FEATURE: Destinasi Kemanusiaan Menuju Kawah Ijen
Setelah beristirahat dan merasa kuat lagi, saya memutuskan untuk mendaki meninggalkan pos 6
Penulis: Muhammad Hadi | Editor: Muhammad Hadi
Medan pendakian terasa sangat berat dan melelahkan sebagai perjuangan akhir mencapai Kawah Ijen. Perlahan lahan mendaki dan berhenti dibeberapa titik saat kelelahan seperti wisatawan lain. Tawaran naik tropi masih disampaikan Mistari dan Susiono.
“Naiklah mas, kami ngak enak juga ini,” ujar Mistari yang diamini Susiono. Saya tetap bersikukuh menolak. “Kalau naik troli, justru saya yang ngak enak, Bang,” ujar saya yang tetap menolak.
Perjuangan melelahkan itu akhirnya terbayar ketika pada Pukul 04.45 WIB sampai Kawah Ijen. Waktu normal yang dibutuhkan mendaki antara 3-4 jam dan bisa lebih bila banyak berhenti, seperti saya dan rekan lainnya.
Baca: Sama-sama di Makkah Saat Masa Tenang, Ini Perbedaan Umrah Jokowi dan Sandiaga Uno di Tanah Suci

Saya memilih menuju lokasi shalat subuh di sebelah kiri dalam kondisi diterpa angin berhawa dingin. Para wisatawan lain terlihat mengabadikan momen indah itu dan sebagian lagi menuju ke dasar Kawah Ijen melihat penambang belerang.
Setelah shalat Subuh, saya berjalan-jalan sambil memotret dan mengambil video lokasi sekitar yang sangat menakjubkan. Bahkan saya mencabut keinginan untuk tak naik lagi di lain waktu setelah merasakan sensasi di Kawah Ijen.
Bila wisatawan asyik berfoto di sana sini. Para penarik troli terlihat ikut bahagia setelah perjuangan keras semalaman, meski pekerjaan belum selesai. Karena harus membawa wisatawan untuk turun dengan troli.
Sebagian penarik troli beristirahat sambil tidur di atas trolinya dengan selimut menututup tubuhnya.
Ada juga orang-orang yang mengangkut belerang dari dasar Kawah Ijen melewati wisatawan sampai di atas di lokasi yang luasnya 5.446 hektare.
Sesekali diajak foto meski belerang masih di atas bahu yang berat 70 hingga 100 Kg.
Setelah mengangkut belerang dari kedalaman 200 meter untuk dinaikkan ke atas. Baru kemudian menurunkan lagi ke bawah dengan troli hingga sampai kepada pembeli.
Mistari dan Susiono mengaku tak ada pilihan pekerjaan lain bagi mereka selain menarik tropi atau mengangkut belerang. Ia harus mencari nafkah untuk istri dan tiga anaknya yang masih kelas 6 SD, kelas 5 dan kelas 3.
Dia mengaku kadang dapat menarik troli dan lain waktu kosong. Biasanya diakhir pekan sering dapat pelanggan.
Baca: Ustadz Abdul Somad Difitnah Terima Rumah dari Prabowo, Sahabatnya di Aceh Ungkap Sosok UAS

Semalam kadang mereka bisa mengantongi uang Rp 200 ribu per orang untuk sekali membawa wisatawan. Harga sewa satu troli untuk wisatawan berwariasi, ada yang Rp 600.000 hingga Rp 800 ribu.
“Kadang dapat tamu, kadang ngak. Biasa Sabtu Minggu dapat, malam lain jarang. Kalau udah dapat ya sangat senang. Karena ada harapan untuk dibawa pulang ke anak istri. Kalau ngak dapat ya pulang ke rumah tanpa bawa apa-apa. Ya mau gimana lagi, mas, kerja yang lain juga ngak ada. Kalau kata orang Jawa, kerja kami ini seperti kalong (kelelawar), kerja malam hari. Tapi mau gimana lagi mas,” ujar Mistari yang dibenarkan Susiono.
Sebagai orang setempat, Mistari sudah 10 tahun mencari rezeki di Kawah Ijen dan empat tahun belakangan menarik troli. Sebelumnya mengangkut belerang dari Kawah Ijen untuk dijual ke pengempul.