Benarkah Game Kekerasan Jadi Pemicu Penembakan Brutal di Selandia Baru? Begini Menurut Hasil Riset
Brenton Tarrant, secara brutal menembaki jamaah masjid yang hendak menunaikan ibadah Salat Jumat di Selandia Baru, Jumat (15/3/2019).
SERAMBINEWS.COM - Benarkah penembakan brutal di Masjid kota Christchurch Selandia Baru oleh Brenton Tarrant sebagai dampak dari menonton video kekerasan?
Pertanyaan ini selalu mengemuka setiap kali terjadi aksi terorisme brutal.
Selalu muncul pertanyaan, adakah kaitan antara kebiasaan menonton game / permainan berbau kekerasan dan efeknya terhadap agresivitas menyerang orang lain?
Yang pasti, nama Brenton Tarrant bisa dipastikan menjadi pembicaraan di berbagai belahan dunia, saat ini.
Brenton Tarrant, secara brutal menembaki jamaah masjid yang hendak menunaikan ibadah Salat Jumat di Selandia Baru, Jumat (15/3/2019).
Baca: Selandia Baru dan KBRI Sediakan Informasi Terkait Penembakan Jamaah Masjid, Ini Nomor Hotlinenya
Baca: Hari Ini, Teroris Penembak Jamaah Masjid di Selandia Baru Diseret ke Pengadilan

Korban penembakan teroris di Selandia Baru dievakuasi. (TV New Zealand/AFP)
Tindakan biadab Tarrant, yang tak mengenal prikemanusian, membuat kaget sejumlah orang yang mengaku kenal dengannya.
Sebanyak 49 orang tewas akibat serangan membabibuta Tarrant dan senjata laras panjangnya.
Mengutip Kompas.com, perdebatan mengenai adanya hubungan antara game dan film bertema kekerasan dengan sifat agresif dalam kehidupan nyata telah cukup lama berlangsung.

Brenton Tarrant, pria biadab yang melakukan aksi penembakan brutal para jamaah Salat Jumat di Selandia Baru. (heavy.com)
Baca: Teroris Bantai Jamaah Shalat di Masjid Selandia Baru, Tragedi Pembunuhan Massal Terburuk sejak 1943
Baca: Usut dan Tangkap Penyiksa Hope, Orangutan Sumatera dengan 74 Peluru Senapan Bersarang di Tubuhnya
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan, bahwa orang-orang yang bermain video game kekerasan dapat menjadi lebih peka terhadap kekerasan, menjadi lebih agresif, dan menunjukkan tingkat empati yang lebih rendah.
Tetapi, tim peneliti di Jerman mengatakan, dalam jangka panjang, game atau film bertema kekerasan dengan perilaku agresif tidak ada hubungannya.
Namun, dalam jangka pendek kemungkinan ada.
Dr Gregor Szycik, dari Hanover Medical School, mengatakan, "Kami berharap bahwa studi ini akan mendorong kelompok penelitian lain untuk memusatkan perhatian pada efek jangka panjang yang mungkin timbul dari video gameterhadap perilaku manusia."
Timnya meneliti sekelompok pemain laki-laki dewasa, karena bermain gamekekerasan dan perilaku agresif kerap lebih menonjol pada pria, kata para peneliti.
Baca: Romahurmuziy Terakhir Lapor Harta 9 Tahun Lalu, Jumlah Kekayaannya 11,8 Miliar
Semua peserta telah memainkan shooter video game, termasuk Call Of Dutyatau Counterstrike untuk setidaknya dua jam sehari selama empat tahun terakhir, meski waktu bermain rata-rata adalah empat jam setiap hari.
Peneliti lalu membandingkan prilaku gamer dengan kelompok yang tidak memiliki pengalaman video game kekerasan, dan yang tidak bermain gamesecara teratur.
Untuk menguji kemampuan gamer dalam hal empati dan agresi, para peneliti melakukan kuesioner psikologis.
Kemudian, saat menjalani scan MRI, para gamer ditunjukkan serangkaian gambar yang dirancang untuk memancing berbagai tanggapan emosional.
Menggunakan scanner MRI pula, para peneliti mampu mengukur bagian-bagian tertentu dari otak, untuk membandingkan aktivitas dan tanggapan dari gamer dan non-gamer.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara dua kelompok, keduanya menunjukkan respon otak mirip dengan gambar.
Dr Szycik mengatakan timnya terkejut dengan temuan mereka, yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Psychology.
Dia mengatakan mereka menunjukkan bahwa efek negatif dari video game kekerasan pada perilaku, hanya bersifat jangka pendek. Tapi, ia menambahkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan.
Hanya saja Dr Szycik menambahkan, penelitian ini dilakukan pada laki-laki dewasa, bukan pada anak-anak. Sehingga, baiknya orangtua mencegah anak-anak bermain game kekerasan jenis apapun, hingga usia mereka dewasa atau di atas 18 tahun.
Pasalnya, efek jangka pendek dari game kekerasan sangat mungkin ada. Dan anak-anak lebih mudah menyerap apa yang mereka dapatkan dan berisiko memiliki dampak hingga jangka panjang. (TribunStyle.com/*)
Artikel ini telah tayang di Tribunstyle.com dengan judul Benarkah Penembakan Brutal Brenton Tarrant di Selandia Baru Terpicu Game Kekerasan? Ini Jawabannya