Polisi Tolak Tangguhkan Penahanan Tersangka
Polres Lhokseumawe menolak penangguhan penahanan terhadap oknum pimpinan dan seorang guru ngaji
* Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Pesantren An
LHOKSEUMAWE - Polres Lhokseumawe menolak penangguhan penahanan terhadap oknum pimpinan dan seorang guru ngaji di Pesantren An, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual (sesama jenis) terhadap santri di lembaga pendidikan agama tersebut. Seperti diketahui, kuasa hukum kedua tersangka mengajukan permohonan penangguhan penahanan terhadap kliennya ke Polres Lhokseumawe pada Selasa (9/7) pekan lalu.
Sementara itu, santri yang diduga menjadi korban pelecehan seksual yang melapor ke polisi bertambah satu orang lagi. Perkembangan lain, aparat Polres Lhokseumawe mengamankan tiga tersangka yang diduga sebagai penyebar hoaks terkait kasus tersebut.
Kapolres Lhokseumawe, AKBP Ari Lasta Irawan, melalui Kasat Reskrim, AKP Indra T Herlambang, kepada Serambi, kemarin, menyebutkan, awalnya dari 15 santri yang terindikasi sebagai korban, hanya lima orang yang sudah melapor secara resmi ke pihaknya. Dengan tambahan satu santri lagi berarti sudah enam korban yang melapor.
“Kami pastikan kasus ini tak sampai pada tingkat sodomi, tapi hanya pelecehan seksual yang menggunakan tangan dan mulut. Sementara untuk saksi, sampai kini sudah 14 orang yang kita mintai keterangan. Mereka terdiri atas saksi korban, orang tua korban, dan saksi ahli,” rinci Kasat Reskrim.
Sebarkan informasi hoaks
AKP Indra T Herlambang juga mengungkapkan, tiga hari lalu pihaknya mengamankan tiga tersangka penyebar informasi bohong atau hoaks terkait kasus dugaan pelecehan seksual tersebut. Adapun informasi yang disebarkan oleh ketiga tersangka berupa tulisan yang menyebutkan kedua tersangka tidak bersalah dan polisi terlalu memaksakan kasus tersebut. Ketiga tersangka itu adalah Hs (29), petani yang mengupload tulisan tersebut ke facebook, Im (19), mahasiswa yang memposting tulisan itu ke sebuah grup WhatsApp (WA), dan Na (21), mahasiswi, yang yang mengambil tulisannya itu dari grup WA lalu mempostingnya ke grup WA lain.
Menurut Kasat Reskrim, dalam tulisan itu terdapat kata-kata bahwa menurut pengakuan salah seorang anggota penyidik, perkara tersebut adalah perkara yang dipaksakan. “Karena tulisan itu sudah menimbulkan kegaduhan dan pendapat masyarakat yang berbeda, akhirnya kita amankan tersangka penyebarnya,” ujar AKP Indra T Herlambang.
Namun, ia memastikan sejauh ini ketiga tersangka tersebut bukan pembuat tulisan dimaksud, tapi mereka hanya penyebar. Hasil penyidikan sementara, ketiga tersangka juga tak ada hubungan dengan oknum pimpinan pesantren atau guru mengaji yang diduga melakukan pelecehan seksual tersebut. “Mereka menyebarkan informasi itu dengan alasan hanya ingin menanyakan pendapatan anggota grup WA atau hanya ingin sekedar memposting ke facebook,” jelasnya.
Sekarang, kata Kasat Reskrim lagi, pihaknya masih memburu pembuat tulisan itu. “Kasus ini sangat sensitif, makanya kami harus meluruskan dan menjelaskan bahwa proses penyelidikannya berjalan berdasarkan alat bukti. Jadi, ketika ada yang membuat kabar seperti ini, akan bisa menggiring opini masyarakat dan ini sangat mengganggu proses penyidikan. Kami juga pastikan bahwa penyebar berita bohong sekecil apapun akan kami tindak sesuai hukum yang berlaku,” tegas AKP Indra T Herlambang.
Pembekuan pesantren dicabut
Informasi lain, Pemerintah Kota Lhokseumawe akhirnya mencabut status pembekuan sementara terhadap Pasantren An. Sehingga, mulai Kamis (18/7) hari ini, aktivitas belajar di pesantren tersebut akan berjalan kembali seperti biasa.
Kabag Humas Pemko Lhokseumawe, Muslim Yusuf, menyebutkan, pencabutan status pembekuan terhadap pesantren itu didasarkan atas beberapa pertimbangan. Di antaranya, sebut Muslim, dalam kasus ini yang diduga bersalah melakukan pelecehan seksual hanya dua oknum saja (pimpinan pesantren dan seorang guru ngaji) dan mereka kini sedang menjalani proses hukum di Polres Lhokseumawe.
Sehingga, menurut Muslim, Pemko berkesimpulan jangan gara-gara dua oknum, santri di pesantren tersebut putus pendidikannya. Apalagi, selama ini kualitas pendidikan di pesantren itu sangat bagus. “Namun, kita pastikan struktur pengurus yayasan Pesantren An sedang dalam proses pergantian. Dimana oknum pimpinan yang kini sedang menjalani proses hukum di Polres Lhokseumawe takkan masuk lagi dalam struktur kepengurusan,” janjinya.
Dengan aktif kembali kegiatan belajar mengajar di pesantren tersebut, sambung Muslim, Pemko Lhokseumawe akan terus mengawasinya. “Kepada masyarakat di lingkungan pesantren kita berharap dapat memahami keputusan ini. Sebab, sangat kita sayangkan bila lembaga pendidikan agama tersebut harus tutup hanya karena dua oknum di pesantren itu diduga bersalah,” harap Muslim.
Ditambahkan, kini sebagian kecil orang tua ingin anaknya dipindah ke tempat pendidikan lain. Terhadap keinginan itu, Muslim memastikan pihaknya siap memfasilitasi. “Begitu juga untuk uang muka yang sudah terlanjur diserahkan wali santri ke pesantren, kita sedang mencari solusi untuk proses pengembaliannya,” demikian Muslim Yusuf.
Alasan ajukan penangguhan
Sebelumnya, Armia dan Muzakir, kuasa hukum kedua tersangka dalam pesan WhatsApp (WA) yang dikirim ke Serambi, kemarin, mengatakan, pihaknya sampai kini belum mendapat jawaban dari Polres Lhokseumawe, terkait permohonan penangguhan penahanan terhadap kliennya yang diajukan pekan lalu. “Tapi, kita tetap optimis dan berharap Kapolres mengabulkan penangguhan penahanan terhadap kedua tersangka,” harapnya.
Soal alasan pihaknya mengajukan penangguhan penahanan, Armia menyebutkan, mengajukan dan mendapatkan penangguhan penahanan adalah hak setiap tersangka, pihaknya juga ingin menunjukkan tersangka komit untuk kooperatif mengikuti proses hukum. Dikatakan, pihaknya juga perlu mengklarifikasi bahwa oknum pimpinan pesantren itu pertama kali hadir sebagai saksi. Setelah diperiksa langsung ditetapkan sebagai tersangka dan esoknya ditahan. “Jadi, bukan ditangkap dalam tanda kutip,” tulis Armia.
Sementara oknum guru mengaji hadir pada 4 Juli 2019 untuk diperiksa sebagai saksi. Selesai diperiksa, ia dibolehkan pulang. “Namun kita kaget, tiba-tiba pada tanggal 8 Juli 2019, guru ngaji itu ditangkap di rumahnya sesaat setelah shalat Zuhur. Padahal, tidak ditangkap pun dia pasti akan hadir bila dipanggil,” lanjutnya.
Alasan lain, tambah Armia, pihaknya keberatan dengan isu-isu liar atau komentar-komentar tak berdasar yang terkesan seolah-olah kedua tersangka itu seperti monster, predator, dan sebagainya. Justru, sebenarnya kedua tersangka jauh dari kesan tersebut. Karena itu, tambah Armia, pihaknya yakin untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan. “Soal pokok perkara, nanti akan kita uji dalam sidang yang fair,” demikian Armia.
Tawarkan perlindungan
Terpisah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI menawarkan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual tersebut. Langkah proaktif itu dilakukan LPSK untuk merespons tindak pidana tersebut, karena korban mengalami trauma. Sehingga diperlukan rehabilitasi psikologi untuk memulihkannya.
Wakil Ketua LPSK RI, Edwin Partogi, dalam siaran pers yang diterima Serambi, kemarin, menyebutkan, selain rehabilitasi psikologis, santri yang menjadi korban pelecehan seksual itu juga bisa mengakses layanan lain yang disediakan negara melalui LPSK, seperti perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, bantuan medis, dan fasilitasi restitusi.
“Bila (anak-anak) korban mendapat ancaman, kepada mereka dapat diberi perlindungan fisik,” kata Edwin saat bertemu Wakapolres Lhoksemawe, Kompol Mughi Prasetyo, didampingi Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Ipda Lilis, yang menangani kasus itu, di Mapolres Lhoksemawe, Rabu (17/7).
Dikatakan, kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak seperti ini merupakan salah satu kasus prioritas yang ditangani pihaknya. Berdasarkan keterangan penyidik, tambah Edwin, saat ini mayoritas korban masih trauma berat, minder, dan malu untuk bergaul dengan teman-temannya. Karena itu, mereka perlu diberi pendampingan psikologis.
Polres Lhoksemawe menyambut baik kedatangan LPSK. Penyidik merasa terbantu bila LPSK dapat melindungi korban sesusai dengan tugas dan kewenangan yang diatur undang-undang. Untuk itu, Polres Lhoksemawe akan segera berkoordinasi dengan korban untuk mengajukan permohonan ke LPSK.
Seperti diberitakan sebelumnya, oknum pimpinan dan seorang guru ngaji (keduanya pria) di Pesantren An, ditahan di Polres Lhokseumawe atas dugaan melakukan pelecehan seksual terhadap santri pria (sesama jenis) yang berumur 13-14 tahun. Sesuai keterangan korban, dugaan pelecehan itu mulai terjadi pada September 2018 dan terus berulang-ulang sampai bulan ini atau sebelum kedua tersangka ditahan.(bah/jaf)