Polisi Tolak Tangguhkan Penahanan Tersangka
Polres Lhokseumawe menolak penangguhan penahanan terhadap oknum pimpinan dan seorang guru ngaji
Soal alasan pihaknya mengajukan penangguhan penahanan, Armia menyebutkan, mengajukan dan mendapatkan penangguhan penahanan adalah hak setiap tersangka, pihaknya juga ingin menunjukkan tersangka komit untuk kooperatif mengikuti proses hukum. Dikatakan, pihaknya juga perlu mengklarifikasi bahwa oknum pimpinan pesantren itu pertama kali hadir sebagai saksi. Setelah diperiksa langsung ditetapkan sebagai tersangka dan esoknya ditahan. “Jadi, bukan ditangkap dalam tanda kutip,” tulis Armia.
Sementara oknum guru mengaji hadir pada 4 Juli 2019 untuk diperiksa sebagai saksi. Selesai diperiksa, ia dibolehkan pulang. “Namun kita kaget, tiba-tiba pada tanggal 8 Juli 2019, guru ngaji itu ditangkap di rumahnya sesaat setelah shalat Zuhur. Padahal, tidak ditangkap pun dia pasti akan hadir bila dipanggil,” lanjutnya.
Alasan lain, tambah Armia, pihaknya keberatan dengan isu-isu liar atau komentar-komentar tak berdasar yang terkesan seolah-olah kedua tersangka itu seperti monster, predator, dan sebagainya. Justru, sebenarnya kedua tersangka jauh dari kesan tersebut. Karena itu, tambah Armia, pihaknya yakin untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan. “Soal pokok perkara, nanti akan kita uji dalam sidang yang fair,” demikian Armia.
Tawarkan perlindungan
Terpisah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI menawarkan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual tersebut. Langkah proaktif itu dilakukan LPSK untuk merespons tindak pidana tersebut, karena korban mengalami trauma. Sehingga diperlukan rehabilitasi psikologi untuk memulihkannya.
Wakil Ketua LPSK RI, Edwin Partogi, dalam siaran pers yang diterima Serambi, kemarin, menyebutkan, selain rehabilitasi psikologis, santri yang menjadi korban pelecehan seksual itu juga bisa mengakses layanan lain yang disediakan negara melalui LPSK, seperti perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, bantuan medis, dan fasilitasi restitusi.
“Bila (anak-anak) korban mendapat ancaman, kepada mereka dapat diberi perlindungan fisik,” kata Edwin saat bertemu Wakapolres Lhoksemawe, Kompol Mughi Prasetyo, didampingi Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Ipda Lilis, yang menangani kasus itu, di Mapolres Lhoksemawe, Rabu (17/7).
Dikatakan, kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak seperti ini merupakan salah satu kasus prioritas yang ditangani pihaknya. Berdasarkan keterangan penyidik, tambah Edwin, saat ini mayoritas korban masih trauma berat, minder, dan malu untuk bergaul dengan teman-temannya. Karena itu, mereka perlu diberi pendampingan psikologis.
Polres Lhoksemawe menyambut baik kedatangan LPSK. Penyidik merasa terbantu bila LPSK dapat melindungi korban sesusai dengan tugas dan kewenangan yang diatur undang-undang. Untuk itu, Polres Lhoksemawe akan segera berkoordinasi dengan korban untuk mengajukan permohonan ke LPSK.
Seperti diberitakan sebelumnya, oknum pimpinan dan seorang guru ngaji (keduanya pria) di Pesantren An, ditahan di Polres Lhokseumawe atas dugaan melakukan pelecehan seksual terhadap santri pria (sesama jenis) yang berumur 13-14 tahun. Sesuai keterangan korban, dugaan pelecehan itu mulai terjadi pada September 2018 dan terus berulang-ulang sampai bulan ini atau sebelum kedua tersangka ditahan.(bah/jaf)