Pembangunan Aceh Tak Capai Target
Realisasi pembangunan Aceh pada tahun kedua pemerintahan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah
Untuk bidang perencanaan juga demikian. Rustam menyebut, persentase antara realisasi dengan target yang ditetapkan dalam RPJMA sebesar 100 persen, ternyata realisasinya banyak yang meleset. Hal ini juga berarti bahwa penetapan target pembangunan dalam RPJMA banyak yang tidak realistis, tanpa dasar yang jelas, dan tidak akurat.
Ada beberapa penyebab mengapa pembangunan di Aceh tak mencapai target. Salah satunya dia sebutkan, karena pengesahan anggaran tahun 2018 terlambat, sehingga legalitas anggaran berupa peraturan gubernur (Pergub). Daya serap anggaran, khususnya untuk belanja langsung atau belanja pembangunan juga tidak optimal, banyak yang tersisa.
Selain itu, kualitas anggaran untuk belanja langsung sangat buruk, karena banyak dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang kurang mendukung aktivitas sektor riil, seperti program pelayanan administrasi perkantoran dan pengadaan prasarana dan sarana aparatur. Hal ini terjadi di hampir semua SKPA.
“Penyebab selanjutnya karena Pemerintah Aceh kurang fokus, tidak tahu apa yang mau dituju,” demikian Rustam Effendi.
Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani (SAG) yang dikonfirmasi Serambi, Senin (15/7) mengatakan, meski pembangunan Aceh belum mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2017-2022, tapi sudah on the track ke arah yang positif.
Bahkan, jika dibandingkan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional, ekonomi Aceh empat kali lebih tinggi.
“Pertumbuhan ekonomi Aceh naik dari 4,19% di awal periode pemerintahan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah menjadi 4,61% pada tahun 2018,” ungkapnya.
Saifullah menjelaskan, ekonomi nasional hanya tumbuh 0,1 poin, dari 5,07% pada tahun 2017 menjadi 5,17% tahun 2018. Sedangkan ekonomi Aceh tumbuh lebih cepat 0,42 poin, dari 4,19% tahun 2017 menjadi 4,61% pada tahun 2018.
“Jika tren ekonomi ini terus berlangsung, pertumbuhan ekonomi Aceh akan setara, bahkan bisa melebihi pertumbuhan ekonomi nasional,” tambah Saifullah membandingkan data.
Kendati pertumbuhan ekonomi Aceh di atas nasional, dia mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh tidak sesuai target RPJMA. Lambannya laju gerak ekonomi Aceh, menurutnya, karena terjadi defisit perdagangan Aceh yang signifikan.
“Penyebab utama pertumbuhan ekonomi Aceh di bawah target RPJM, karena defisit perdagangan Aceh yang signifikan dan melambatnya pertumbuhan sektor pariwisata akibat melambungnya harga tiket pesawat udara dari dan ke Aceh,” imbuh dia.
Padahal di sisi lain, lanjutnya, sektor industri pengolahan dan pertambangan yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu negatif, ternyata pada tahun 2018 laju pertumbuhannya positif dan sangat signifikan.
Karena itu, menurut Saifullah, kebijakan ekonomi Aceh ke depan adalah hilirisasi komoditas dan peningkatan daya saing produk unggulan. Hilirisasi komoditas untuk menambah nilai dari komoditas unggulan Aceh, dan memproduksi kebutuhan masyarakat Aceh—yang selama ini didatangkan dari luar Aceh—sehingga dapat mengurangi defisit perdagangan.
“Selain itu, hilirisasi komoditas dan peningkatan daya saing produk akan meningkatkan nilai dan volume ekspor, karena komoditas ekspor itu nilainya menjadi lebih tinggi,” tukas Jubir Pemerintah Aceh Saifullah ini.
Selain itu, Saifullah juga menjelaskan mengenai data “2 Tahun Jejak Aceh Hebat” yang ditampilkan pada sejumlah baliho milik Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang tidak lengkap seperti data target RPJM A.