Rektor Undang Adik Alm Rina Muharami Kuliah di UIN Ar Raniry Tanpa Tes
Tawaran rektor itu bertujuan untuk mengobati duka kedua orang tua almarhumah.
Penulis: Muhammad Nasir | Editor: Ansari Hasyim
Laporan Muhammad Nasir I Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Rektor UIN Ar Raniry, Prof Dr Warul Walidin MA mengundang adik Rina Muharami Kuliah di perguruan tinggi tersebut tanpa tes.
Hal itu disampaikan rektor langsung kepada adik almarhumah yaitu Riska Surayya saat berkunjung ke rumah duka, Kamis (28/2/2019) di Cot Rumpun, Blangbintang, Aceh Besar.
Tawaran rektor itu bertujuan untuk mengobati duka kedua orang tua almarhumah.
Sehingga, Bukahri dan Nurbayani kembali memiliki anak yang menimba ilmu di perguruan tinggi itu dan bisa diwisuda nanti sebagai pengganti almarhumah.
Riska yang didampingi keduanya orang tuanya belum memberi respons atas tawaran Rektor tersebut, karena ia masih harus memikirkannya.
Riska saat ini sedang menempuh pendidikan agama di pesantren Lam Ateuk, Aceh Besar.
Baca: Romo Syafii Ancam Copot Kapolda Sumut Jika Tidak Netral, Kapolda: Qodrat Manusia Ditentukan Allah
Baca: Siswa SUPM Ladong Aceh Besar Ini Ditemukan Tewas di Perbukitan, Ada Luka Parah di Wajahnya
Baca: Xiaomi Redmi Note 7 Pro Resmi Diluncurkan, Harganya Mulai Rp 2 Jutaan, Cek Spesifikasinya
Rina Muharani merupakan anak satu-satunya di keluarga tersebut yang menempuh pendidikan perguruan tinggi, karena kedua adiknya menempuh pendidikan di pesantren dan yang bungsu masih bersekolah.
Rina Muharrami adalah sosok sarjana muda yang namanya kini hanya tinggal kenangan. Ia telah pergi selamanya meninggalkan sahabat-sahabatnya di Kampus Biru UIN Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh.
Namun Kepergian mahasiswi Prodi Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan itu banyak ditangisi orang lantaran kisah dan perjuangannya meraih gelar sarjana harus berakhir dengan duka.
Mungkin takdirlah yang berkehendak. Rina menghembuskan napas terakhir 13 hari setelah ia menyelesaikan sidang skripsinya karena sakit.
Semestinya Rina pada Rabu (27/2/2019) lalu hadir di Auditorium Prof Ali Hasjmy, UIN Ar Raniry untuk menerima ijazah sarjana bersamaan dengan 2.011 mahasiswa lain yang diwisuda.
Tapi semua harapan itu hanya tinggal kenangan. Ijazah Rina justru diterima sang ayah menggantikan putrinya yang telah pergi untuk selamanya. Kisah pilu Rina Muharrami, sang sarjana muda tersebut, telah membuka mata banyak orang tentang hakikat sebuah perjuangan mahasiswa sejati.
Bahkan kisahnya menjadi viral dalam berita dan tersebar di berbagai media sosial. Kisah mengharukan ini berawal dari sebuah video yang diunggah di akun instagram UIN Ar Raniry, Rabu (27/2) dalam kegiatan hari kedua wisuda mahasiswa UIN Ar Raniry di kampus tersebut. Dalam video ini tampak seorang bapak berpakaian kemeja ikut dalam antrean barisan mahasiswa yang akan diwisuda.
Saat nama Rina Muharrami dipanggil MC sang bapak tersebut menghampiri podium dan seperti layaknya mahasiswa lain, Rektor UIN Ar Raniry Prof Warul Walidin menyerahkan sebuah map tanda kelulusan sebagai sarjana. Saat momen itu berlangsung, sontak seisi ruangan auditorium tempat wisuda berlangsung tiba-tiba hening.
Terdengar suara MC membacakan biodata singkat sang mahasiswi yang telah almarhum itu. “Rina Muharrami, lahir 16 Mei 1996. Rina Muharrami telah meninggal dunia karena sakit pada tanggal 5 Februari 2019. Ijazah diterima oleh ayahandanya...”
Suara MC yang mendoakan almarhumah terdengar agak terbata dan tenggelam dengan suara aplaus para hadirin.
Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Warul Walidin dan Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN Ar-Raniry, Dr H Gunawan MA PhD, terlihat tidak mampu menahan keharuannya. Sang Rektor tampak memeluk sang bapak yang menundukkan kepalanya. Tidak sedikit para peserta, dosen dan undangan berurai air mata melihat momen tersebut.
Sosok lelaki tegar itu adalah Bukhari yang merupakan orang tua dari alm Rina Muharrami, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry. Gadis kelahiran Bayu, 16 Mei 1996 itu, merupakan putri pertama dari empat bersaudara, yang lahir dari pasangan Bukhari dan Nurbayani
Rina menjalani sidang skripsi pada 24 Januari 2019 pukul 12.00 WIB. Namun, tiga belas hari setelahnya, yaitu tepat pada tanggal 5 Februari 2019 Rina dipanggil oleh Sang Pencipta sebelum Subuh atau tepat pukul 04.15 WIB. Rina meninggal dunia setelah menderita penyakit tifus stadium akhir hingga berujung pada saraf seperti dilansir situs
uin.ar-raniry.ac.id.
"Meninggal karena sakit tifus, cuma udah parah. Kata dokter pas malam terakhir, atau pas besoknya dia meninggal, saya jenguk dan saya tanya hasil pemeriksaannya sama ayah almarhumah. Ternyata tifus udah tahap paling tinggi, sampai kena saraf," cerita Nisaul Khaira yang merupakan sahabat dekat almarhumah sejak semester lima.
Rina, menderita penyakit tifus kurang lebih selama satu bulan. Bahkan dirinya sempat koma dan dirawat di ICU Rumah Sakit Meuraxa, Kabupaten Aceh Besar.
"Sebenarnya demamnya udah sebulan gitu, naik turun udah berobat kemana-mana. Cuma mulai drop lebih kurang 4 hari, dan koma di ICU Meuraxa sampai dia meninggal sebelum Subuh jam 04.15. Allah lebih sayang Rina," kata Nisaul.
Di kalangan sahabatnya, almarhum dikenal sosok yang sangat menginspirasi, tekun dan terkenal sederhana. Ia terlahir dari kedua orang tua yang berprofesi sebagai petani.
"Orangnya super simple dan perhatian luar biasa sama sahabat-sahabatnya. Kalau sama saya, dia selalu ketawa walaupun lagi sakit. Kemarin pas sidang bawaannya ketawa-ketawa aja karna saya buat lucu gitu. Pokoknya dia inspirasi untuk saya pribadi, karena dia, kenapa saya bisa niat kejar skripsi. Dia motivator bagi saya," lanjut Nisa.
Di lain waktu keseharian almarhumah juga merupakan guru ngaji. Selain kesederhanaan yang dimilikinya, ia juga merupakan mahasiswa yang berprestasi. Rina dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas. Ia juga mampu menguasai bahasa Jepang dengan baik, dan termasuk mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Ia lulus dengan predikat istimewa dengan indeks prestasi kumulatif 3.51.
"Anaknya aktif, baik, pintar. Bahasa Jepang-nya juga bagus," kata Muzakir Ketua Prodi Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan seperti dikutip Serambi dari laman situs uin.ar-raniry.ac.id.
Menurut Muzakir sebelum meninggal, almarhumah Rina sudah menyelesaikan seluruh syarat untuk wisuda pada semester ini.
"Seluruhnya sudah diselesaikan, namun sebelum yudisium, Rina sudah duluan dipanggil oleh Allah, sehingga ia tidak sempat mengikuti proses yudisium," ujarnya. Lalu muncullah niat dari pihak Prodi yang berinisiatif mengundang ayah kandung Rina untuk tetap hadir pada saat hari wisuda.
"Kami menyematkan bentuk penghargaan untuk perjuangan ayahnya terhadap Rina, dan juga terhadap perjuangan Rina sendiri, dan tepat hari ini (Rabu), ayah kandungnya langsung yang hadir untuk mengambil ijazah tersebut," tutur Muzakir.
Dikunjungi rektor
Sementara itu pihak UIN Ar Raniry menyerahkan toga beserta selempang kepada keluarga almarhumah Rina sebagai kenang-kenangan.
Toga itu diserahkan Rektor UIN Ar Raniry Prof Dr Warul Walidin MA yang datang mengunjungi rumah almarhumah sehari setelah wisuda berlangsung, Kamis (28/2) sore.
Toga diterima kedua orang tua almarhum, Bukhari dan Nurbayani dengan tangan bergetar dan mata berkaca-kaca.
Di hadapan rombongan takziah UIN, tampak tak banyak kata yang bisa diucapkan Bukhari.
Ia hanya mengatakan terima kasih karena pihak kampus masih memberi kesempatan kepadanya untuk mengambil ijazah anaknya, meskipun sang anak sudah tiada.
“Saya rasa, ini (ijazah) adalah yang terbaik yang ditinggalkan oleh anak saya, saya rasa cuma ini, saya tidak sanggup tidak berbicara lagi,” tutup Bukhari dengan suara terseda-seda.
Ia langsung menutup sambutan dan duduk, karena suaranya tampak semakin berat saat bercerita tentang anaknya.
Namun kepada Serambi sang ayah masih mampu bercerita banyak tentang sang anak. Berbeda dengan istrinya Nurbayani, ia tampak terus mengeluarkan air mata saat menceritakan kisah perjalanan hidup anaknya.
Ia mengisahkan, Rina merupakan satu-satunya anaknya yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan dua adiknya menempuh pendidikan di pesantren dan yang paling bungsu masih bersekolah SMP.
Karena ayahnya seorang tukang bangunan dan ibunya bertani di sawah, tentu perjuangan Rina dalam menempuh pendidikan dalam serba keterbatasan.
Di saat tidak kuliah Rina sering membantu ibunya pergi ke sawah. Pada waktu luang yang lain, Rina pun mengajar ngaji anak-anak di balai pengajian yang ada di depan rumahnya.
Menurut Nurbayani, untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya Rina sering berupaya sendiri. Misalnya, untuk membeli laptop, maka Rina langsung mengusahakan sepetak sawah milik orang tuanya, yang hasilnya untuk membeli laptop.
“Memang saya sangat usahakan untuk kuliah Rina, kadang saya mengupah di sawah orang, hasilnya saya kasih buat uang minyak dia. Tapi mungkin sudah di sini ajalnya. Memang dalam hidup kita ini ada kesenangan dan ada kesedihan,” ujar ibunya sambil terus membasuh air mata dan memeluk erat toga pemberian kampus.
Sang ayah juga bercerita, jika anaknya pernah bercita-cita berkuliah di Jepang, karena ia memang bisa berbahasa Jepang. Namun Bukhari tidak mengizinkannya, karena ia khawatir anak gadisnya jauh dari keluarga.
Namun setelah selesai pendidikan sarjana, kepada ayahnya, Rina pernah mengungkapkan keinginannya melanjutkan S2 sambil bekerja sebagai guru Bahasa Jepang.
Karena cita-citanya kelak ingin menjadi dosen. Namun pada kesempatan lain, kepada sang ibu Rina juga pernah mengungkapkan jika selesai di kampus ia ingin mengaji di pesantren.
Dalam sebuah perjuangan memang tidak pernah ada yang sia-sia. Setidaknya kisah Rina Muharrami menjadi contoh, betapa setiap keringat orang tua harus dihargai dengan sepenuh jiwa oleh setiap anak yang sedang menempuh pendidikan.
Sampai akhir hayatnya, Rina masih terus berjuang demi meraih sebuah kado terakhir untuk sang ayah, selembar ijazah sarjana yang ia impikan. Alfatihah untuk Rina Muharrami, sang sarjana muda dari Kampus Biru UIN Ar Raniry.(*)