Sofyan Djalil: Penting Sekali Memilih Pemimpin yang Tepat

Sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang merangkap Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan kini satu-satunya putra Aceh

Editor: bakri
kontan.co.id
Sofyan Djalil 

PENGANTAR: Dalam seminggu terakhir, Dr Sofyan A Djalil MA, MALD berwara-wiri di Aceh. Banyak sekali agendanya. Mulai dari kuliah umum, menyerahkan surat keputusan adendum lahan untuk pembangunan Kampus II Unsyiah, berkunjung ke sejumlah pesantren, menyerahkan sertifikat tanah kepada warga, hingga berkunjung ke Pelabuhan Langsa yang ditingkatkan statusnya sebagai pelabuhan internasional.

Sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang merangkap Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan kini satu-satunya putra Aceh yang ada di Kabinet Kerja, Jokowi. Pria kelahiran Aceh Timur, 23 September 1953 ini pun pernah diajak Presiden SBY bergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu I. Mungkin Sofyan satu-satunya putra Indonesia pasca-Orde Lama yang menjabat menteri hingga lima kali. Doktor jebolan Tufts University, AS, ini punya multitalenta. Di tengah kesibukannya di Banda Aceh, Yarmen Dinamika dari Serambi Indonesia mewawancarai suami Dr Ratna Megawangi ini di kamar hotel tempatnya menginap, Minggu (7/4) pagi. Berikut petikannya.

Sepajang karier Anda sudah berapa kali menjadi menteri?
Bagi saya, ini menteri yang kelima. Dimulai dari Menteri Kominfo tahun 2004 sampai 2007. Kemudian Menteri BUMN 2007-2009. Kabinet SBY Kedua saya keluar, saya tidak diajak lagi, dan kembali ke dunia saya sebagai profesional. Background saya adalah seorang profesional. Jadi, saya kembali menjadi advisor, komisaris, dan macam-macamlah.

Kemudian, tahun 2014 saya diajak oleh Pak Jokowi. Pertama sebagai Menko Perekonomian, kemudian dipindahkan ke Bappenas, dan sejak 2017 hingga sekarang ditugaskan jadi Menteri Agraria dan Tata Ruang. Saya suka bercanda, kalau reshuffle kabinet sekali lagi mungkin saya akan menjadi Menteri Urusan Wanita Muda. Hahaha.

Mungkin Anda satu-satunya orang Indonesia yang paling sering jadi menteri?
Pada era Perdana Menteri dulu yang kabinetnya sebentar-bentar berganti mungkin ada orang yang jadi menteri hingga lima kali. Tapi setelah era itu, teman-teman sering bilang sayalah menteri yang paling banyak gonta-ganti portofolio.

Apa yang bisa Anda petik dari pengalaman semajemuk itu?
Pelajaran yang pertama, Indonesia ini sangat luar biasa. Negeri yang begini kondusif, sangat menghargai kompetensi dan profesionalisme. Tidak pernah orang didiskriminasi apa pun alasannya, baik karena suku maupun agama. Dan sampai hari ini orang tidak pernah bertanya kepada saya: Siapa kamu dan dari mana kamu. Paling-paling orang hanya bertanya apa kompetensi kamu. Itulah yang saya alami di dunia swasta maupun di sektor pemerintah. Jadi, on and off karier saya dari swasta dan pemerintah.

Anda mulai karier dari mana?
Saya mulai karier sebagai peneliti di Center for Policy and Implementation Studies (CPIS), kemudian lanjut kuliah S2 hingga S3 di Amerika, pulangnya jadi dosen di UI, di Unpad, dan di PPM (Pusat Pengembangan Manajemen -red). Pernah juga ngajar di Universitas Tanjungpura. Kalau istilahnya ya ngamen-lah, baik di negeri maupun swasta. Tapi semuanya sebagai peneliti dan saya tidak pernah menjadi dosen tetap. Hanya dosen luar biasa.

Anda pernah menjadi Vice President Bursa Efek Jakarta kan?
Ya, pernah. Itu setelah saya keluar dari CPIS tahun 1998. Saat insiden bakar-bakar Jakarta atau Krisis ’98 itu saya sedang menjabat Vice President Bursa Efek Jakarta. Pak Harto masih berkuasa saat itu. Setelah Reformasi, saya ditarik oleh Pak Menteri Tanri Abeng sebagai Asisten Menteri BUMN tahun 1998. Saya di sana hampir dua tahun. Kemudian, ganti pemerintah saya kembali ke swasta lagi.

Berarti, karier pertama Anda di pemerintahan sebagai Asmen itu kan?
Ya, sebagai Asmen Bidang Komunikasi dan Pengembangan SDM. Waktu itu kan baru reformasi. Demo hampir tiap hari. Pemerintah jadi sasaran kritik. Jadi,

peran komunikasi pemerintah menjadi sangat penting. Kemudian, Gus Dur jadi presiden, saya tak diajak lagi. Saya kembali ke swasta, bikin perusahaan sendiri, jasa konsultan. Tahun 2004 saya diajak lagi oleh Pak JK untuk terlibat dalam proses politik 2004, kemudian menjadi Menteri Kominfo. Itu awalnya.

Apa prinsip hidup Anda dalam memimpin setiap kementerian?
Saya punya prinsip dalam hidup ini menciptakan nilai tambah (create added value) di mana pun saya berada, dalam posisi apa pun.

Apa puncak-puncak prestasi yang Anda capai selama di kementerian?
Saat di Kominfo itu reformasi yang kami lakukan adalah tentang sistem perizinan frekuensi yang menjadi sangat transparan dan kompetitif. Sebelumnya, frekuensi itu diberikan kepada siapa saja. Siapa dekat, dia yang dapat. Saat itu, nilai frekuensi ketika alokasi pertama praktis tidak bayar uang apa pun ke negara. Baru ada income setelah saya berlakukan sistem tender frekuensi. Sistem ini kemudian menjadi model bukan saja di Indonesia, tapi juga di beberapa negara berkembang bahwa sistem tender frekuensi itu kini sudah merupakan rule.

Nah, sekarang setelah sistem tender frekuensi diberlakukan negara mendapatkan banyak sekali pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sewa frekuensi, baik untuk kepentingan komunikasi, kepentingan televisi, radio, maupun untuk private, misalnya untuk komunikasi kereta api. Alhamdulillah, saat ini semua urusan perizinan frekuensi di Kementerian Kominfo urusan perizinan frekuensi semua berbasis internet dan pelayanannya sangat cepat. Pendeknya, sudah sangat kurang pihak yang mengurus frekuensi bertemu dengan orang-orang di kementerian.

Saat jadi Menteri BUMN, apa prestasi Anda?
Saat menjadi Menteri BUMN, karena saya pernah menjadi Asisten Menteri BUMN jadi saya sudah tahu persoalan BUMN secara garis besar. Saya punya prinsip dan keyakinan bahwa BUMN bisa sebaik perusahaan baik pun asal terpenuhi dua syarat.

Apa saja syaratnya?
Syarat pertama adalah harus kita tempatkan the best manager, profesional terbaik, untuk mengelola BUMN. Terus yang kedua, hindari intervensi politik.Sebab, distorsi terbanyak di BUMN adalah intervensi politik. Maka selama saya menjadi menteri saya betul-betul jaga dua hal tersebut.

Kita cari orang-orang terbaik di pasar untuk menjadi direksi, menjadi direktur BUMN tergantung apa tantangan yang dihadapi BUMN. Pendeknya, jangan sampai terjadi distorsi karena tidak kompetensinya manajemen dan yang kedua agar profesional itu nyaman bekerja, maka saya harus mencegah manajemen BUMN dari intervensi politik. Nah, saya merasa sudah meninggalkan beberapa legacy di BUMN.

Apa di antara legacy itu?
Di antaranya saya menemukan Jonan untuk kita tunjuk membereskan PT Keretapi. Jonan itu mantan bankir, tapi orangnya tegas dan sangat dedicated. Dia berbenah dengan cepat. Alhasil, kalau dulu di kereta api ramai orang yang naik ke atas atap, tapi kini alhamdulillah kereta api kita sudah tertib, sudah standar internasionallah.

Kemudian, saya menemukan RJ Lino, orang Ambon, untuk membereskan Pelindo II, dan itu pun menjadi standar sekarang, meskipun di ujung kariernya dia itu jadi korban... Kita juga lakukan restrukturisasi Garuda dan Perusahaan Gas Negara (PGN). Intinya pada masa saya itu adalah kita menarik sebanyak-banyaknya orang profesional dari pasar untuk menjadi eksekutif di BUMN. Banyak kali perubahan yang terjadi pada saat itu, terutama dalam perubahan kultur kerja yang diapresiasi banyak pihak.

Anda pernah jadi menteri di masa SBY maupun Jokowi. Apa beda utama gaya kepemimpinan mereka?
Hahaha, nggak enak saya bikin bandingan terhadap mantan atasan dan atasan saya saat ini. Cuma satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa kita di negeri ini terlalu banyak pekerjaan itu seperti silo-silo, di dalam kotak-kotak. Sektoral. Kementerian Perdagangan sendiri, Kementerian Perindustrian sendiri. Banyak sekali pekerjaan antarkementerian. Itulah yang perlu dikoordinasi oleh Menko Perekonomian, seperti pernah saya lakukan saat satu tahun menjadi Menko. Jadi, ini persoalan yang paling mendasar dalam pola manajemen pemerintah. Pada setiap lini itu ada silo-silo, terkotak-kotak. Nah, silo-silo itu menyebabkan banyak keputusan menjadi lamban sekali eksekusinya dan banyak investasi yang tidak optimum.

Apa contohnya?
Misalnya,yang bikin waduk PU, yang cetak sawah Kementerian Pertanian. Nanti kadang-kadang realitasnya waduk di mana, sawahnya di mana? Tidak sinkron. Contoh lain, yang bikin pelabuhan pihak Perhubungan, yang bikin jalan PU. Pelabuhan jadi, jalan juga jadi. Tapi pelabuhan dengan jalan tidak nyambung. Itu akibat dari silo, karena egosektoral. Silo-silo itu adalah musuh dari manajemen di semua lini. Nah, pemerintah sekarang, Pak Jokowi, sudah mengidentifikasi semua itu. Jadi, kalau Pak Jokowi terpilih lagi akan ada reformasi birokrasi yang luar biasa substansial.

Saat di Bappenas, apa prestasi terpenting Anda?
Waktu saya di Bappenas, kita menyusun APBN 2017 dengan pendekata baru, yakni pendekatan holistic, integrative, thematic, dan spacial (HITS). Jadi, kalau misalnya mencetak sawah haruslah yang ada irigasinya dan alokasi dana harus diplot untuk waduk, irigasi primer, dan sekunder sehingga terintegasi. Dengan demikian, akan mengurangi dampak dari silo tadi. Dan itu menjadi model alokasi anggaran pada tahun 2017 dan seterusnya. Sekarang sudah mengikuti pola tersebut.

Jadi memang akhirnya ini bagian dari reformasi birokrasi yang terus menjadi concern di berbagai belahan dunia. Kalau di Indonesia, Pak Jokowi sangat mengerti tentang ini. Beliau pernah jadi wali kota, jadi gubernur, dan sekarang presiden. Pak Jokowi juga sangat yakin negara kita akan menjadi negara maju asalkan kita benahi bersama tiga hal.

Apa saja itu?
Yang pertama, kita bereskan infrastruktur. Semua infrastuktur kita sangat costly sekarang ini. Biaya logistiknya 24 persen. Begitu mahal. Terus yang kedua, tingkatkan kualitas SDM. SDM kita potensi besar kan? Tapi kalau mereka tak punya skills. Kemudian benahi sistem pendidikan dan alokasi budget walaupun alokasi budget tidak menjamin kualitas SDM. Yang ketiga adalah kelembagaan, apakah kelembagaan pendidikan, birokrasi, dan kelembagaan dalam arti yang luas. Nah, kalau tiga hal ini bisa kita bereskan maka Indonesia insyaallah akan menjadi negara yang besar. Pak Jokowi punya keyakinan seperti itu.

Setahu Anda, seperti apa cara pandang Pak Jokowi terhadap nasib bangsa ini?
Beliau sering katakan, negara yang akan memenangkan kompetisi di era global bukanlah negara besar atau negara kecil, juga bukan negara yang kaya resource atau yang miskin resource, tapi lebih kepada negara cepatlah yang akan lebih maju dibandingkan dengan negara lamban.

‘Negara cepat’ yang dimaksud, dalam hal apa konkretnya?
Ya, cepat tanggap merespons perkembangan zaman. Iklim investasi kita perbaiki, karena dunia sekarang bersaing betul antara satu dengan yang lain. Kalau kita lihat, misalnya mengapa investasi di suatu daerah tidak berkembang, itu salah satu sebab masalahnya. Kenapa daerah lain berkembang sekali. Misalnya saja Banyuwangi. Dulu hampir tak pernah kita dengar nama ini. Tapi begitu ada Bupati Azwar Anas yang kreatif, eh, Banyuwangi menjadi pembicaraan semua orang. Begitu juga Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan. Who knows Bantaeng? Bupatinya hebat, Nurdin Abdullah, profesor dari Unhas. Dia sangat kreatif dan Bantaeng begitu terkenal. Masyarakat suka dia dan mengapresiasinya sehingga ia terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Selatan.

Solo juga punya cerita, mengapa Pak Jokowi menonjol sekali menjadi wali kota? Ya karena itu, warga mengapresiasi dan beliau kemudian terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Jadi, kuncinya adalah kreativitas. Added value yang harus kita ciptakan setiap saat. Di Aceh pun dulu ada wali kota yang sekreatif ini, yakni Mawardy Nurdin. Banyak yang dia reform. Oleh sebab itu, leader makes a different. Maka dalam konteks negara, penting sekali kita memilih pemimpin yang tepat.

Kalau salah memilih, apa implikasinya?
Kalau kita salah memilih pemimpin, maka itu bisa merupakan loss period. Nah, sekarang ini banyak sekali kota-kota dan kabupaten yang bersaing satu sama lain di bawah kepemimpinan kepala daerah yang kreatif. Oleh sebab itu saya yakin, dan sejarah menujukkan, leader makes a difference. Mengapa ini penting, konteksnya adalah dalam pemilihan presiden nanti. Orang cerdas akan memilih pemimpin yang sudah punya track record. Dan track record yang kita yakini bahwa orang ini… jangan coba-cobalah gitu ya, karena terlalu besar cost-nya bagi bangsa ini.

Jadi, leadership ya kunci suksesnya?
Ya, leadership itulah yang paling penting, supaya kendala-kendala itu bisa diatasi. Jadi, kembali lagi kepada yang tadi saya katakan bahwa leader makes a difference. Kreativitas leader, kemampuan persuasif di semua lini dan di semua institusi. Apa pun, kalau leader-nya bagus ya akan berhasil. Contohnya Jonan, kok bisa kereta api dibereskan, ya itu karena dirutnya yang bener gitu lho. Itu cuma satu contoh kecil. Banyuwangi tadi sudah kita sebut. Dan banyak lagi sekarang nih daerah-daerah yang menonjol sekali. Jokowi, waktu dia Wali Kota Solo, itu berarti dirutnya yang bener gitu lho. Kota yang no where tiba-tiba menjadi kota yang menonjol. Kemudian, masyarakat Indonesia di mana pun sekarang masih mengapresiasi prestasi. Di mana pun masyarakat modern masih mengapresiasi prestasi. Ini juga yang bisa menjelaskan mengapa Erdogan bisa jadi Presiden Turki.

Apa tanggapan Anda tentang pilpres kali ini?
Kembali ke konteks pilpres kali ini saya pikir ya ada istilah orang pajak bahwa orang bijak bayar pajak. Nah, dalam konteks ini saya mau bilang: orang bijak pilihlah pimpinan yang benar. Sebab, pemimpin itu adalah megadifference. Jangan kemudian coba-coba, iya kan? Apalagi, misalnya memilih orang-orang yang track record dan pengalamannya itu bisa menjadi indikasi bahwa dia akan menjadi pemimpin yang berhasil atau sebaliknya.

Anda punya catatan khusus tentang kepemimpinan Jokowi?
Sekarang saya ingin cerita tentang leadership Pak Jokowi. Nah, Jokowi ini sangat decisive, berani membuat keputusan karena dia yakin keputusan yang salah lebih baik daripada tidak bikin keputusan. Keputusan yang salah bisa kita koreksi. Tapi kalau tidak keputusan kita tidak pernah tahu ada masalah. Terus kemudian, orangnya sangat tegas. Yang namanya presiden harusnya ya begitu. Seharusnya gubernur pun begitu. Lalu, pilih pembantu yang bagus dan kompeten, berikan tugas. Waktu saya jadi Menteri Agraria, Pak Jokowi tanya ke saya: Pak Sofyan berapa selama ini sertifikat siap satu tahun? Saya jawab 500.000-800.000. ‘Saya ingin 5 juta. Saya nggak tahu bagaimana caranya. Dan itu bukan tugas saya, itu tugas menteri,’ kata Pak Jokowi.

Iya, tugas menteri memang untuk menyelesaikan masalah. Berhasil 5 juta sertifikat, dia minta lagi 7 juta. Target dinaikkan dan target itu dia awasi.

Apa komentar Anda tentang blusukan Jokowi?
Jokowi itu juga grounded, membumi. Pergi ke lapangan, itu blusukan. Itu dia lakukan untuk melihat langsung permasalahan sekaligus untuk menghindari laporan ABS. Dia pernah pergi ke perbatasan. Dia cek pos pelintas batas. Dia datang ke perbatasan Malaysia, perbatasan Papua Nugini, dan perbatasan Timor Leste. Dia complain, pos perbatasan kita kok begini jelek? Setelah itu dia perintahkan perbaiki. Tak perlu biaya banyak kok. Sekarang, setelah dipermak, pos perbatasan itu menjadi kebanggaan WNI. Dan orang-orang dari negara tetangga begitu lihat, wow… pos perbatasan Indonesia. Kalau dulu orang kita foto-foto di pos perbatasan Malaysia, sekarang malah sebaliknya. Bagaimanapun itu kan citra, itu kan wajah bangsa kita.

Selain itu, dalam mengambil keputusan Pak Jokowi itu cepat. Itu contohnya, kereta MRT, subway yang baru diresmikan kemarin, itu sudah direncanakan 27 tahun yang lalu. Tidak ada keputusan. Gubernur silih berganti. Saat Jokowi jadi Gubernur DKI dia putuskan. Alhamduliillah, sekarang sudah berjalan.

Jalan tol juga dibangun cepat di masa Pak Jokowi. Kita membangun jalan tol itu sejak 1977. Progresnya lamban. Sampai Pak Jokowi terpilih jalan tol kita hanya 700 kilometer. Setelah Pak Jokowi jadi presiden, panjang jalan tol kita meningkat pesan. Diperkirakan, sampai akhir masa jabatan Pak Jokowi nanti, jalan tol kita bisa mencapai 2.000-an kilometer.

Tadi Anda sebut Jokowi suka blusukan. Sebagian orang justru mengklaim itu justru pencitraan. Bagaimana sebetulnya?
Oh tidak. Itu bukan pencitraan. Kalau untuk pencitraan ngapain setiap hari blusukan? Dia kan datang ke Aceh, ke Papua misalnya, ya ke mana-mana. Kemudian Pak Jokowi itu masuk ke got untuk melihat langsung apa masalah di sana. Ada prinsip seeing is believing, kita lihat kita percaya. Pak Jokowi menerapkan prinsip itu sehingga ia perlu blusukan. Blusukan itu kan untuk mencegah birokrasi yang suka bikin laporan ABS. Untuk diketahui, blusukan itu capek lo. Pergi ke pematang sawah, ke hutan, di bawah terik matahari. Jadi, kalau hanya sesekali mungkin juga blusukan itu untuk pencitraan. Tapi kalau sudah terus-terusan itu sudah menjadi pola kerja sebetulnya.

Saya punya keyakinan, kalau Jokowi terpilih kembali, maka dalam empat tahun ke depan standar pengelolaan pemerintahan di Indonesia akan sangat meningkat. Logikanya begini, saat dia jadi wali kota standar kerja untuk pelayanan publik sudah dia tingkatkan. Kemudian lebih meningkat lagi standarnya saat dia jadi Gubernur DKI Jakarta. Nah, saat jadi presiden otomatis lebih meningkat kan? Mudah-mudahan, untuk lima tahun ke depan masalah infrastruktur akan tetap merupakan tema sentral, karena infrastruktur di negera kita selama ini sangat rendah.

Dalam pidato Anda sering menyebut Jokowi punya emotional connection dengan Aceh. Apa artinya ini?
Pak Jokowi itu begitu selesai sarjana di UGM, langsung ditugaskan ke Aceh. Pernah tinggal sekitar enam bulan di Lhokseumawe, kemudian dipindahkan ke Bener Meriah. Jadi, etos kerja yang dia pupuk di bangku kuliah, pertama kali diterapkan itu di Aceh. Dalam bahasa Pak Jokowi sendiri sering dia kata, ‘Saya banyak sekali belajar di Aceh. Belajar tentang masalah keberagamaan, belajar tentang kultur yang berbeda, toleransi.’ Kemudian, dia mendapatkan ustaz dan kiai di Aceh, tradisi yang berbeda, bahkan punya orang tua angkat di Bener Meriah. Jadi, totalnya tiga tahunlah Pak Jokowi tinggal di Aceh. Nah, kalau kita pernah tinggal di suatu tempat kita pastilah punya ikatan emosional dan punya kesan tertentu. Dan kesan dia tentang Aceh itu bagus, sehingga beliau sering katakan, ‘Sebagian kehidupan saya ini adalah Aceh’.

Apa dampak positifnya bagi Aceh?
Oleh karenanya, komitmen beliau tentang Aceh ini bagian dari komitmen keindonesiaan beliau. Karena dia tahu keterbatasan infrastruktur di Aceh, kemudian dia rasakan juga bagaimana sulitnya perjalanan dari Bener Meriah ke Lhokseumawe. Pada saat itu juga sudah mulai terjadi konflik. Nah, akumulasi dari semua itu membentuk semacam sense pada diri Pak Jokowi. Seeing is believing, kata orang Inggris. Melihat, memercayai. Kemudian, mengalami maka akan mempunyai impact tertentu. Oleh sebab itu, beliau punya komitmen tersendiri sehingga saat bertemu dengan para bupati/wali kota se-Aceh, Pak Jokowi bilang: Kalau saya kalah di daerah lain saya bisa mengerti. Tapi kalau saya kalah di Aceh, saya sedih. Nah, mungkin itu persoalan feeling ya, soal perasaan.

Jadi, itu yang menyebabkan, waktu misalnya, tentang DOKA, secara terbuka beberapa kali Presiden menyatakan lanjutan DOKA itu akan dia perjuangkan. Kenapa? Karena, Aceh barangkali masih membutuhkan dana tersebut sebagai bagian dari skema perdamaian atau untuk mendukung pembangunan infrastruktur Aceh yang begitu tertinggal dan terlupakan akibat konflik. Jadi, perlu ada extra effort (usaha ekstra). Dana itu untuk mem-push, walaupun kita tahu bahwa uang itu bukan segalanya. Kreativitas dan leadership di daerah ini menjadi sangat penting. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved