dengan diri mereka masing-masing.

Posisi GAM sebagai pengendali yang bisa mempengaruhi segala hal di Aceh mulai meredup. Posisi top level tidak akan terbantukan sekalipun menang pada Pemilu Legislatif 2019. Inilah sirkulasi kekuasaan, ketika intelektual dan pengusaha menjadi gubernur Aceh, maka elemen lain terpinggirkan. Begitu juga ketika GAM berkuasa, tidak sedikit elemen lain menjadi pengangguran. Maka terjadilah situasi by design atau by accident dalam tata pemerintahan sistem Republik Indonesia.

Dayah menjadi solusi
Begitu level eksponen GAM degradasi, maka mulai 2019-2029, dayah menjadi solusi mengendalikan masa depan Aceh. Sepuluh tahun ke depan, belum terindentifikasi kelompok lain di Aceh yang memiliki akar dan pengaruh seperti dayah. Kampus di Aceh dengan segala dinamikanya dan eksponen GAM dengan segala kelemahan dan romantismenya akan menjadi kelompok masa lalu bagi Aceh ke depan. Dua kelompok ini akan menjadi support system bagi pengendali masa depan Aceh, yaitu organ dayah.

Dayah di Aceh dapat dilihat dalam beragamperspektif. Mulai dari hal relegius, sejarah kebudayaan, pertahanan keamanan, politik elektoral, perdamaian, perekonomian sampai dengan potensi dayah menjadi pengendali Aceh masa depan. Kenapa dayah bisa dilihat dalam beragam pandangan? Karena dayah sebagai sebuah organisasi (organ) yang mengakar dalam tradisi masyarakat Aceh. Sejak masa klasik terus berkembang pada abad 17-20, sampai dengan era revolusi industri 4.0 saat ini, dayah beserta instrumennya tidak pernah absen memainkan kontestasinya dalam setiap perjalanan keagamaan dan sosial politik di Aceh. Tidak ada alasan untuk tidak menyebutkan dayah dalam melihat masa depan Aceh.

Dalam satu penelitian, saya menemukan bahwa transformasi dayah kontemporer di Aceh pada abad 21 menjadikan kepemimpinan dayah sebagai tool dalam perluasan otoritas (outrech authority). Organ dayah telah diwarnai dalam segala dinamika politik masa lalu. Pelan-pelan organ dayah menjadi orang-orang yang mempengaruhi setiap kontestasi sosial politik dan keagamaan di Aceh.

Beberapa lembaga sosial, politik dan lembaga pemerintah terdapat pengaruh dari organ dayah. Sebut saja, misalnya, dominasi dayah di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Tuha Peut Wali Nanggroe, terdapat perwakilan di DPRA dan DPRK, Kanwil Kementerian Agama, Kantor Gubernur, menjadi birokrat di Dinas Syariat Islam, Dinas Pendidikan Dayah, dan banyak alumni yang bergelar magister dan doktor yang berkecimpung di kampus seperti Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), UIN Ar-Raniry, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, Universitas Samudera (Unsam) Langsa, IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, di kampus-kampus swasta seperti IAI Al-Aziziyah Samalanga, dan lain-lain.

Namun demikian, secara geneologi keberadaan dayah di Aceh, esensinya bukan lagi berbasis pada gerakan politik. Tapi geneologi dayah di Aceh saat ini, dominan berakar dari Abuya Muda Waly dengan Dayah Darussalam di Labuhan Haji, Aceh Selatan. Dengan basis filosofi dayahnya adalah beut dan seumeubeut (belajar dan mengajar). Filosofi ini pula yang sekarang diwarisi oleh Dayah MUDI Mesra Samalanga, melalui Abon Aziz dan Abu Mudi. Jadi, secara umum, dayah di Aceh fokus sebagai basis organisasi pendidikan dan dakwah, makanya menghasilkan alumni yang berkontribusi pada institusi vertikal maupun horizontal di Aceh dan Sumatera Utara.

Dayah dengan konsistensinya sejak DI/TII tidak menjadi aktor utama dalam segala gerakan politik di Aceh, telah melahirkan sumber daya manusia yang handal dalam segala rumpun pengetahuan saat ini. Dayah yang dulunya selalu diwarnai oleh lembaga lain, menjadi pewarna dalam setiap kontestasi yang ada. Makanya, tidak berlebihan bila analisa ini menyebutkan bahwa dayah adalah masa depan Aceh.

Kembali kepada hukum alam, menjadi pengendali Aceh sangat tergantung pada banyak faktor x. Secara sumber daya manusia tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa dayah layak menjadi pengendali masa depan Aceh. Tapi kadangkala ini soal momentum dan sikap organ dayah. Apakah sudah siap menyatukan energi yang ada padanya untuk menjadi pemimpin Aceh, atau tetap sama sekali melewati momentum ini untuk kemudian berpedoman pada sikap idealitis beut dan seumeubeut saja.

Saya termasuk bagian yang percaya bahwa dayah suatu waktu akan menjadi pengendali birokrasi Aceh. Karena bila dilihat dari sumber daya manusia, pengaruh, mobilitas massa, maka dayah memilikinya. Di Pulau Jawa, sudah banyak alumni dayah (pesantren) yang didukung oleh organ dayah menjadi gubernur dan bupati/wali kota. Dan harus diakui bahwa transformasi dayah di Pulau Jawa lebih cepat berlangsung bila dibanding dengan dayah di Aceh. Makanya virus itu akan sampai di Aceh, tentu dengan kalkulasi dan responsif dalam melihat momentum.

Kemampuan dayah dalam melahirkan pemimpin telah teruji, dayah di Aceh bukan sebatas agent of change (agen perubahan), tetapi sudah menjadi agent of modernization (agen pembaruan). Manifestasi nilai-nilai dayah untuk masa depan sangat menentukan situasi politik dan sosial keagamaan di Aceh. Semoga!

* Mukhlisuddin Ilyas, alumnus Dayah Baabul Ilmi Kiran Jangka Buya (1994-1996), Dayah Jeumala Amal (1997-2000), dan Pengajar STKIP BBG Banda Aceh. Email: mukhlisuddin.ilyas@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved