Kisah Tsunami 2004
Selamat dari Gulungan Gelombang, Bertemu Ular Raksasa di Atas Pohon
Saat itu, sekitar dua meter di depan saya, terlihat seekor ular, kira-kira besarnya sebesar pohon pinang, dan ularitu sudah membuka lebar mulutnya.
Penulis: Ansari Hasyim | Editor: Ansari Hasyim
SAAT gempa terjadi saya berada di rumah bersama keluarga, yaitu ibu Wansari, 45 tahun, adik, Abdul Rapu, 18 tahun, Azwar, 25 tahun, keponakan, Sahibun, 24 tahun, Saidi, 18 tahun, dan dua orang anak kos (Arraniry dan Saman).
Karena getaran gempa terasa sangat kuat kami semua turun dari rumah panggung yang kami tempati. Saat itu saya dan ibu menuju belakang rumah dan kami berdua duduk bertasbih di atas kayu-kayu. Di lingkungan sekitar saya melihat tetangga juga duduk duduk seperti kami.
Ekspresi mereka tampaknya semua ketakutan. Sebagian anak-anak ada yang menangis. Saat sedang terjadi gempa suasana alam terasa sepi, tidak ada suara angin, tidak ada juga terdengar suara binatang. Setelah gempa selesai kami berkumpul di teras rumah. Beberapa tetangga juga datang ke rumah saya. Saat itu kami sedang membahas gempa yang baru saja kami rasakan. Saat itu
saya bertanya kepada ibu Cut Faridah, tetangga saya, "Bala apa yang akan terjadi"
Ibu Cut Faridah mengatakan bahwa jika terjadi gempa pada hari Minggu akan banyak
meninggal dunia kaum muda.
Kemudian dia juga berkata bahwa jika gempa terjadi
sedahsyat ini kemungkinan air laut akan meluap ke darat. Tidak lama setelah itu terjadi
lagi gempa susulan yang skalanya lebih kecil. Dalam waktu yang bersamaan terlihat orang-orang berlarian di jalan lingkar kampus.
Orang-orang itu berlari panik sambil meneriaki, "Air laut naik...!, air laut naik...!" Saat itu saya belum percaya bahwa air laut naik. Beberapa saat kemudian datang adik saya dari kota, Marniah, 27 tahun. Kebetulan hari itu dia sedang berada di tempat kursus menjahit. Karena sudah terjadi gempa dia langsung pulang. Dengan ekspresi yang sangat serius dan takut mengabarkan kepada kami bahwa air laut sudah naik.
Kebetulan dia sudah melihat air di laut sedang menuju ke darat saat berada di atas jembatan Lamnyong. Mendengar berita dari adik saya baru saya yakin dan percaya bahwa memang betul air laut naik. Saya bergegas mengenakan pakaian
mengunci pintu rumah, dan tergesa-gesa meninggalkan rumah karena melihat orang
orang sudah pergi meninggalkan rumah.
Tujuan saya waktu itu tidak jelas ke arah mana. Pokoknya kami harus segera pergi. Saat berjalan dari rumah saya memegang ibu dan sebuah tas berisi ijazah dan dokumen
dokumen penting lainnya. Adik-adik dan anak-anak kos serta keponakan sudah pergi duluan, masing-masing menyelamatkan diri.
Saat dalam keadaan panik tersebut, datang Azwar yang sebelumnya keluar dengan sepeda motor untuk melihat-lihat keadaan, balik dan mengatakan kepada kami agar segera naik ke sepeda motornya. Ibu dan Marniah dibonceng oleh Azwar, sedangkan saya berlari di belakang mereka. Baru sekitar lima puluh meter kami beranjak, air yang berwarna sangat hitam sudah tampak dari arah barat, utara, dan timur.
Waktu itu posisi saya dengan air masih sekitar seratus meter. Ketinggian air saat itu masih sekitar satu meter di atas permukaan tanah. Saya sempat melihat bangunan-bangunan roboh diterjang air itu. Begitu juga pohon-pohon. Saya mendengar suara air memamah apa saja yang ada di depannya saat mengalir. Tampaknya, meskipun setinggi 1 meter air tersebut cukup bertenaga. Saat panik itu saya berpikir dunia kiamat.
Saya intruksikan kepada Azwar agar segera memberhentikan sepeda motor, menurunkan ibu dan Marniah. Setelah Azwar memakirkan adik Marniah berpegangan hendak berlari ke Asrama PGSD. Berhubung kondisi adik dan ibu sudah sangat lemah, ketakutan, dan trauma, mereka tidak sanggup berlari lagi. Mereka segera saya angkat ke atas beton setinggi satu setengah meter yang ada di samping lapangan bola dekat Asrama PGSD.
Sementara Azwar saya lihat sudah berada di ujung tiang listrik yang ada di pinggir jalan lingkar kampus. Dia sekitar lima meter dengan tembok. Saya terus mengawasi posisi air. Sudah sangat dekat, dan semakin dekat, tinggal
sekitar sepuluh meter di depan kami. Pada saat yang paling kritis itu, ibu berucap,
"Bertasbih Nak, dan serahkan diri kepada Allah swt, kita ini lemah, Lahaula walakuata
illabillah.
Saat kami bertasbih air sudah menghantam kami dari depan dan belakang. Tembok tempat kami berdiri pecah dan roboh. Kami bertiga terangkat ke atas, lalu jatuh ke dalam air, lantas kami terpisah ditelan gelombang.
Saya merasakan langsung digulung-gulung air hitam itu. Saat digulung-gulung air saya sempat menutup hidung dan
mulut dengan telapak tangan. Sementara tas dokumen tidak terlepas di tangan kiri. Saat
itu saya pasrah kepada Allah swt. Saya berpikir bagaimana sakitnya ditarik nyawa.
Dalam hati terus berzikir kepada Yang Maha Kuasa. Secara fisik saya merasakan kesakitan yang
luar biasa oleh hantaman-hantaman kayu, seng, beton, dan sebagainya. Dalam air itu saya sempat berpikir ke mana ibu dan adik-adik saya yang tadinya bersama saya. Saya terus berusaha menggapai-menggapai permukaan
air yang sangat deras itu.
Tiba-tiba saya terpental ke permukaan air.
Saya langsung terlihat ibu di sebelah kanan
saya, kira-kira empat meter jaraknya. Saya dengan cepat meraih tangan ibu, dan berhasil
saya pegang ibu. Saat itu ibu juga tidak berpegangan pada apa pun. Dia sempat
mengatakan lagi, "Jangan lupa berzikir kepada Allah swt.