Peunayong Tengah Sumringah
Peunayong mulai bersolek. Sejak diluncurkan setahun lalu, wajah Peunayong kini berganti rupa dari 'kota tua' yang identik kumuh, kini tampil berseri
Penulis: Nurul Hayati | Editor: Jalimin
Namun itu tak lantas membuat mereka hengkang dan mencari tanah baru. Di Tanah Rencong ini mereka mengenal dunia, di tanah ini pula mereka kelak ingin meninggalkan dunia.
Untuk pertama kalinya juga sepanjang sejarah Indonesia yang menapaki usia ke-69, kaum muda turunan ini beramai-ramai mengikuti lomba panjat pinang. Sebuah permainan rakyat yang ditinjau dari 'kacamata' Tionghoa sangat tidak ekonomis. Namun nilai kebersamaan di dalamnya, ampuh menjadi mantra yang melunturkan perbedaan.
Demikian juga pada perayaan hari besar. Tatkala barongsai ala negeri ‘tirai bambu’ tampil ciamik dengan tabuhan gendang dan rapa'i geleng yang merupakan khazanah budaya Aceh.
Mimpi Aky adalah mimpi warga Tionghoa lainnya, yang secara turun temurun mendiami Peunayong. Kehadiran mereka memberi arti toleransi. Selain tentu saja menjadi warna tersendiri. Layaknya melihat Indonesia mini yang hidup damai dalam keberagaman.
Seperti pemandangan yang terlihat di Pasar Peunayong. Gapura bertuliskan 'Peunayong Gampong Keberagaman' dengan aksen huruf kanji menyambut pengunjung. Juga menggunakan latar merah dengan tulisan berwarna kuning. Sepanjang selasar, lampion-lampion berwarna merah menyala bergelantungan.
Warna yang dalam budaya etnis Tionghoa dipercaya membawa keberuntungan. Aktivitas pasar Peunayong berdenyut sejak subuh, oleh warga lokal yang menjual aneka kebutuhan dapur.
"Kami menjual makanan halal karena kalau makanan halal bisa dimakan untuk semua. Mi nya kami olah sendiri dengan tetap menjaga kualitas rasa," ujar pemilik salah satu usaha kuliner legendaris, Warkop Jaya, Acin.
Ia mulai berjualan aneka olahan mi pangsit sejak 1982. Melanjutkan usaha keluarga yang diwariskan secara turun temurun. Warung sederhananya itu diminati masyarakat muslim, pun wisatawan yang datang melancong. Acin sendiri mengaku, dengan senang hati memoles warkop miliknya dengan sentuhan cat warna baru. Namun, Acin mengungkapkan, bagi mereka yang hanya menyewa toko, hal itu terasa memberatkan.
Usaha keluarga Acin telah melewati tiga generasi. Hal ini bisa terlihat dari bangunan warkop yang tetap mempertahankan arsitektur lama bergaya era kolonial. Sebut saja model pintu, ventilasi udara, meja, plafon, hingga plang nama warkop.
Pemandangan serupa juga terlihat di dertan ruko sepanjang Jalan A Yani dan WR Supratman. Serta bangungan-banguan tua yang telah dipoles di sepanjang gang-gang di dalam kawasan tersebut. Tampil dalam wajah baru tanpa menanggalkan jatidiri. (nurul hayati)